Bagian 2
“Mas, kamu marah sama aku?” tanyaku dengan suara yang pelan. Kutatap mata Mas Zaki dalam-dalam. Meskipun ada cemas yang meliputi batin, tetapi kuberanikan diri buat bertanya padanya. Marah adalah tindakan tak biasa bagi suamiku, apalagi kepada istrinya. Selama menjadi istri bahkan saat berpacaran dulu, mana pernah Mas Zaki memarahi, terlebih sampai memelototi segalak itu.
“Astaga! Tentu aku marah! Kenapa kamu lancang membalas pesan Ibun?” Mas Zaki terus membentak. Membuatku semakin tak habis pikir pada lelaki itu. Lancang, dia bilang? Bukankah jawabanku hanya berisi hal yang wajar?
“Maafkan kesalahanku, Mas. T-tapi … bukankah kita sudah tidak punya uang lagi? Maksudku uang lebih—”
“Itu bukan urusanmu! Aku tahu apa yang harus kulakukan untuk keluargaku! Ini yang terakhir kalinya kamu ikut campur urusan pribadiku!” Bahuku sontak melorot mendengarkan bentakan Mas Zaki yang sangat keras.
Pria itu lalu bangkit sambil menggenggam erat ponselnya. Dia kemudian mencampakkan begitu saja handuk-handuk basah yang baru dipakai, kemudian berganti pakaian dengan sangat cepat. Sedang aku, masih termangu dengan segala perasaan yang bercampur aduk di atas kasur. Terduduk lemas dan tak habis akal dengan ucapan-ucapan Mas Zaki.
Apa dia bilang? Keluarganya? Ikut campur? Urusan pribadi? Lantas, aku ini siapa baginya? Istri yang hanya bertugas untuk melayani lahir dan batinnya, tanpa perlu mengemukakan pendapat serta tahu tentang segala urusannya? Jadi … aku hanya boneka yang bisa dia ‘pakai’ saat ingin saja, tanpa harus buka suara terhadap hal-hal sensitif seperti masalah keuangan? Baiklah, Mas. Akan kuikuti cara bermainmu.
***
Lama Mas Zaki meninggalkanku sendirian di kamar. Mungkin sekitar satu jam-an lebih. Hingga Azan Isya terdengar berkumandang dari masjid komplek, lelaki itu tiba-tiba masuk ke kamar dengan wajahnya yang kusut.
Aku pura-pura sibuk dengan diriku sendiri. Masih duduk di ranjang dengan ponsel di tangan dan buku serta sebuah bolpoin di pangkuan. Wajah kupasang merengut. Mas Zaki harus tahu bahwa bukan hanya dia yang boleh marah, tetapi aku juga berhak untuk melakukannya.
“Venda,” panggilnya. Lelaki itu lalu naik ke atas tempat tidur. Duduk persis di sebelahku dan semakin mendekatkan tubuhnya.
Aku diam. Tak menjawab dan masih berpura-pura serius. Kutulis beberapa nama pemesan di lembaran buku catatan di atas paha. Rasa kesalku masih bergejolak di dada.
“Kamu harus minta maaf pada Ibun. Akui bahwa pesan itu darimu,” ucapnya pelan.
Aku langsung mengangkat wajah. Menatap Mas Zaki dengan keadaan hati yang makin panas. Minta maaf, dia bilang?
“Kenapa bukan Ibun duluan yang minta maaf? Dia sudah membuat status yang sangat kasar. Mengancam untuk menghancurkan rumah tangga kita segala. Apakah hanya karena uang dua juta, Ibu tega mengatakan hal seburuk itu?” tanyaku sambil memiringkan kepala.
Mas Zaki mendesah. Dia mendongak sambil memejamkan matanya sesaat. Terdengar menarik napas berat dan mengebuskannya kuat-kuat.
“Dia orangtuaku, Ven. Wajar bila dia melakukan hal seperti itu.”
Aku makin sakit mendengarkan alasan Mas Zaki yang sangat tak masuk akal. Wajar? Di mana akal suamiku hingga dia bisa mewajarkan hal di luar batas tersebut?
“Wajar? Jadi, Mas bersedia kalau Ibun menghancurkan rumah tangga kita, begitu?” tanyaku dengan nada yang meninggi.
