Bahkan si pengirim gelap itu mengirimkan lokasi dengan g****e Maps. Tempat Arini berada. Bermakna si pengirim berada di tempat yang sama.Siapa itu?Ilham begitu penasaran. Berkali mencoba menghubungi namun, gagal. Berkali-kali juga mencoba melacak tetap tidak terlacak. Sepertinya penelpon itu beli kartu seluler hanya khusus memberi informasi pada Ilham. Entah siapa dia? semua dibuat penasaran.*Gemerlap di ujung kota. Tidak menyurutkan langkah Arini menghadapi hari. Ia tengah bersiap berganti shift malam. Berbagi waktu dengan Vini, anak Lela yang baru lulus SMA.Sambil kuliah Vini membantu bagian online shop, juga desaign batik modren, Vini pernah mengikuti balai pelatihan gratis yang diadakan pemerintah. Desaign batik modren di salah satu lembaga. Mereka mengelola butik dari menjual warisan orangtua Arini. Lela menyetujui, sebagian Lela belikan kebun sawit, sebagian diberikan kepada Paman Lian dan sisanya Arini membuka gerai butik bersama Vini.Semua pembagian warisan sesuai kesep
"Selamat, ya, Nak. Semoga Allah berkahi." Paman Lian memeluk Arini--menangis. Ia merindukan Reno--setiap melihat Arini. Ikatan darah yang begitu kental.Disusul Lela, Vini dan Asti. berpelukan sesenggukan. Padahal nikah adalah hari bahagia, tetap saja meninggalkan momen air mata. "Kamu hebat, Arini. Kakak bangga dengan sarat yang kamu ajukan. Wanita harus begitu, boleh bucin tapi realitas tetap dipikirkan.""Terimakasih, Kak Asti. Kakak juga hebat. Dalam keadaan hamil jauh dari suami, sungguh beruntung bisa dapat suami hapal Qur'an, punya usaha banyak tapi tetap juga kerja jadi karyawan. Hebat," ucap Arini tulus.Mereka melanjutkan perbincangan di luar setelah semua prosesi selesai."Kamu lebih hebat sayang, tidak semua wanita yang dengan mudah menerima kembali suaminya setelah dengan bukti di depan mata.""Ilham sudah menceritakan kronologi kejadian di Kafe Jaya, Kak. Murni kejadian itu Mira mengatur skenario. Arini juga menyimpulkan begitu.""Benar, tapi sudah berbulan-bulan lamany
"Apa kau tau tuan Ilham di mana?" tanya Mira pada seorang lelaki yang duduk di trotoar, lebih kurang lima ratus meter dari kantor Franve. Sekarang Mira bekerja di perusahaan itu. Ia biasa melihat lelaki di trotoar. Tapi Mira tidak tahu lelaki itu kerja di bagian mana Di kantor Franve.hanya Mira pernah melihat laki-laki itu menjadi salah satu office boy di perusahaan Ilham."Aku tidak tau, apa tidak kau coba coba tanya ke butik Nyonya, Arini," balas lelaki itu. "Aku mohon, bisakah kau menolongku, bukankah kau OB di salah satu perusahaan keluarga Penang?" ucap Mira membuat lelaki itu menoleh dan menatap heran ia sebenarnya juga tahu wanita yang di depannya hanya lelaki itu tidak menyangka bahwa Mira mengenalinya."Apa sebabnya aku harus membantumu?" tanyanya balik dari nada suara lelaki itu tentu saja bila tahu tidak ia menyukainya."Aku hamil, dan ini anak Ilham." Mira sengaja menceritakan dan menjelaskan Siapa tahu lelaki itu membeberkan kepada keluarga Penang bahwa dia telah hamil a
"Sayang, siapa tau penting. Itu bunyi notif alarm cctv dari butik, lo." Arini protes akan perlakuan Ilham, yang dengan sengaja mematikan daya ponselnya."Kalau emang penting, nih si gawai senter aktif." Ilham memamerkan phone jadul miliknya. "Mereka pasti nelpon kemari, aku gak mau kita diganggu lagi bahagia gini sayang," ujarnya kemudian. "Mana mungkin urusan butik Vini nelpon kamu, Vini gak bakal klik power sambungan ke iPhone aku, kecuali darurat. Apalagi yang tau cara penghubungnya cuma Kak Asti. Pasti ada sesuatu terjadi di butik." Arini memberi keterangan, ia sedikit kawatir karena hanya saat genting CCtv disambungkan ke iphone miliknya. Pasti telah terjadi sesuatu dengan butik. "Ya sudah. Mas telpon papi, Paman Lian, atau mama. Biar mereka semua mengamankan butik kita, dan kemesraan ini tidak terganggu. Bagaimana, Sayang?" Ilham menyentil dagu Arini, mengerling nakal. Ilham tidak ingin ada ada yang mengganggu kemesraannnya dengan Arini. Ia bersusah payah mengembalikan keper
