"Jika merindu hanya menyakitimu, maka belajarlah mengikhlaskan."
Faiqa Eiliyah
Karina duduk di halaman depan rumah Mama Ina, memanjakan mata dengan pesona bunga-bunga beraneka warna, yang selalu mampu menarik perhatiannya setiap kali ia berkunjung ke sana.
Dulu sebelum punya rumah sendiri, beliau sering tanya-tanya tentang tanaman bunga, saat melihat Karina begitu bahagia merawat bunga-bunga itu.
"Apa untungnya sih Kar, tanam bunga? Daun dan bunganya nggak bisa di komsumsi dan nggak bisa jadi uang juga?" tanya Mama Ina waktu itu.
"Iya, Ma, tapi ini obat mujarab untuk mengobati hati yang sedang galau atau menghilangkan stress dan jenuh juga," jawab Karina.
"Masa seh?" tanyanya ragu saat itu.
"Ya, bagaimana Mama mau tau, kalau Mama nggak nyoba?" tantang Karina yang membuatnya tersenyum.
Pernah sekali waktu saat libur. Karina dan Ayub berlibur ke sana di Sabtu sore. Karina mendapatinya tengah menggunting-gunting bunga mawar yang sudah coklat dan kering dari tangkainya. Beliau mengerjakannya persis seperti yang dijelaskan Karina dulu.
Kalau mau bunga mawar cepat berbunga dan kelihatan cantik terus, kita harus rajin memangkas ranting yang sudah mati dan membuang bunga yang sudah coklat.
Karina menggodanya dengan mengatakan padanya, "Ada yang ketularan demam bunga, neh!"
Mama Ina hanya tersenyum, melepaskan gunting, membilas tangan di air keran. Lalu menyambut salim Karina dan menggendong Ayub masuk ke rumah.
"Eh, si Ganteng datang lagi, Kakek dan Nenek sudah lama rindu!" ucapnya sambil mencium pipi tembemnya.
"Iya, Kar, kamu benar. Menanam bunga itu bisa membuat hati senang terus. Kalau cuma galau-galau ringan, terhempas manja hanya dengan menatap mereka-mereka ini!" ucapnya saat itu yang membuat Karina tertawa terbahak saking gelinya, mendengar pengakuan Ibu sambungnya itu.
Seperti liburan sebelum-sebelumnnya, liburan kali ini pun mereka habiskan di sini. Karena nggak mungkin mereka berlibur ke rumah mertuanya, rumah mereka saat ini sedang kosong. Semua penghuninya ada di Surabaya sana.
Kayra yang kebetulan Off kerja, tengah keasyikan bermain dengan Ayub. Kadang terdengar dia berteriak meminta ampun, entah apa yang di lakukan Ayub pada Bunjunnya itu (Bunjun-Bunda junior).
Karina meraih HP, membuka beranda F******k, melihat ada satu berita pemberitahuan. Alangkah sesaknya ketika mengetahui kalau itu hanya like dari Raka, pada komentar Karina di fotonya kemarin.
Dada Karina seakan terbakar oleh amarah yang yang begitu hebat, "Ya, Allah sesibuk itukah dirinya, hingga mengetik beberapa kata saja dia sudah tak sanggup!" umpat Karina dengan air mata yang mengalir.
Karina menelan saliva pedih, mencoba untuk tak lagi berharap banyak pada siapa pun. Jika kenyataan hanya luka yang akan selalu hadir sebagai jawaban dari setiap harapannya.
Raka suaminya yang dulu mungkin sudah mati, kini ia hanya seonggok daging tanpa hati yang hanya di penuhi oleh ambisi akan kesuksesan dan uang.
Karina berjalan jauh ke belakang, ke kebun pisang di belakang rumah Mama Ina. Dia menghubungi Raka suaminya dengan dada bergemuruh hebat, "Halo, Assalamualaikum!"
"Waalaikumussalaam!" jawab Raka datar, tanpa ada kesan rindu dalam setiap nada suaranya. Hening cukup lama, Karina menantinya membuka suara.
"Ini mau bicara atau apa? Kalau hanya untuk diam seperti ini, kenapa harus menelpon? Mengganggu kakak kerja saja!" bentaknya di ujung sana.
Karina tersenyum, lalu tertawa pelan. "Iya, kau sangat sibuk Kak, hingga lupa! Kalau seorang istri tidak hanya butuh materi dari suaminya. Dia juga butuh cinta dan perhatiannya!" jawab Karina getir akhirnya.
"Jangan mulai lagi deh, kakak benar-benar sibuk. Ada banyak pengunjung sekarang!" nada bicaranya mulai melemah.