Mas Zaki bungkam. Dia terlihat bingung dan limbung. Digosok-gosoknya wajah dengan telapak tangan seperti orang yang kehabisan akal untuk membujukku. Maaf, Mas. Mungkin selama setahun ini kelihatannya aku adalah istri penurut. Namun, untuk yang satu ini sulit sekali buatku menerima.
“Ingat, Mas. Gajimu hanya empat juta sebagai sekuriti di bank. Empat juta, bukan empat belas juta. Tiap bulannya kamu harus mentransfer satu koma lima untuk Ibun. Bukan hanya kamu anaknya. Ada Mbak Lala dan Anita. Mereka juga sama-sama bekerja seperti kita. Lantas, kenapa harus kamu yang jadi tumpuannya?”
Mas Zaki mendadak merah padam wajahnya. Dari dengusan yang terdengar, sepertinya suamiku kembali naik pitam. Astaga, apa dia tidak bisa diajak berbicara baik-baik.
“Kamu tahu, kan, kalau anak laki-laki itu wajib menafkahi ibunya? Kamu mengerti agama tidak?!” Mas Zaki membentakku lagi. Suaranya kini melengking, memekakan telinga. Aku bahkan tak kalah syoknya dengan tadi sore. Untuk apa dia mendatangiku ke kamar lagi, bila hanya untuk mencaci maki begini? Suami egois!
“Maaf jika ilmu agamaku dangkal. Tidak setinggi ilmu agamamu dan keluarga besarmu. Aku hanya ingin kamu bersikap adil. Tidak berat sebelah,” sanggahku seraya menahan luka di hati. Bahkan, Mas Zaki kini sudah tega mengatai ilmu agamaku segala. Hal yang tak pernah dia lakukan sebelum-sebelumnya?
“Kurang adil apalagi aku, Ven? Kamu pengen misah rumah sama Ibun, aku turuti! Kamu minta dibelikan KPR, aku turuti—”
“Ingat, Mas. Aku juga mencicil rumah ini! Bukan hanya kamu yang membayarnya!” kataku ikut lantang seperti suara Mas Zaki.
“Oh, begitu, ya? Baru bisa bayar KPR saja, ternyata kamu jadi berani pada suami? Dulu sikapmu tidak begini padaku, Ven! Saat usahamu makin melejit, kamu jadi makin berani. Mertua hanya minta uang dua juta pun, kamu balas dengan sekasar itu. Hatimu luar biasa sudah mati!” Mas Zaki berkacak pinggang. Membuatku sontak menepis buku catatan dan bolpoin hingga jatuh ke lantai. Suara berisik yang ditimbulkan makin membuat suasana kamar ini mencekam.
“Jadi, maumu apa, Mas?”
“Minta maaf pada Ibun, akui salahmu, dan perbaiki kata-katamu padaku! Surgamu ada pada suami. Jangan mentang-mentang bisa mencari uang, kamu jadi semena-mena begini!”
“Kalau aku sudah melakukan semua itu, apakah aku juga boleh meminta sesuatu padamu?”
Mas Zaki diam. Matanya terlihat berkilat-kilat seperti menahan ledakan amarah yang mendalam.
“Boleh aku minta pengakuanmu, Mas? Bisa tolong dijelaskan, mengapa sikap kasarmu dan Ibun baru terbongkar sekarang? Apakah karena uangku tidak cukup untuk membahagiakan kalian? Kamu sudah tidak betah lagi melihatku yang bekerja dari pagi sampai malam buta ini tak mampu menghasilkan banyak materi untuk memenuhi kebutuhan kalian semua? Begitu?”
Pria itu diam. Tak menjawab sedikit pun lontaran pertanyaanku. Giginya malah terdengar gemelutuk karena gregetan ingin marah.
