Sehari setelah pernikahan Khaira dengan Ahsan, Khair dijadwalkan terbang ke Malaysia. Pemuda yang akan menjalani perkuliahan pascasarjana itu sudah menyiapkan koper dan bekal.
Dia sudah janjian dengan Ahsan dan Khaira yang akan datang menjemput dan mengantarnya ke Bandara. Jadi, begitu terdengar ketukan di pintu, Khair langsung keluar dengan wajah ceria. Namun, langkahnya terhenti kala mendapati seseorang berdiri di dekat pintu masuk. Orang itu bukan kakaknya.
Khair menatap heran. Keberadaan orang tersebut sungguh di luar dugaannya.
“Hm ....” Khair jadi speechless. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya kepada sosok wanita bercadar yang tampak sudah lama berdiri di depan pintu itu. Dari mata dan tatapannya saja Khair langsung bisa mengenali siapa wanita itu.
“Riang ke sini hanya mau menyampaikan sesuatu.”
Heran bercampur penasaran membuat jantung Khair sedikit berdebar. “Apa yang mau disampaikan Riang?”
Sudah sejauh ini .... Bab berikutnnya adalah ending. Terima kasih untuk para pembaca :) Jika berkenan silakan sapa penulis di IG: @gallery_nenknonk atau Fb: Eneng Susanti.
“Jangan nangis, Teh,” bisik Khair saat mereka berpelukan. “Khair enggak bawa sapu tangan.” Pemuda itu tertawa. Namun, matanya jelas berkaca-kaca. Dia juga merasa berat meninggalkan kakaknya.Khaira menggelengkan kepala. “Awas kamu ... jangan kangen sama tumis kangkung Teteh loh, ya ...!”Tanpa sadar keduanya sesenggukan.“Khair mau minta sesuatu sama Teteh ....” ucap dia sebelum melepas pelukan.“Apa?”“Khair minta keponakan!” Dia terkekeh sambil mengusap bulir yang jatuh jatuh dari sudut matanya.“Kamu mah ....” Khaira melepas pelukan sambil mencubit lengan adiknya.Khair meringis.“Kenapa?” tanya Ahsan khawatir.“Khair lupa minum obat,” sahut Khaira sekenanya. Mukanya sudah kemerah-merahan menahan malu campur kesal. Jika tidak ingat bahwa hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan sang Adik sebelum pergi dalam
Dear Good Novel readers, Terima kasih saya ucapkan untuk pembaca setia Khair dan Khaira. Semoga ending kisah ini menyenangkan. Saya harap pembaca bisa mengambil sesuatu di dalamnya. Bukan sekedar hiburan yang menyenangkan, tetapi saya juga ingin pembaca merasakan manfaat dari bacaannya. Semoga ada hikmah atau pelajaran yang bisa diambil dalam cerita ini dan bisa menjadi kebermanfaatan bagi semua pembacanya. Mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan yang mungkin tertulis di dalamnya. Saya sangat mengharapkan masukan dan saran dari semuanya sehingga saya bisa melakukan perbaikan pada karya-karya berikutnya. Oh, iya ... apakah Khair dan Khaira perlu dibuat sekuelnya? Sebenarnya, ide untuk melanjutkan kisah ini sudah ada. Namun, saya perlu pendapat dari pembaca juga. Tolong berikan masukan dan saran di kolom komentar, ya. Sekali lagi, terima kasih bayak atas dukungannya, baik dalam bentuk vote, komentar, maupun ulasan tentan
Khaira menemukan sebuah diary yang tergeletak begitu saja di lantai kedai kopi, tepatnya di bawah meja. Entah milik siapa, tapi dia memutuskan untuk menyimpannya. Dia pikir, mungkin besok atau lusa, pemilik diary itu akan datang mencarinya. Namun, sebelum orang itu datang, Khaira bermaksud mengintip isinya. Dia buka sembarang halaman. Ya Allah, aku melihatnya. Masya Allah … aku tidak percaya, gadis seperti itu ada di dunia. Aku pikir dia bidadari surga. Dia tidak sedikitpun melihatku atau tahu keberadaanku, tapi tolong maafkan aku yang tidak bisa berpaling dari wajah itu. Aku khilaf ya, Allah …. Buru-buru Khaira tutup diary bersampul kulit warna cream yang bentuknya menyerupai agenda berstyle klasik itu. “Ini sih pasti punya cowok genit,” pikir dia. Setelah menutup kedai, Khaira pulang ke rumah. Mandi, ganti baju, dan menyiapkan makanan untuk adiknya, Khair. Mereka biasa makan malam selepas Isya. Herannya, mal
