"Dik, udah liat surat di atas meja kamar?" tanya Bang Rio padaku. Wajahnya sedikit kuyu, gurat letih tersirat jelas dicetakan pertama mertuaku itu.
"Belum, Bang. Surat darimana?" tanyaku balik, heran."Abang untuk sementara standby di rumah, kemungkinan enam bulan ke depan, jika perusahaan membutuhkan, abang dipanggil lagi,""Kalau tidak," potongku mengerti maksudnya. Kami akan kembali berada di fase memulai. Pemutusan hubungan kerja sepihak yang acap menghantui karyawan kini di depan mata. harus dihadapi tidak sekadar cerita."Kalau tidak, artinya kontrak kita selesai, Dik. Masukin lamaran lagi ke perusahaan lain, artinya proyek perusahaan itu tidak lagi ada yang menang tender di sini," jelasnya panjang. Diam yang cukup lama untuk kami berdua, sibuk dengan pikiran masing-masing. Ia menunduk. Ada sesuatu yang menggenang di dalam matanya.Aku mendekat. Mengelus lembut punggung tangannya, lalu mengangguk, menatap lamat pahatan rupa Glenn Alinskie di hadapan, begitu teduh, netra sendunya balas menatapku.Walaupun rupaku tidaklah secantik Chelsea Olivia, aku tahu sang Glenn sangat mencintaiku. Pasti dia bingung mau cari nafkah ke mana lagi? Kota ini digelar minyak di atas, minyak di bawah tapi sayang nasib kami tak seberuntung para ibu rumahtangga di negeri seberang"Tidak masalah, sayang, untuk sementara anggap saja Tuhan sedang memberi liburan, agar kamu dan aku lebih banyak waktu untuk dua jagoan kita," ucapku tersenyum mengecup lembut pipinya. Genggaman kamu semakin erat. Ia berkali-kali mencium ubun-ubunku.Netra itu berkaca-kaca. Bukan cuma kami, pandemi ini berkepanjangan, hampir lebih tiga ribu orang dalam satu waktu menerima surat pemutusan hubungan kerja."Terimakasih udah jagain anak kita, terimakasih udah capek capek jadi istri abang. Abang belum bisa ngasih kamu apapun, abang belum bisa bahagiakan kamu, Dik!'air mata itu tumpah, aku teringat beberapa teman yang mendapatkan musibah sama dengan kami. Pemecatan secara sepihak dari perusahaan.Reni teman kuliahku lari dari suaminya sebab tidak ada lagi mata pencaharian di kota ini. Ia tak sanggup bersabar, godaan lain membuatnya khilaf.Beno terlilit hutang rentenir, kabur tengah malam meninggalkan rumah kontrakannya yang sudah menunggak tiga bulan, membawa seluruh anak-anaknya masih kecil-kecil, otomatis anak-anak Beno berhenti sekolah. Miris.Di kelurahan sebelah seorang suami dibunuh istrinya baru pulang kerja hanya karena kolektor kreditan motor mengamuk di rumahnya, lalu sang istri malu jadi tontonan warga, motor ditarik kolektor, gaji suami tak mampu menebus.Masa pandemi dipotong tiga puluh persen dari gaji biasa. Dini hari warga geger, sang suami terkapar tak bernyawa, istri kabur, walau akhirnya berhasil diamankan polisi. Luar biasa kejadian demi kejadian masa pandemi.Pandemi ini benar-benar memilukan, entah kapan berakhir.Aku berusaha untuk tetap senyum, lelaki yang sudah membersamaiku sembilan tahun lebih sedikit ini, sangat aku pahami sedang mode bingung, ke depan hidup kami entah seperti apa."Dik, boleh kah abang meminta izin padamu?" ucapnya begitu lembut.Bang Rio memang sangat ahsan memperlakukanku sejak kalimat sah tersorak dari saksi hingga kini kami hampir berkepala empat kurang tiga tahun lagi."Boleh, Sayang. Izin ngapain? tumben