“Kamu dan Ibun kukira sangat baik, lembut, serta bijaksana. Ternyata tidak sama sekali. Baru kali ini aku membuka chatmu dengan Ibun dan langsung syok saat membacanya. Selama ini, kuhargai privasimu dengan tidak membuka W******p. Saat kupinjam ponselmu, aku hanya membuka sosial mediaku yang malah terhubung di ponselmu dari sejak awal kita pacaran. Ternyata, selama ini ada yang disembunyikan dariku, toh? Bahkan history W******p-mu dengan Ibun pun bersih suci tanpa jejak. Mungkin, ada percakapan yang lebih rahasia lagi di antara kalian berdua? Atau mungkin, nominal yang pernah dipinta Ibun kemarin-kemarin lebih besar? Pantas saja, uang hasil jualanku tidak pernah bisa disisihkan untuk menabung. Selalu saja dipakai untuk menutupi kekurangan di dalam rumah tangga ini. Bodohnya, aku malah percaya kalau uangmu sudah habis padahal baru tengah bulan.” Aku geleng-geleng kepala sendiri. Tersenyum sinis ke arah Mas Zaki sambil menahan gemetar yang sebenarnya telah melanda sekujur tubuh. Aku memang bukanlah tipe wanita pertarung, tetapi sabarku juga pasti ada batasnya.
“Dasar perempuan mandul! Banyak sekali bicaramu!”
Duniaku seperti runtuh seketika. Mandul? Apa Mas Zaki bilang? Aku mandul? Hanya karena kami belum dianugerahi buah hati setelah setahun lamanya menikah?
Plak! Tamparan itu pun mendarat mulus. Tak lagi ada kata-kata yang keluar setelah itu. Hanya tersisa sakit hati yang begitu luar biasa hebatnya.
Bagian 3 Tanganku semakin tremor usai menampar wajah Mas Zaki. Pria itu terhenyak dan bergeming selepas mendapatkan pukulan dariku. Untuk beberapa detik, kami saling membisu dengan perasaan masing-masing. Aku dengan ketakutan dan hati yang makin sakit, Mas Zaki dengan entah apa yang dia sembunyikan dalam kalbunya. Yang jelas, pria itu seperti tersentak tak percaya dengan sikapku yang begitu agresif kali ini. Mas Zaki akhirnya pergi meninggalkanku sendirian di kamar lagi. Kali ini lebih lama. Setelah berjam-jam, dia bahkan tak masuk meski suara isak tangisku terdengar keras dari dalam sini. Entah ke mana perginya suamiku. Bahkan dia tak mengucapkan sepatah kata pun saat berlalu. Marahkah dia dengan tamparanku tadi?Memang, aku rasanya sedikit menyesal karena telah melakukannya pada Mas Zaki. Namun, seharusnya sebagai laki-laki Mas Zakilah yang
Bagian 4 “Ven, aku minta maaf. Sumpah demi Allah, aku tidak bermaksud untuk ngomong begitu ke kamu. Aku khilaf, Ven!” Glek! Demi Allah, katanya. Bayangkan, dia rela menggadaikan nama Tuhan demi menyelamatkan diri. Suamiku, di mana dirimu yang dahulu kukenal? Mengapa dalam semalam saja kamu bisa berubah sedrastis ini? Inikah wujud asli yang selama kita saling kenal susah payah kau sembunyikan? “Cukup, Mas! Kamu bermaksud begitu pun aku tidak apa-apa, kok! Semuanya sudah jelas. Mulai dari sikap Ibun yang selama ini hanya palsu, kakak dan adikmu yang kukira baik pun ikut-ikutan mencaci makiku lewat status WA, dan sifat aslimu yang kasar pun akhirnya juga ikut terkuak!” Mas Zaki sontak melepaskan pelukan era
Bagian 5 “Ven … kamu dengar kan, ucapan Ibun?” Mas Zaki bertanya dengan mata yang masih berlinang dan bibir gemetar. Pria itu mengacungkan ponselnya ke arahku, tetapi aku bergeming. Diam saja sembari bersedekap acuh tak acuh. Tak akan aku percaya lagi. Sudah cukup. Aku tak sebodoh yang kalian pikir. “Zak, Ibun ke sana, ya? Ibun bawa mbakmu sekalian. Supaya semuanya jelas. Ibun nggak mau Venda salah paham. Ibun inginnya kalian akur sampai maut memisahkan.” Omong kosong! Statusmu jelas-jelas ingin menghancurkan rumah tangga kami. Mengapa tiba-tiba jadi berlagak pilon dan bersikap selayaknya malaikat begini? “Iya, Bun. Zaki dan Venda tunggu di rumah. Ibun sama Mbak Lala hati-hati, ya. Maaf, jad