Tiga hari sebelumnya, pria itu duduk sendirian di perpustakaan. Setelah menyelesaikan bacaan beratnya berupa setumpuk jurnal, dia hendak menulis sesuatu di sebuah buku. Buku itu bersampul kulit warna cream. Berdesain klasik dan memang khusus menyimpan catatan pribadinya. Belum sempat membuka lembar halamannya, sekelompok mahasiswa datang menghampiri dan mengucapkan salam padanya, “Assalamualaikum, Ustaz.” “W*’alaikumsalam,” jawabnya, seperti biasa dengan santun dan senyum. Secara spontan dia letakkan buku berdesain klasik ala vintage itu di meja dekat tumpukan jurnal dan buku-buku ilmiah yang baru selesai dibacanya. “Apa kabar kalian?” sapanya. Masih tampak keramah-tamahan yang jadi ciri khasnya. “Alhamdulillah, Ustaz,” sahut mereka serempak. “Ada apa nih, ko kompak menemui saya?” tanya dia. “Afwan, Ustaz,” seseorang dari mereka langsung menyampaikan maksud dan tujuannya, “Terkait kuliah umum pekan depan, ada sedikit perubahan ag
Bruk. Khair meletakkan tas selempang berisi buku-buku dan diktat kuliah miliknya di meja caffe. Beberapa isinya bahkan tercecer. Tempat ngopi yang disebut kedai kopi Khaira itu memang rutin disambangi Khair. Entah pagi, siang, atau sore. Setiap hari, dia pasti menyempatkan waktu untuk mampir di sela-sela kesibukan kuliah, bimbingan, kajian dan kerja sampingannya sebagai guru les privat. Tak hanya penat pikiran, penat hati dan perasaan juga menyelimuti raut muka pemuda tingkat akhir yang sedang merampungkan skripsi itu. “Tumben cemberut?” Suara riang Khaira hadir bersama aroma secangkir cappuccino kesukaan Khair, “Kenapa?” tanya wanita itu dengan cueknya seraya mendudukan diri di kursi caffe. “Enggak apa-apa, Teh.” Khair mencoba mengatur gestur tubuhnya. “Cuma lagi banyak kerjaan aja.” “Banyak kerjaan atau banyak godaan?” canda Khaira. “Enggak apa-apa, tapi bibirnya mancung begitu. Kalah tuh curut ….” celoteh Khaira lagi sambil menopan
Sepekan berlalu, kuliah umum yang direncanakan Khair dan kawan-kawan aktivis mahasiswa di kampusnya pun digelar. Sedari pagi pemuda itu sudah kebanjiran orderan kopi Kedai Khaira. Sebagai panitia, Khair pun menjalankan tanggung jawab sembari tetap berdedikasi membantu sang kakak. Sebelum acara dimulai, kopi berhasil dia bagikan kepada para pemesan. Kebanyakan dari mereka adalah rekan panitia dan sebagian rekannya di Fakultas Tarbiyah. Aula utama kampus jadi tempat perhelatan akbar kuliah umum pagi itu. Ratusan peserta yang terdiri dari mashasiswa fakultas Tarbiyah tingkat 1 dan beberapa orang perwakilan masing-masing tingkat, serta perwakilan mahasiwa dari fakultas lainnya bergabung memenuhi ruangan yang disekat menjadi dua itu. Bagian depan diisi mahasiswa, sementara bagian belakang diisi barisan mahasiswi. Suara Khair yang bertindak sebagai moderator terdengar. Dia membacakan profil Ustaz Ahsan yang menjadi pembicara utama dalam kuliah umum bertajuk&n
Tak disangka, usai kuliah, sebuah kabar duka tersiar. Khair langsung menyampaikan kabar itu kepada rekan-rekan panitia saat mereka merapikan tempat acara. “Ustaz Rofiq meninggal sejam yang lalu,” ujar Khair diikuti kalimat “Innalillahi w* inna ilaihi rajiun” serempak dari semua orang yang mendengar, termasuk Ustaz Ahsan. Dosen muda itu belum meninggalkan tempat acara karena masih ngobrol ringan dengan mahasiswa yang mengambil hadiah darinya. Mereka pun sepakat melayat ke rumah duka. Ustaz Rofiq merupakan ketua prodi Fakultas Tarbiyah. Dia juga merupakan dosen pembimbing skripsi Khair. Sontak, kabar duka itu mebuat mahasiswa bimbingannya kaget. Sebab, beberapa hari lalu mereka masih bertemu dan berkonsultasi dengan beliau. Saat itu, beliau tampak sehat. “Kulu nafsin dza’iqatul maut,” ucap Ustaz Ahsan mengutip potongan ayat Alquran yang artinya, “Tiap-tiap makhluk yang bernyawa pasti akan mengalami kematian.” “Kita h
Di dalam kendaraan yang dikemudikan Ustaz Ahsan, Khair hanya diam. Ustaz Ahsan lah yang memulai pembicaraan. “Kamu kenal Riang?” tanya dia. “Tidak, Ustaz.” “Tapi dia kenal kamu.” Khair mulai merasa tidak nyaman dengan pembicaraan soal gadis berpashmina pink yang selalu membuat dia terganggu itu. “Dia sering titip salam buat kamu ke saya.” Ustaz Ahsan nyengir. “Riang memang begitu. Riang seperti namanya. Saya kenal dia karena sering ketemu dengan umminya yang sahabat ibu saya. Ustaz Rofiq juga sering cerita tentang keponakannya itu. Tolong jangan salah paham soal dia dan saya, ya!” Khair diam saja. ‘Apa sih maksud pembicaraan Ustaz ini?’ pikirnya. Dia tampak tegang. Berbeda dari saat berangkat, kali ini hanya Khair sendiri yang menumpang mobil sang dosen. “Santai aja, Khair!” ucap Ustaz Ahsan seolah mampu membaca pikiran pemuda itu. “Iya, Ustaz.” “Di luar perkuliahan, kamu enggak perlu panggil saya ustaz,” ujar U