Awal mula terjadi perbuatan zina, tentu pelaku tidak secara langsung merasa. Berawal zina mata, seperti saling pandang, saling bersenda, saling tertawa, bersama lawan jenis telah membuka lebar gerbang menuju undangan para setan. Sejatinya tidak ada manusia yang ingin berzina. Untuk menghindari zina, menjaga pandangan solusi pertama, kemudian tidak berlebihan berteman dengan lawan jenis yang bukan mahrom. Sholat dengan khusuk salah satu gembok mengendalikan diri dari perbuatan terlarang. Terkadang, zina datang setelah saling pandang. Berawal saling melempar senyuman. Setelah berbincang, langkah pertama menjejaki perasaan, saling ketergantungan merasa nyaman. Merasa terbiasa dengan saling menyentuh, saling merangkul, berpelukan seolah hal yang dilumrahkan, dan tidak perlu dipermasalahkan. Padahal, perbuatan itu langkah segera terjadinya zina, biasanya perbuatan terkutuk itu selalu berawal dari mengobrol antar lawan jenis yang bukan mahrom pada waktu senggang. Setelah nyaman berb
"Keren ya, Mas. Kamu bisa bawa aku ke tempat-tempat begini. Ke pantai, ke hutan, ke kebun, bahkan ke tempat banyak kenangan tentang kita." "Karena Mas ingin kamu selalu mengenang cinta kita, dan tidak akan meragukan Mas lagi." Ilham membelai kepala Arini. Tujuannya datang ke tempat itu memang untuk mengingatkan hari hari di mana dulu mereka pernah saling memadu kasih, di saat remaja sampai di dewasa tersemat pada mereka."Tidak meragukan? Ya, tentu tidak meragukan, jika Mas, juga tidak membuat hal-hal atau sesuatu yang menimbulkan keraguan," ucap Arini diplomatis. "Kamu itu, masih kayak kita kuliah dulu. Cerdas bermain kata." Ilham tertawa kecil. "Kalau lagi mood. Kalau lagi sebel otaknya ikutan, mampet." "Tinggal asah, alirkan, jangan sampai mampet." Ilham tertawa mendengar jawaban Arini. Arini tersenyum membalas tawa. Dari dulu ia memang tidak pernah meragukan cinta Ilham. Tapi, hidup tidak sekadar menelan cinta. Banyak hal yang terjadi dan bisa saja takdir mengharuskannya untuk
Talak Tiga telah Sah. Dan ... Ilham, mama, serta Papi Ronald menyembunyikan dari Arini. "Assalamualaikum, Unda!" teriak dua orang dewasa dan seorang bocah serentak. Arini terhenyak karena kaget. Memaksa senyum di wajahnya. "Arini!" Meli yang baru saja menjemput Satya, terdiam melihat wajah sembab menantunya. "Kenapa, Sayang." "Unda, Atya kangen, Unda lama banget peginya." Arini meraih Satya menggendong bocah itu. Membuang wajah agar mertuanya itu tidak bisa menjadi detektor pikirannya. "Katakan, Nak. Ada apa?" "Bukankah Arini yang seharusnya bertanya, Ma. Ada apa?" tanyanya memutar balik. Meli terdiam, Meli seakan bisu di tempat. Gemetar. Ia sangat paham maksud pertanyaan Arini. "Kamu sudah tau?" "Apa yang harus Arini ketahui? Apa sesuatu yang dilarang?" tanya Arini lagi. Ia ingin menguji Meli. Sampai di mana Meli menyembunyikan hal sepenting itu padanya. "Tidak, Nak." Meli menunduk. Satya menatap bingung Nenek dan Bundanya. Mata Meli berkaca-kaca, tidak mampu melontar kata.
"Lupakan apa yang kukatakan. Kau terlihat cantik sekali malam ini!" bisik Burhan lagi. lagi-lagi wajah Arini tersipu malu. Membuat Burhan paham apa yang dimaui wanita itu. "Hei, apa kau sedang kemasukan?" tanya Arini heran melihat perubahan sikap Burhan. Sebenarnya Burhan tidak ingin jaim, atau diam-diaman. Selama Arini nyaman. Ia akan lakukan."Ya, kerasukan cinta Arini Ayunda. Wanita cantik yang pernah aku temui. Tapi sayang, dia bucin akut pada seseorang sampai tak sadar bisa tapal batas antara kesumat dan cinta." Burhan melirik Arini dari ekor matanya."Melihat gigihnya seorang Arini ingin seperti Mira. Menampilkan segala jenis usaha untuk menggoda. Berakhir sia-sia.Burhan memahami luka, trauma menikah, bisa jadi trauma untuk tidur bersama, sedang menjangkiti Arini tanpa disadari oleh pikirannya.Burhan sadar, jika ia melebur ke jiwa Arini, maka segala rayuan yang dikeluarkannya pasti diterima. "Burhan! kau sedang menyindirku?""Gak mungkin aku menyindir Kirana si cantik ponak