Bagian 6 “Alrik?” lirihku dengan gerak tubuh yang canggung. “Sudah lama sekali!” Lelaki itu berseru dengan binar mata yang tak percaya. Kenapa harus bertemu dengan dia di saat begini, sih? Bikin moodku semakin payah saja! “Iya, sudah lama. Silakan duduk.” Tawarku kagok. Pria berkulit putih bersih dengan tubuh yang atletis itu pun mengangguk. Senyumannya tampak lebar sekali, hingga geligi rapinya terlihat. Mau tak mau, aku yang belum mandi dan bau asem ini harus duduk berhadapan dengan seorang pria klimis metroseksual yang bahkan harumnya bisa tercium dari jarak beberapa meter. Astaga, betapa doublenya kesialanku hari ini. “Kenapa tidak pernah muncul di grup SMP? Aku cari-cari namamu pun tidak ada d
BAGIAN 7 Main rapi, Ven, main cantik! Jangan gegabah, jangan grasa-grusu. Santai, tenang, jangan mudah tersulut emosi. Begitulah kalimat-kalimat afirmasi positif yang kuucap dalam batin. Melawan orang munafik berkepala dua, haruslah hati-hati. Aku tidak boleh salah langkah. Sedikit saja terpeleset, akulah yang jadi mangsa mereka. “Aku di luar,” sahutku santai pada Ibun meski hati ini seperti sedang dikruwes-kruwes dengan garpu. Awas kau nenek lampir. Suatu hari nanti, pasti akan kena batunya juga. “Di luar mana, Sayang? Pulang ke rumah suamimu dulu, ya? kita harus bicarakan baik-baik semuanya—” Agak panas hatiku, la
BAGIAN 8 “Venda, Ibun minta maaf, Nak! Ibun yang salah. Kamu jangan mendiamkan kami begini seolah masalah kita tidak bisa diperbaiki!” Aku yang baru saja tiba di depan pintu kamar, tiba-tiba ditarik pelan tanganku oleh Ibun. Perempuan paruh baya yang masih terlihat aura kecantikannya itu ternyata menyusulku dari belakang. Kutengok lagi ke depan sana, ada Mas Zaki yang mencoba menahan Mbak Lala supaya tidak mendekat ke arah kami. Mbak Lala yang berapi-api. Dia seakan ingin meledak melihat kelakuanku. Kenapa juga dia yang kebakaran jenggot? “Bun, sudahlah! Ayo, kita pulang! Venda nggak bisa menghargai Ibun!” pekik Mbak Lala sambil sekuat tenaga berusaha menepis genggaman erat di tangannya. Mas
BAGIAN 9POV AUTHOR “Keterlaluan Venda! Bisa-bisanya dia sekasar itu! Di mana rasa takut dan patuhnya? Siapa yang sudah merasukinya sampai berubah begini?” Zaki sibuk bertanya-tanya dengan gumaman ketika dia keluar dari kamar. Pipinya terasa begitu perih usai ditampar oleh sang istri untuk pertama kalinya. Venda yang selama ini dipandangnya sebagai wanita lugu, ternyata diam-diam menyimpan kebuasan. Zaki tentu terperanjat dan kaget. Ada sedikit ketakutan di hatinya. Dia mulai resah sekarang. Jangan-jangan, Venda akan berani meninggalkannya kelak? Dia tak yakin apakah bisa hidup apabila tanpa wanita royal pemurah itu. Sedangkan, tuntutan hidupnya sangat tinggi. Lebih tepatnya, tuntutan dari Ibun. Pria berkulit eksotis dengan tampang yang lumayan itu berjalan gusar menuju teras. Dia
BAGIAN 10POV AUTHOR Zaki yang kepepet, mau tak mau mengambil jalan pintas yang tak pernah terbesit di otak sebelum-sebelumnya. Dia merasa telah kalah malam ini. Kalah dari semua orang. Zaki menyerah. Pria itu lebih memilih hilang harga dirinya, ketimbang harus bermasalah dengan sang istri terus-menerus. Bagaimanapun, lelaki berwajah tampan khas Indonesia itu sangat takut kehilangan Venda. [Selamat malam, Bu. Maaf aku mengganggu malam-malam.] Begitulah pesan yang Zaki kirimkan kepada seorang perempuan. Bukan sembarang perempuan, pastinya. Seorang janda dengan tiga orang anak dan punya jabatan yang tak main-main di bank. Kepala cabang. Bukan hal yang sembarangan, bukan?&nb