"Apa Kakak yang memasak semua menunya? Apa Kakak yang mengantar pesanan ke meja? Apa Kakak yang membersihkan semua meja begitu pengunjungnya pergi dan apa Kakak juga yang mencuci semua piring kotornya? Jawabannya, bukan, kan? Lalu Kakak sibuk apa? Sampai lupa berkabar sama anak dan istri hah!?" bentak Karina lalu memutuskan telpon. Karina lelah terus menerus merindu tapi diabaikan.
'Kalau sudah punya yang lain di sana. Kenapa tak jujur saja, agar aku berhenti berharap dan agar aku bisa menata hati tanpa terus menerus melangkah dengan kehampaan?' lirih batin Karina, sambil menggenggam erat ponsel di tangannya.
Beberapa menit kemudian HP-nya berdering kembali .
"Sayang, maafkan kakak!" ucap Raka dari seberang sana. Membuat air mata menganak sungai di kedua belah pipi Karina. Dia tak berkata apa pun, hanya mampu bergetar menahan amarah yang tak lagi sanggup ia bendung.
"Semoga kecurigaanku selama ini tidak benar. Semoga kau masih Rakaku yang dulu. Aku tak akan pernah lagi mengganggumu, jika kau sempat menghubungiku. Kau akan melakukannya, tapi jika tidak. Maka biarkan aku merindu sendiri ....!" ucap Karina dengan suara bergetar menahan sesak.
"Sekarang kau bisa bekerja dengan tenang, tanpa harus khawatir aku akan mengusikmu. Maaf jika selama ini aku hanya jadi pengacau! Assalamualaikum!" ucap Karina, lalu memutus sambungan telpon mereka.
Menghapus air mata, mengatur napasnya baik-baik lalu kembali ke taman depan. Duduk di kursi tadi, di bawah pohon mangga golek yang tumbuh subur berdampingan dengan pohon mangga harum manis.
Karina menarik napas menenangkan hati, tak ingin ada orang lain yang tau tentang apa pun yang terjadi padanya.
"Kakak dari mana seh?" tanya Kayra yang ternyata baru pulang, dari jajan sama Ayub.
"Kakak dari belakang tadi," jawab Karina menampilkan senyum palsu yang sangat manis. Saking manisnya, hingga Kayra sama sekali tak mampu membaca ada selaksa duka yang mengendap di dalam sana ....
Ayub turun dari boncengan, lalu berjalan ke arah Karina, membawa kantong belanjaan yang membuatnya cukup kesulitan berjalan.
"Itu beli apaan, banyak banget?" tanya Karina menatap dalam, mata putranya.
"Beli es krim, wafer, coklat sama snack," ucap bibir mungilnya dengan mata berbinar karena bahagia.
"Jadi, ibunya di beliin apa?" tanya Karina menggoda.
Dia menoleh ke Bunjunnya, Kayra tersenyum padanya dan menenteng kresek berisi pembalut, perlengkapan mandi dan dua buah es krim. Dia duduk di samping Karina dan memberi satu es krim itu untuk kakaknya.
"Ough, jadi yang di kantong ini, semuanya punya Ayub?" tanya Karina pura-pura kaget.
Ayub mengangguk cepat, seolah ingin menegaskan kalau yang di katong itu semuanya sudah terbeli atas namanya seorang. Karina dan Kayra terkikik geli, saat Ayub membawa kantong itu masuk ke rumah dengan sedikit usaha keras.
"Dasar bocah!" ucap Kayra disela-sela tawa yang meledak, begitu Ayub sudah menghilang di balik pintu.
"Kak, kapan Kak Raka menjemput kalian? Ini sudah hampir enam bulan loh, Kak Raka di sana nggak pulang-pulang," tanya Kayra tiba-tiba.
"Entahlah, kakak nggak tertarik mau nyusul ke sana!" ucap Karina merasa tak nyaman dengan perbincangan mereka kali ini.
"Bagimana dengan pekerjaanmu?" Karina sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Allhamdulillah, Kak, sekarang aku sudah di angkat jadi kepala kasir!" ucapnya antusias, melupakan hal pertama yang dibahasnya tadi dan memang itu yang Karina inginkan.
"Wah, gajinya sudah lumayan dong, yah?" goda Karina, mencoba melupakan kepahitannya sendiri.
"Allhamdulillah, Kak! Lebaran yang akan datang, Kakak tak perlu beli pakaian baru untuk Ayub, aku akan bawa kalian jalan-jalan ke Mall!" janjinya.
"Sudah siap malu? Kalau kakak malu-maluin!" goda Karina lagi diiringi senyum simpul.
