BAGIAN 7
Main rapi, Ven, main cantik! Jangan gegabah, jangan grasa-grusu. Santai, tenang, jangan mudah tersulut emosi. Begitulah kalimat-kalimat afirmasi positif yang kuucap dalam batin. Melawan orang munafik berkepala dua, haruslah hati-hati. Aku tidak boleh salah langkah. Sedikit saja terpeleset, akulah yang jadi mangsa mereka.
“Aku di luar,” sahutku santai pada Ibun meski hati ini seperti sedang dikruwes-kruwes dengan garpu. Awas kau nenek lampir. Suatu hari nanti, pasti akan kena batunya juga.
“Di luar mana, Sayang? Pulang ke rumah suamimu dulu, ya? kita harus bicarakan baik-baik semuanya—”
Agak panas hatiku, la
BAGIAN 8 “Venda, Ibun minta maaf, Nak! Ibun yang salah. Kamu jangan mendiamkan kami begini seolah masalah kita tidak bisa diperbaiki!” Aku yang baru saja tiba di depan pintu kamar, tiba-tiba ditarik pelan tanganku oleh Ibun. Perempuan paruh baya yang masih terlihat aura kecantikannya itu ternyata menyusulku dari belakang. Kutengok lagi ke depan sana, ada Mas Zaki yang mencoba menahan Mbak Lala supaya tidak mendekat ke arah kami. Mbak Lala yang berapi-api. Dia seakan ingin meledak melihat kelakuanku. Kenapa juga dia yang kebakaran jenggot? “Bun, sudahlah! Ayo, kita pulang! Venda nggak bisa menghargai Ibun!” pekik Mbak Lala sambil sekuat tenaga berusaha menepis genggaman erat di tangannya. Mas
BAGIAN 9POV AUTHOR “Keterlaluan Venda! Bisa-bisanya dia sekasar itu! Di mana rasa takut dan patuhnya? Siapa yang sudah merasukinya sampai berubah begini?” Zaki sibuk bertanya-tanya dengan gumaman ketika dia keluar dari kamar. Pipinya terasa begitu perih usai ditampar oleh sang istri untuk pertama kalinya. Venda yang selama ini dipandangnya sebagai wanita lugu, ternyata diam-diam menyimpan kebuasan. Zaki tentu terperanjat dan kaget. Ada sedikit ketakutan di hatinya. Dia mulai resah sekarang. Jangan-jangan, Venda akan berani meninggalkannya kelak? Dia tak yakin apakah bisa hidup apabila tanpa wanita royal pemurah itu. Sedangkan, tuntutan hidupnya sangat tinggi. Lebih tepatnya, tuntutan dari Ibun. Pria berkulit eksotis dengan tampang yang lumayan itu berjalan gusar menuju teras. Dia
BAGIAN 10POV AUTHOR Zaki yang kepepet, mau tak mau mengambil jalan pintas yang tak pernah terbesit di otak sebelum-sebelumnya. Dia merasa telah kalah malam ini. Kalah dari semua orang. Zaki menyerah. Pria itu lebih memilih hilang harga dirinya, ketimbang harus bermasalah dengan sang istri terus-menerus. Bagaimanapun, lelaki berwajah tampan khas Indonesia itu sangat takut kehilangan Venda. [Selamat malam, Bu. Maaf aku mengganggu malam-malam.] Begitulah pesan yang Zaki kirimkan kepada seorang perempuan. Bukan sembarang perempuan, pastinya. Seorang janda dengan tiga orang anak dan punya jabatan yang tak main-main di bank. Kepala cabang. Bukan hal yang sembarangan, bukan?&nb
BAGIAN 11 “Maafkan kami, Ven. Ampuni kesalahanku dan Ibun. Aku mohon.” Mas Zaki terus memohon. Bahkan matanya kulihat kini melinangkan air mata yang tak sedikit. Dua tangan kekarnya memagut pelan lututku. Membuatku semakin gerah dengan sandiwara tak bermutu mereka. “Cukup! Hentikan tingkah konyol ini!” Aku menjerit. Habis sudah sabarku. Ibun dan Mas Zaki akhirnya kompak berdiri. Keduanya sama-sama menghapus air mata dengan jemari, lalu menatapku dengan ekspresi yang takut-takut. “Mas, Bun, sudahlah. Hentikan tangisan kalian berdua. Kita anggap semua masalah ini selesai,” kataku sambil menahan gejolak di dalam