pakai izin segala, yang penting bukan poligami," jawabku bersenda, tersenyum membelai jambang tipis yang mulai memanjang.Ia tertawa kecil menanggapi candaanku."Apakah adik rela kita tinggal bareng keluarga abang? untuk menghemat biaya sebelum abang mendapat pekerjaan baru," tanya sekaligus alasan dari keinginan Bang Rio kembali ke kampung. Mataku menangkap resah di bola matanya.Aku tertawa kecil. Semenit kemudian mengangguk manis. Ucapan hamdalah mengalun dari bibirnya."Serius, Sayang. Kamu mau?" Aku mengangguk lagi.Apa salahnya tinggal di kampung, Alya Rohali gadis kecil kami, yang berusia lima tahun suka sekali bermain di sungai, sedangkan Rivo Richardo, Lajangku yang duduk di kelas dua sekolah dasar sangat dekat dengan kakeknya-bagian Bang Rio."Yakin kamu kuat tinggal sama mertua?" tanya Bang Rio tampak ragu. Tentu saja dia ragu, aku besar di kota, sedangkan dia besar di pedesaan, ke kota hanya sebagai perantau mengadu nasib. Untung nasibnya bagus.Selama ini, aku tidak pernah melihat cacat sifat mertua, mereka sangat baik padaku. Pulang ke kampung, balik ke rumah kami selalu dibawakan oleh-oleh dari rumah mertua, berupa beras, jeruk, cabe dan hasil kebun lainnya.Suamiku juga sangat baik terhadap keluarganya. Setiap bulan Bang Rio selalu rutin mengirim bantuan belanja pada ibu mertua yang kerap kupanggil Tante. Panggilan karena terbiasa sejak mengenal Bang Rio--sedari gadis.Ibuku dan mertua satu kampung, satu nenek juga, masih saudara jauh. Ibu perempuan perantau, sedari kecil sudah merantau, pulang hanya ketika lebaran tiba, nah saat lebaran masa remaja aku mulai mengenal Bang Rio di kampung ibu, di sanalah kami berkenalan.Makanya, ketika Bang Rio datang melamar, menanyakan pada keluargaku untuk mendampingi hidupnya, Ibu langsung mengiyakan, katanya biar bisa pulang kampung dan pengikat keluarga, Suatu keberuntungan mendapat menantu masih satu nenek, perekat hubungan yang hampir terberai. Begitu istilah keluarga kami di saat jalinan akad terjalin.Aku memang sudah kenal sedari remaja dengan Tante Sari, mamanya Bang Rio. Suamiku itu anak pertama dari empat bersaudara, Dini, Mili dan Jini. Ia menjadi anak paling ganteng di keluarganya, anak satu-satunya lelaki. Untuk itu ia merasa bertanggungjawab atas ibu dan ayahnya. Aku bangga untuk itu. Tidak pernah terbersit sedikitpun untuk melarang Bang Rio menafkahi keluarganya.Dini masih sekolah, sebentar lagi kuliah. Jini duduk di kelas dua SMA. Sedangkan Mili tahun ini masuk SMA, ketiganya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sejak sembilan tahun silam Bang Rio selalu membantu menopang ekonomi keluarganya. Membayar semua kebutuhan adik-adiknya. Aku tidak pernah bertanya mengapa Om Santoso tidak mencukupi biaya keluarganya, sosok mertua yang cukup baik dalam pandangan mataku.Hingga sembilan tahun menikah kami belum punya rumah, belum punya tanah meski sejengkal, masih tinggal di kontrakan, menghitung bulan demi bulan, aku berusaha untuk tidak berutang, karena akan bingung membayarnya darimana.Menajemen keuangan benar-benar wajib di hendle dengan apik. Kalau tidak ingin kebobolan seperti Beno.Ide menumpang sementara kuaminkan. Bukan kah selama ini kami banyak membantu, aku yakin Tante Sari, mertuaku akan menerima kami lapang