"Ya, Allah, Kak ... sampai kapan Kakak mau menghindar dari hal-hal yang beginian? Kakak itu harus berani. Mana tau nanti Kakak nyusul Kak Raka ke Surabaya, nggak mungkin, kan? Kakak di sini terus sementara dia di sana?" Mulainya lagi, membahas masalah Raka yang hanya membuat hati Karina semakin sakit.
"Ketika tangan dan indra tak lagi mampu menjaga orang yang kau cintai, maka gunakanlah doa untuk menjaganya dari jauh. Jika itu masih belum berhasil, yakinlah rencana Allah jauh lebih baik dari apa yang kau rencanakan"Faiqa EiliyahKarina dan Kayra membersihkan piring kotor bekas makan tadi, setelah sekian lama akhirnya mereka bisa mengulang kegiatan ini bersama. Kegiatan yang dulu sering mereka lakukan saat mama mereka masih hidup di tengah-tengah mereka."Lama ya, baru bisa cuci piring bersama lagi?" ucap Karina memecah hening antara mereka."Iya, Kak, jadi ingat waktu Mama masih hidup," bisiknya, takut kedengaran Mama Ina. Padahal Mama Ina baik dan tak pernah melarang merekka membahas soal mama mereka.Bahkan, kadang dia sendiri yang bertanya- tanya tentang bagaimana mama mereka dan kesehariannya saat masih hidup. Hanya saja mereka berdua yang menjaga perasaan mama sambung mereka.
"Selingkuh itu nikmat dan menyenangkan. Ia menjanjikan seribu kenikmatan dan kesenangan, tapi menyiapkan penyesalan dan penderitaan yang tak berkesudahan."Faiqa EiliyahRaka tak bisa tidur, kalimat demi kalimat pahit yang keluar dari bibir istrinya. Seperti peluru yang dibidikkan dan meledak tepat di kepalanya. Dia sudah lupa daratan, hanya karena desah manja dan pesona seorang wanita baru yang ditemuinya beberapa bulan lalu secara tidak sengaja di restoran mereka.Namanya Gadis, mata yang bulat dengan iris berwarna coklat terang. Bibir tipisnya yang menggoda mata setiap pria yang memandang. Ditambah hidung bangir dan kulit putihnya yang selicin porselen. Tentang tubuhnya, dia laksana model dengan tinggi semampai dan body yang aduhai.Lelaki mana yang tak akan meneguk saliva ketika Gadis sekedar lewat di hadapannya. Dia terlalu sempurna, seolah diciptakan bukan dari tanah, tapi dari sekumpulan batu mulia yang amat indah.
"Kehangatan dalam keluarga adalah kebahagiaan sederhana yang mahal harganya, bagi mereka yang terpisah jarak dan ruang. Namun, kebahagiaan sederhana yang murah bagi mereka yang saling berdekatan, baik jarak dan juga hatinya."Faiqa Eiliyah.Karina terjaga dengan pandangan berputar ... salat Subuh dengan keadaan tak stabil. Kepalanya sangat berat.Pagi ini Kayra sudah harus kembali ke Kota untuk kerja, Karina terus mewanti-wantinya agar bisa mawas diri. Jangan sampai terperosok dalam lembah zina."Inshaa Allah, siap Kanse!" ucapnya sembari menaikkan tangan menyentuh keningnya untuk hormat.Kanse (Kanda senior) adalah panggilan Kayra pada Karina sejak mereka beranjak remaja. Sebaliknya Dinjun (Dinda junior) adalah panggilan Karina pada Kayra, tapi setelah Ayub lahir, panggilan untuk Kayra bertambah jadi Bunjunnya Ayub (Bunda Junior).Ayub berlari dari dalam rumah, masih dengan muka b
"Kesendirian adalah jalan terbaik untuk duka dan jenuh menghancurkanmu."Faiqa EiliyahAyub seru sendiri bermain di taman belakang. Bersama kedua robot yang dihadiahkan oleh kak Nadiranya, dua hari yang lalu sebelum kembali lagi ke Surabaya.Meskipun Ikshan dan Raka sama-sama di Surabaya, tapi jarak tempat Ikshan bekerja dengan restoran milik papa Pratama cukup jauh. Mereka baru sekali mampir di sana. Itu pun karena kebetulan lewat."Assalamualaikum!" Suara seorang wanita dari arah pintu depan, membuat fokus Karina dari pakaian yang dilipatnya teralihkan. Karina meninggalkan pekerjaannya dan bergegas menuju pintu."Waalaikumussalaam, eh, Mbak Nayra, silahkan masuk!" ajaknya ramah."Ayubnya mana, Mbak Karin?" tanyanya sambil celingak celinguk mencari Ayub, membuat Karina tanpa sadar terkikik geli melihat ulah tetangga barunya yang polos itu."Dia di taman belakang,
"Sahabat baru terkadang bisa membawa suasana baru. Di saat jenuh terasa ingin mencekikmu."Faiqa EiliyahSeperti permintaan Nayra kemarin sore. Saat ini Karina dan Ayub sudah duduk manis di depan rumah Nayra. Berbeda dengan Karina yang lebih suka bunga yang benar-benar menampakkan bunga. Karina begitu gila pada jenis-jenis bunga itu. Karena mencintai aneka warna, bentuk bunga, kelopak, juga keharumannya. Sedang Nayra kelihatannya lebih menyukai tanaman hias daun yang beraneka corak dan bentuk. Berbagai jenis tanaman hias daun memenuhi teras dan halaman rumahnya."Eh, Ayub! Senang banget akhirnya kalian mau ke sini!" serunya, membuat Karina terlonjak kaget dari keasyikannya menyapu tanaman hias milik Nayra dengan tatapan liarnya."Eh, maaf!" ucap Karina tersipu malu, sementara Ayub ternyata sudah asyik sendiri melihati kolam ikan yang penuh dengan ikan-ikan cantik di bawah sana.