BAGIAN 12 Seharian itu, aku sama sekali tidak melakukan pekerjaan rumah apa pun. Entah itu memasak, mencuci, atau bersih-bersih. Kerjaanku hanya leyeh-leyeh di atas kasur sembari memainkan ponsel. Sengaja hari ini aku tidak membuka orderan jamu tradisional, padahal beberapa pelangganku sejak tadi sudah bolak-balik bertanya apakah ada jamu yang ready atau tidak. Semuanya kujawab tidak ada. Kukatakan bahwa hari ini jadwalnya kang jamu libur. Ternyata, nikmat sekali hidup bersantai ria. Tak perlu memperhatikan rumah tangga dan mengurusi segenap tetek bengek dagangan. Toko online-ku tutup. Proses orderan di market place pun kupending. Biasanya, aku paling anti bermalas-malasan seperti ini. Waktu bagiku adalah segalanya. Namun, itu kemarin. Tidak berlaku dengan hari ini. Inginnya aku membuang waktu percuma saja. Mau me
BAGIAN 13 Jelang sore itu juga, aku segera membuang segala pikiran negatif yang melanda usai memblokir Anita. Cukup beberapa menit untuk menenangkan diri, aku pun tak ingin membuang banyak waktu lagi. Cepat bergerak menuju dapur, kemudian membuka kulkas dan mengambil seluruh sisa stok empon-emponan serta rempah daun yang sudah kubungkus dengan kertas koran. Saat aku sedang memisahkan satu per satu rimpang, tiba-tiba pikiranku melayang kembali. Teringat akan ucapan Anita via WhatsApp tadi. Aku pun langsung menghitung-hitung, berapa bahan yang harus kukeluarkan untuk membuatkan pesanannya. Untuk membuat empat liter jamu kunir asem, setidaknya aku membutuhkan setidaknya 1 kilogram kunyit, 250 gram jahe merah, 200 gram kencur, 2 bung
BAGIAN 14 Pagi-pagi sekali aku bangun untuk berangkat ke pasar membeli bahan baku pembuatan jamu tradisional maupun masker organik. Pukul setengah lima pagi usai salat Subuh aku pergi sendirian dengan mengendarai motor bututku. Mas Zaki? Dia masih ngorok di peraduan. Tak mau peduli dengan apa yang kulakukan sepagi buta ini. Aku sudah tak masalah lagi. Toh, sebentar lagi benalu itu akan kuenyahkan dari sini. Lihat saja. Dia pikir, aku akan diam saat melihat tingkah laku busuknya? Total ada lima buah plastik belanjaan yang kutumpuk jadi satu dalam karung putih. Susah payah aku mengemudi motor dengan bawaan yang kusimpan pada injakan depan. Hal ini bukanlah barang baru bagiku. Namun, hari ini terasa semakin sakit saja. Baru kusadari, ternyata selama ini aku terlalu bodoh. Mudah sekali dimanfaatkan lelaki. Hanya diam
BAGIAN 15 Tak sampai lima belas menit lamanya, Alrik dengan mobil mini cooper kuning cerahnya tiba di depan rumahku. Mobil mewah itu dia parkirkan di bahu jalan, pas di depan pagar beton rumahku. Aku yang telah duduk menanti kedatangannya di depan teras, seketika bangkit untuk menyambut pria yang baru saja keluar dari dalam kendaraan. Sosok Alrik pagi ini begitu berbeda dengan kemarin saat kami berjumpa di warung sarapan. Lelaki itu mengenakan kemeja lengan panjang hitam yang dia singsingkan hingga siku. Celana bahan berwarna senada begitu pas di kaki jenjangnya. Belum lagi kacamata Rayban hitam mahal yang kini dia lepas dan sematkan di tengah kerah bajunya. Aku sampai harus menundukkan pandangan untuk sesaat demi mengusir sebuah perasaan aneh di dada.&