hati.Ada sedikit penyesalan di hati. Mengapa dulu tidak kulanjutkan saja kuliahku, saat begini bisa bantu suami. Nasi sudah menjadi bubur. Aku berhenti kuliah saat mengandung Alya, kuliah sebelumnya setahun satu semester, karena Rivo sedang lasak-lasaknya.Sebenarnya sudah sangat menanggung. Aku bahkan sudah menyelesaikan PPL dan Kukerta. Membawa Rivo bersusah payah. Berjuang bersama, namun akhirnya tepar, bedrest saat Alya nongol di rahim.Mengalah, cinta itu butuh pengorbanan. Aku mengorbankan pendidikan demi keluarga."Kemasi barang-barang kita, Dik. In sya Allah besok berangkat. Tanggal enam sudah masuk bulan baru kontrakan kita, biar jangan lewat tanggal,""Tapi, kan belum jelas dari perusahaan, Bang. Masih mengambang. Mana tahu nanti abang dipanggil bagaimana? Bukan Rumi gak mau ke kampung, Lo. Abang jangan suuzon ya, Sayang," usapku pada telapak tangannya."Kamu benar, surat itu isinya mengambang, tapi, isu dari HRD menyatakan pasti tidak akan dipanggil, karena perusahaan tempat abang kerja itu kalah tender. Jadi, sangat tipis kemungkinan akan dipanggil lagi, sementara perusahaan lain tidak ada yang membuka lowongan di masa pandemi ini, yang ada pengurangan besar-besaran,""Baiklah, Sayang. Semoga yang terbaik untuk kita," ucapku mengangguk, berusaha sekuat tenaga memberi support padanya. Aku tahu Bang Rio tengah Down.Lamat, kutatap dua bocah yang tengah berbaring lelap di sisi kanan."Selamat ya, Nak. Kita akan beradaptasi dengan kampung, semoga betah, tak ada mol di sana, juga tidak mandi bola, apalagi panjat rumah pohon," ucapku berbicara sendiri.Bang Rio tersenyum melihat tingkahku. Ia mendekat. Menarikku dalam pelukannya, hangat. Setetes bening jatuh mengenai punggung tanganku. Suamiku tercinta menangis. Tidak. Dia tidak boleh down. Kami harus kuat."In sya Allah semua akan kita lewati, abang akan bicara sama Papa, ada bagian kebun warisan kakek yang punya papa biar bisa dijual buat buka usaha bengkel lagi. Semoga kita gak lama di kampung." Aku tahu hatinya begitu berat menumpang di rumah orangtuanya sendiri.Bang Rio sedari remaja sudah terbiasa merantau dan sekolah dengan biaya sendiri tanpa bantuan keluarga,Sebenarnya kami punya usaha bengkel motor, beberapa bulan lalu, karyawan yang masih satu kampung dengan Bang Rio, terbilang masih saudara, melarikan uang dalam laci yang jumlahnya lumayan untuk beli spare part dan alat-alat motor lainnya.Tidak dicari. Jelaslah! Biasa, kasus saudara, ya di peti es kan oleh korban sendiri.Begitulah.Akhirnya aku menyewakan kembali bengkel itu pada orang lain. Beserta barang-barang di dalamnya kujual abis.Sisa sewa kusimpan untuk wanti-wanti darurat. Namanya Rino, lajang tanggung alias remaja beranjak dewasa, baru lulus SMK, padahal sangat diberi kepercayaan. Ya sudahlah!Bukankah tugas istri, mematuhi perintah suami? Bersabar menyikappi keadaan namun tetap waspada.