“Jadi, dia sebegitu hebatnya ternyata?” tanya laki - laki sepuh itu. “Ya, Kakek Guru. Dia memang sehebat dan sekuat itu, aku yakin ilmu kanuragan yang dia miliki mungkin sebanding dengan penatua yang berada di perguruan pendekar Akasa ini” jawab Ayu dengan nada yang meyakinkan. "Jika demikian, kita tak boleh ceroboh dalam menghadapinya. Meskipun sang pendekar legendaris telah tiada, tak menutup kemungkinan bahwa seluruh warisan kanuragan yang ia miliki telah dilimpahkan pada sang Cucu. Bukankah ia yang mengeluarkan ajian kuno tersebut?" tanya Kakek Guru dengan mata tajam yang melirik ke arah sang gadis. Suaranya penuh dengan kebijaksanaan. “Ya, Kakek Guru. Ajian kuno yang begitu dahsyat itu, dia yang mengeluarkannya” jawab Ayu dengan nada yang hormat dan sopan. "Jika begitu, kemampuannya tak lagi sebatas seorang penatua, melainkan setara dengan pemimpin dari lima perguruan pendekar terkemuka di negeri ini. Sungguh menakutkan, pada usia yang begitu muda dia telah menguasai ilmu kanu
“Kamu sudah merapikan baju, Askara?” tanya Larasati kepada pemuda yang duduk disampingnya. “Sudah Kak, kalau kakak UASnya bagaimana?” balas pemuda itu. “Lancar kok, nanti kamu berhati - hati ya saat disana. Jangan sembarangan berucap dan selalu ikutin rombongan, lalu jangan pernah mencar - mencar sendiri” ucap Larasati memberi nasihat kepada adik angkatnya itu. “Iya, kak” balasnya, kemudian dia membaringkan tubuhnya di paha Larasati, membuat perempuan itu bersemu merah dan sedikit agak kaget. “Lelah banget hari ini Kak” ucap Askara, seraya menatap wajah perempuan itu dengan lekat. Membuat perempuan itu memalingkan wajahnya secara perlahan, karena kaget dan malu jika dia melihat wajahnya yang memerah. “Memang lelah kenapa?” tanya Larasati, kemudian dia mengelus kepala dan kening Askara dengan perlahan serta lemah lembut. “Tidak tahu, tetapi Askara lelah saja sekarang” jawabnya, kemudian dia meraih tangan Larasati, lalu mencium telapak tangannya. “Kamu kenapa kok cium - cium tel
Trang Askara memegang erat pedang yang baru saja ia ambil dari sekitar tempat itu, kemudian dia menangkis serangan yang tak terduga yang dilancarkan oleh salah satu siluman tersebut. Matanya menatap tajam ke arah makhluk yang baru saja menyerangnya. “Siapa kau?” tanya Askara dengan nada yang dingin, kemudian dia dengan cepat menendang makhluk tersebut dengan kekuatannya, sehingga makhluk itu terlempar beberapa meter. Dhuaakk “Dia siluman!” ucap Ayu dengan nada yang meninggi. Dengan lincahnya, gadis itu menghadapi serangan yang datang tiba - tiba dari belakangnya, mengayunkan tombak yang terselip di sekitarnya. Ternyata, senjata - senjata yang berhamburan di sekelilingnya adalah berasal dari manusia yang sekarang menjadi tumpukan mayat. Manusia itu dulunya melawan para siluman menggunakan senjata yang mereka miliki, tetapi mereka semua kalah dan tewas di tempat ini. “Kurang ajar kau!” umpatnya, kemudian dia menyerang siluman itu dengan brutal, sehingga tubuh siluman itu terbagi me
“Kurang ajar sekali dirimu ini manusia!” ucap siluman Kera dengan nada merendahkan. Pada saat yang sama, tekanan udara meningkat dengan tiba - tiba, menyebabkan mereka berdua tercekik dan sesak napas oleh aura membunuh yang begitu kuat terpancar dari siluman Kera tersebut. “Bedebah, dan aura pembunuhan yang terpancar darinya begitu kuat," gumam Ayu dalam hati, sambil berjuang untuk mengatur pernapasannya yang terganggu akibat pancaran aura membunuh dari siluman Kera itu. “Kuat juga dia” balas Askara, kemudian tanpa ragu, ia melepaskan pancaran aura pembunuhnya yang memancar dengan gemilang. Saat dua pancaran itu bertabrakan, gelombang kekuatan saling beradu, menghempaskan kedua pemilik aura itu hingga beberapa meter menjauh. "Tunggu sebentar, mohon beri tahukan kami, mengapa kami dibawa ke tempat ini? Apakah benar bahwa kalian semua berniat untuk menyerahkan kami sebagai tumbal bagi makhluk yang kalian tunggu kebangkitannya, seperti yang diungkapkan oleh Askara sebelumnya?" tanya