"Luka yang tertinggal di tubuh bisa disembuhkan oleh obat, tapi luka yang tertinggal di hati hanya mampu disembuhkan oleh waktu."Faiqa EiliyahHari ini Karina dan Nayra selesai barter tanaman bunga. Beberapa hari yang lalu Karina menyarankan agar Nayra mau menanam tanaman hias yang ada kembangnya, tapi dia menolak. Alasannya tanaman hias yang berbunga ada masa matinya dan harus diperbaharui lagi, cenderung manja karena harus disiram tiap hari.Tapi Karina mematahkan argumennya dengan mengatakan, kalau untuk melihat keindahan yang luar biasa memang perlu sedikit usaha. Lelah itu akan terbayar ketika warna warni dari kelopak bunga itu memenuhi tamannya.Sebagai gantinya Nayra juga meminta agar Karina merasakan simplenya menanam tanaman hias daun, selain nggak manja. Dia juga tahan segala cuaca dan tak perlu rajin disiram.Karina bahkan sempat ngakak menggoda Nayra kalau tanaman hias daun itu, Tuhan ciptakan unt
"Menepikan biduk ke bibir pantai ketika di tengah lautan ada amukan badai adalah cara terbaik untuk menyelamatkan biduk dari karam."Faiqa EiliyahKarina sudah selesai menata sarapan di atas meja, Ayub sudah rapi menggunakan pakaian TK-nya yang sangat manis dengan perpaduan warna hijau dan putih. Sementara Raka tertidur kembali setelah usai salat Subuh, entah apa yang dilakukannya semalam hingga ia tidur terlalu larut.Selesai sarapan, Karina menyisihkan piring kotor. Menutup kembali sarapan yang ada di atas meja dengan tudung saji. Lalu bergegas mengantar Ayub ke TK-nya dengan jalan kaki."Pagi, Ayub!" Suara Nayra membuat keduanya menoleh berjamaah pada si sumber suara."Pagi, mbak Nayra!" balas Karina dengan tersenyum lebar."Mau kemana, tumben sepagi ini?" tanya Karina bingung."Mau ikut kalian," jawabnya sambil cengar-cengir nggak jelas."Ikut?"
"Sebesar apa pun luka yang tengah meradang di hati seorang Istri, luka itu akan ia lupakan demi melihat buah hatinya bahagia."Faiqa EiliyahAyub mengangkat wajah dengan tatapan dingin ketika Karina sampai di sana. Teman-temannya sudah menghilang, menyisakan dirinya menunggu sendiri. Belum lagi Mak Idah yang biasa menemaninya, hari ini belum juga masuk karena sakit."Ibu lambat, ya?" tanya Karina dengan raut penuh penyesalan, sambil mencoba membaca raut wajah putranya yang dingin. Karina ikut duduk di samping Ayub karena ia tak memberikan tanggapan atau respon pada pertanyaannya."Kenapa memarahi Ayah, apa Ibu mau Ayah pergi lagi jika Ibu terus memarahinya!" ucapan putranya membuat rahang Karina nyaris lepas dan terjatuh."Hah, sejak kapan Ayub berani menguping pembicaraan orang tua? Dosa loh, anak kecil menguping pembicaraan orang dewasa." Karina yang shock menoleh pada putranya."Ayub, nggak