*_IL"Assalamualaikum, Mah," Bang Rio memberi ucapan, mengulur tangan, menyalami Tante Sari yang memang sudah menunggu kedatangan kami di ambang pintu. Aku mengikuti Bang Rio, mencium takzim punggung tangan mertuaku. Wanita yang masih tampak awet mudah di usianya yang memasuki lima puluhan itu tersenyum paksa. Apa aku yang terlalu suudzon, mengapa wajah tante Sari tampak tidak suka dengan kedatangan kami?"Waalaikumussalam. Kamar belakang sudah disiapkan Dini sedari kamu menelpon mau di sini selama enam bulan ke depan," ucap Tante Sari tidak biasanya, ia berbicara sedikit jutek dan tanpa jeda. Matanya sama sekali tak berniat menatap Bang Rio.Astaghfirullah, apa karena kami tidak membawa rengginang, atau kaleng Khong ghuan isi kacang tojin, mete, kacang arab, kripik pisang dan staf-staf kue kering lainnya.Aku mengusap dada berusaha berhusnuzon.Melirik Dini yang baru keluar dari kamar belakang sambil membawa sprei, dengan wajah ditekuk, melewati kami.Aneh!Biasanya, Dini dan Mili berebut menyalami abang satu-satunya itu. Jini akan menggendong Alya ke sungai sambil tertawa. Ini adik-adik Bang Rio hanya lewat tanpa menoleh. Bahkan tak menyapaku. Bang Rio melirikku dari ekor matanya. Lirikan yang aku paham agar tenang dan tidak mengambil hati penyambutan ini.Di mana Om Santoso? Biasanya mendengar kami datang, Lelaki parlente yang masih sangat tampan di usia setengah abad lebih itu sudah stanby di ruang tamu, tidak kemana-mana, ia benar-benar menunggu kedatangan kami.Sekarang, jangankan menunggu, batang hidung sang Mertua lelaki tidak terlihat keberadaannya. Ada apa ini?"Kalian istirahat lah! Kalau mau makan gulai di dapur cuma ada daun singkong ditumbuk pakai teri. Beli kerupuk dua ribu di kedai untuk tambahan lauk," ucap Tante Sari menjelaskan seolah kami datang menambah beban saja, dengan langkah' seribu ia beranjak dari hadapan. Aku kembali melongo.Apakah karena ...Banyak pertanyaan tiba-tiba mampir di otak. Penyambutan terhadap keluargaku kali ini, sungguh berbeda dengan penyambutan tahun-tahun lalu.Bahkan Tante Sari sama sekali tak melirik Alya yang kugendong, atau Rivo yang baru saja berlari mencari teman.Kami punya salah apa, Tante?Kami punya salah apa, Tante? *_IL Pagi hari, udara sejuk pegunungan membuat perutku lekas lapar, kutatap Rivo dan Alya yang begitu nyenyak tertidur. Untung dua buah hatiku ini tidak rewel dan sangat mudah beradaptasi. Jam di dinding menunjukkan pukul 05.35. Pertanda adzan subuh telah lewat lebih dari tiga puluh menit. Sayup kudengar suara perdebatan kecil dari arah dapur. Bang Rio dan Tante Sari berdebat? tumben? ini langka sejak kurun aku menikah, aku belum pernah melihat maupun mendengar dua ibu dan anak itu bertengkar. "Bukannya dua bulan lalu mama bilang sertifikat kebun itu sudah diambil dari pihak bank, mama juga bilang kalo uangnya cair buat bayar utang sama Kinanti, dan ini sudah dua tahun enam bulan, Ma! kenapa sekarang masih di bank sertifikatnya?" Meski pelan namun jelas terdengar suara Bang Rio yang biasa kalem sedkit emosi. Apa? suamiku dan mertua sedang berdebat masalah utang? Bukannya setoran yang diberikan Bang Rio setiap bulannya mencapai hampir tiga juta. Set