Pemuda itu, dengan kuat, menyatukan keningnya dengan kening siluman Kera itu, menciptakan suatu kontak yang menggetarkan. Serangannya tersebut membuat siluman itu terdorong mundur beberapa langkah, memberikan kesempatan kepada Askara untuk melancarkan serangan berikutnya. Dalam momen yang penuh keberanian, Askara mengarahkan tendangan ke arah perut siluman Kera itu. Meski siluman tersebut berhasil menahan serangan pemuda itu, namun dampaknya membuatnya terpaksa terhuyung mundur beberapa langkah. Dalam kekuatan yang menggugah hati, pertemuan antara Askara dan siluman Kera itu menciptakan suatu momen yang menegangkan. Serangan yang dilancarkan oleh pemuda itu, sekalipun dihadang, tidak dapat dipandang remeh. "Sudah terlalu lama kita beradu, dan aku tak bisa menolak untuk mengakui kehebatanmu, sebagaimana dirimu mengakui kehebatanku dalam pertempuran ini. Untuk menghormatimu, ijinkanlah aku memperkenalkan diriku dengan penuh rasa hormat. Namaku Wanara Madya Wengi, yang dikenal sebagai
Ucapan yang dilontarkan dengan penuh kharisma tersebut mengungkapkan kekuatan ajaib yang dimiliki oleh pemuda tersebut. Dalam keindahan yang memukau, cahaya putih yang bersinar terang muncul dari sekeliling tempat di mana Askara berada. “Ajian apa itu? Aku belum pernah melihat jenis Ajian seperti itu seumur hidupku” gumam Wengi, kemudian dia mempererat genggaman pada tongkat emasnya. Dengan gesitnya, pemuda itu seakan - akan melampaui ruang dan waktu, muncul di depan Wengi dalam sekejap mata. Dalam gerakan yang cepat dan tangkas, dia menyerang siluman Kera itu dengan kecepatan yang memukau. Dalam hanya dua serangannya, senjata pusaka berupa tongkat emas yang dipegang oleh Wengi retak tak terkendali, memaksa siluman itu menahan diri dengan susah payah, kebingungan melintas di matanya. Dalam kecepatan dan keahlian yang luar biasa, pemuda itu berhasil mencapai kemenangan yang menakjubkan. Melihat tongkat emas yang kini retak dan hampir hancur, Wengi terpaksa menelan ludahnya dengan k
Seperti seorang penari yang mengikuti irama musik yang tersembunyi, Askara dengan keahliannya yang luar biasa melancarkan serangan - serangan cepat dan efisien kepada para siluman yang mendekatinya. Gerakannya yang lincah seakan - akan mengikuti aliran angin, dengan setiap tebasan pedangnya yang tajam memotong bagian - bagian tubuh para siluman yang berusaha menyerangnya. Keindahan dan ketangkasannya dalam pertempuran ini seperti tarian maut yang memukau, menciptakan komposisi harmoni antara kekuatan dan kegrasian yang memukau. Tubuh - tubuh yang hancur dan terpotong-potong menjadikan lantai tempat itu dipenuhi dengan percikan darah yang mengerikan. Dalam keadaan yang penuh dengan ketegangan, matanya bersinar dengan kecerdasan yang tajam, mendeteksi serangan dari berbagai arah yang mengancamnya. Dengan kecekatan dan kecepatan yang luar biasa, Askara telah mengantisipasi serangan itu sebelum mereka bahkan bisa mencapai dirinya. Dalam satu gerakan yang begitu elegan dan mematikan,
“Ya, kalau begitu ayo kita bergegas cepat untuk keluar dari kerajaan ini” ucap Askara dengan lembut, sambil memegang erat tangan Ayu. Dalam kehangatan genggaman tangan mereka, terpancar keinginan yang kuat untuk tidak kehilangan satu sama lain. “Tangan Askara ternyata lebar dan kuat ya, sekaligus hangat” ucap Ayu dengan penuh kekaguman di dalam batinnya. Dengan langkah yang cepat, mereka berdua melaju maju, namun terhenti oleh pemandangan yang mengejutkan. Di depan gerbang keluar Kerajaan, terhampar ratusan prajurit yang menghalangi jalan mereka. Dalam cahaya yang redup, mata mereka memancarkan warna merah menyala, taring-taring mereka terlihat mengancam, dan napas mereka mengeluarkan hembusan yang mengguncangkan jiwa. “Jadi, dimana Maharaja Siluman Kera Wanara Madya Wengi dan kenapa kalian para manusia berhasil keluar dari Istana Kerajaan?” tanya salah seorang siluman kera dengan suara yang menggema di seantero kerumunan. Tampak jelas bahwa dia adalah salah satu pemimpin atau peti