Padahal, aku masih sangat ingat, bagaimana suara Mili yang manja bicara padaku pasca Alya lahir. "Kak, nanti kalo kakak lahirin anak cewek, gak usah cari babysister ya, aku aja, aku suka ngasuh anak cewek, gak bawel, mudah diurus, apalagi ponakan, sekalian belajar jadi ibu," ucapnya manja kala itu. "Lo, kamu kan harus sekolah, Mil?" "Kan udah tamat esde, Kak," "Iya, masa gak masuk SMP?" "Pending dulu setahun, Mili mau cari kerja, tapi mana ada ya, yang sudi mempekerjakan lulusan esde, selain rumah makan pinggir jalan sama jadi pembantu, mama kayaknya gak punya duit kalau Mili masuk SMP Bunda Jaya." "Kenapa harus SMP Bunda Jaya, Mil. Swasta mahal, Negeri banyak juga yang berkualitas," nasehatku kala itu. "Gengsi donk, Kak. Teman-temanku lima puluh persen masuk ke Bunda Jaya. Dua puluh persen ke sekolah negeri populer, rating tertinggi di kecamatan, eh masa aku mau masuk sekolah gorong gorong sih, mending nganggur, tapi jangan nganggur di kampung donk. Kalo aku nganggur di kampung
Magrib tiba, azan baru saja mengalun dari speaker toa, lokasi mesjid hanya berkisar sepuluh rumah dari rumah ini. "Ke mesjid, Bang?" tanyaku pada suami tercinta. Walau sudah tahu jawabannya, pasti iya, tetap saja aku bertanya, komunikasi suami istri itu penambah lekat telepati. Baju koko dan sarung yang menempel menunjukkan tanda, pencuri rusukku tak perlu menjawab tanya. "Iya, Dik. Alya tadi udah abang kasih makan, Rivo kayaknya belum, mandi juga belum dia, main melulu," ucap Bang Rio kode agar aku memperhatikan Rivo. "Kaget liat sungai dia, Bang. Kegirangan. Tuh, sekarang lagi mandi, padahal dah Rumi kasih tau, mandi magrib itu tidak baik. Rivo kan gitu, baru ketemu teman, suka lupa waktu. Entar siap sholat, Rumi ingatin, gih abang ke mesjid! takutnya telat." Aku mendorong tubuhnya keluar kamar. Malah suamiku itu masuk lagi dua langkah dari pintu. "Kamu yang sabar, ya. Maklumin, namanya di kampung mungkin mama ... " Kalimat itu terjeda. Aku menggeleng dengan senyuman masih menem
"Sebentar Rivo!" teriakku menghentikan Rivo yang sudah hampir mencapai pintu depan untuk keluar. "Sejak kapan Rehan di kampung? setau mama mereka tinggal di Jawa!" tanyaku entah mengapa merasa sesuatu yang lain. Banyak anak-anak di kampung mengapa Rivo langsung akrab dengan Rehan yang rumahnya di ujung kampung. Kapan pula mereka bertemu? "Gak tau, Ma. Ini Rehan, mama nanya, Han. Sejak kapan kamu tinggal di kampung?" tunjuknya ke depan halaman, berdiri seorang laki-laki lebih muda dari Rivo. Copasan wajah Kinanti. Tapi ....Aku menelisik wajah anak itu. Ada mirip-mirip seseorang. Siapa ya? merasa familiar dengan wajah polos di teras rumah, aku memasang senyum mengembang. "Kenapa? kamu kok gak senang gitu Rivo akrab sama anak Kinanti? curiga? atau baper? cemburu!" Tiba-tiba wajah Tante Sari muncul di belakangku, mencibir. Duh, apa tidak ada makhluk lain yang bisa menggantikan posisi manusia di belakangku ini. Berada lagi main sama tukang bully yang gak punya teman aku tu, mendadak m
Tentang Bang Rio. Lelaki yang kuyakin seorang imam yang sempurna. Tapi tidak ada manusia yang sempurna. Aku berharap Allah menyempurnakan semua yang ada pada dirinya untuk diriku. Dulu, aku hanya iseng menjawab pertanyaan Bang Rio. Ia kerap main ke rumah, bahkan ke kampusku, suamiku itu rajin olahraga futsal dekat kampus. Lelakiku itu kuliah beda kampus denganku. Ia membuka bengkel dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi swasta dengan biaya sendiri. Aku yang sudah mengenalnya lama, sejak remaja bahkan sejak lama pula punya rasa padanya, sedari mencuri pandang saat ia memikul gabah di area persawahan. Sebab satu kampung, aku kagum pada wajah tampannya yang cool pake banget. Tidak ramah pada wanita. Jarang senyum kecuali padaku. Eh. Kerap datang malam Minggu membawa makanan, kadang mengantarkan aku kuliah, mengajar les dan lainnya. Iseng aku yang mengetahui bahwa Bang Rio ikut salah satu pengajian berniat mengerjainya. "Eh, Bang. Tiap hari bawa-bawa aku. Tiap malam Minggu ba
Azan isya sudah berlalu sedari tadi, pantas saja Bang Rio sudah kembali. Mendengar Bang Rio datang. Aku melepas selimut dan bantal, menggendong Alya keluar. Biasanya jam segini suka ada tamu yang datang juga, kalau aku di kamar, apa kata tamu, 'menantu pemalas, yang tidak mau berbaur dengan keluarga?' Begitulah di kampung ini. Aku dan Bang Rio satu kampung, tapi mama sama papa sudah merantau sejak aku kecil. Kami hanya pulang ketika lebaran tiba. Serba salah emang kalau tinggal di kampung. Kutahan hati, bermain bersama Alya di ruang tamu bukan masalah, walau dulu biasanya, Tante Sari gemar bermain bersama Alya, membuatnya tertawa, bahkan rela menjadi kuda-kuda, karena katanya Alya itu mewarisi semua punya sang ayah, dari wajah sampai tingkah. Entah mengapa sekarang semua berubah. Semua berubah, sejak kami tidak punya apa-apa. Miskin lebih tepatnya. "Ma, besok mandi sungai, Yuk!" ajak Alya sambil terus menyusun warna lego yang sama, sengaja kubawa dari rumah, agar ia tak bosan di
"Rio percaya sama istri Rio, Ma. Rum bukan Kinanti yang suka memanipulasi." Wah. Apa aku tidak salah dengar? Bang Rio membelaku dengan menjelekkan Kinanti? Hmm, aku menunggu mertuaku itu membela diri. " Maaf, bukan Rio mau belain Rum, mama harusnya gak ngomong begitu. Gak ada yang bilang basi, Ma. Rum murni cuma nanya, Rum heran lihat Rio mengecap rasanya beda dengan sambal ayam yang biasa Rum masak, itu saja." Bang Rio ngotot membelaku. Ia mendekati Tante Sari yang mukanya ditekuk masam. "Kalau tidak suka ya gak usah dimakan, ingat saja, yang namanya gak punya duit banyak-banyak bersyukur, jangan sampai sombong padahal nihil yang mau disombongin, masa sudah diberi hati minta jantung, masih beruntung ada yang ngasih sambal, daripada makan pakai garam," celoteh Tante Sari tidak berhenti. Aku memilih diam. Cukup jadi penonton perdebatan mertua dan suami. Jika aku masuk dalam perdebatan mereka, tentu saja Tante Sari merasa dapat angin segar untuk kembali menyerang kata. "Mama," pan
Palingan si Kinan sudah cerita duluan. Memotong beberapa bagian cerita, menambahkan sebagian, dan entah apa lagi. Jadilah sebuah ghibah yang menarik. Padahal bertemu dengannya di warung tidak sampai lima menit. "Eh, Rum. Mertua nanya itu dijawab, malah diam?" Aku mau jawab apa? Ntar malah salah lagi. Tapi, bukan Tante Sari namanya kalau obrolannya berhenti sampai di situ. Aku sudah mengenalnya sejak keluar dari rahim ibuku, untung punya anak ganteng, sholeh dan penyayang, kalo tidak. Bakal adu jetos mertua versus menantu. "Tadi Kinanti cerita sama Tante, kamu ketemu dia di kedai beli telur, ekpresi kamu itu lo, kok kayak orang sewot jumpa dia, bukannya terimakasih sudah dikasih ayam goreng buat sambal kita satu rumah, eh kamu malah nyeritain kalo si Rio gak suka ayam goreng buatannya. Terus ngapain juga, diceritain kalo si Rio itu tidak suka penyedap rasa. Gak baik seperti itu, harusnya kamu ngucapin terimakasih, sudah gak perlu sampai harus bilang ayam gorengnya gak enak, jadi,