Pagi ini keluargaku benar-benar disibukkan dengan acara lamaran yang akan dilangsungkan nanti siang. Keluarga Bagas sudah mengabarkan jika mereka sudah sampai di perbatasan kota Bogor. Aku yang sudah berhias sederhana, merasa grogi saat semua adikku menggodaku. "Al, perasaan kita nggak punya keluarga yang mirip bidadari gitu. Ini siapa ya?" tanya Oji yang berusaha menggodaku. "Kak Oji cem mana, Mbak kita kan juga mirip bidadari. Tapi… kalau lagi makan, berubah menjadi hulk. Serem," ejek Aldo. Sialan."Kalian bisa diem nggak? Mbak slepet nih,” omelku. Bocah tua, dasar. Nggak tahu hatiku lagi kembang kempis kaya pompa balon.“Belum juga jadi manten, cantiknya dah kentara. Apa nggak pengin buru-buru dihalalin hari ini juga si Bagas. Opa yakin, anak itu nggak akan tahan lihat cucu opa yang cantiknya melebihi Eyang waktu muda,” ujar Opa.“Emang Eyang dulu nggak cantik, Opa? Wah. Al aduin sama EYang ah, biar Opa kena sembur,” ledek Aldi yang kemudian di hadiahi pentung tongkat kayu yang
***Aku dan Bagas mengurus kepentingan menikah bersama. Dari capeng hingga kelengkapan dokumen ke KUA, kami berdua bersama. Ibarat kata, aku dan dia sudah seperti pasangan yang sama-sam bucin.“Kak, hari H tinggal dua hari lagi. Semoga acaranya lancar,” pesanku saat kami esok hendak dipingit.“Iya. Eh, keluarga besar kamu orang Bogor semua?” tanyanya terlihat aneh. Sudah hampir sah baru menanyakan keluarga besar.“Nggak, ada juga yang di Bandung. Neng teh orang sunda, Aa Bagas. Kumaha atuh,” ujarku.“Ya kan nanti banyak yang hadir di resepsi kita. Ehm, panggilan Kakak ganti Aa, kitu?”“Bisa, kalau Aa mau teh. Neng seneng malah, jadi berasa kayak Akang kasep si Ucup di desa sana.”“Ucup?’“Hooh, orang Sunda asli Bandung yang dulu suka buli Eneng. Dia cakep, tapi mulutnya nyebelin.”Entah kenapa kami jadi membahas dia yang dulu pernah aku taksir. Dia yang menyebalkan tapi sayangnya aku suka, tapi dulu pas masih jadi monyet. Eh, maksudnya cinta monyet. Astaghfirullah! Aku langsung beris
******Hari pernikahan digelar sederhana di rumahku. Namun, setelah akad aku diboyong keluarga Bagas ke rumahnya untuk resepsi. Saat baru pertama melihat tempat acara, aku tertegun. Meski bukan meriah bak artis-artis, tapi itu indah banget.“Maaf, jika dekor dan panggungnya tak tanya konsepnya sama kamu. Habisnya Aa bingung, semua pihak keluargaku yang mengurus,” ucap Bagas saat kami naik ke atas panggung.“Tak apa. Neng suka, kok,” jawabku. Nyatanya emang aku suka. Dari warna hingga hiasannya, semua terlihat hidup. Bahkan semua keluargaku turut diberikan seragam.“A, makasih udah sayang sama Neng. Baik sama keluarga Neng. Pokoknya, Neng terlope dah,” batinku tanpa bersuara. Mau bilang love you takut ketahuan, kan malu. Tentu saja rasanya seperti kemarin saat ijab kabul. Jantung rasanya mau copot dari tempatnya karena semua orang mengagumi kecantikanku, eh … tapi lebih dominan ke Bagas si. Wajah oriental dengan tinggi badan pelukable dan nyaris sempurna itu serasi dengan apa yang dike
"Tra, badan nggak berat lu makan terus gitu?" tanya Tania padaku."Enggak, biasa aja. Gue nggak makan aja gemuk, apalagi makan." Aku memang gemuk, sangat gemuk malah. Tapi tidak segemuk Oma dan Bunda. Timbangan mereka hampir satu kwintal, kalau aku baru mendekati angka sembilanpuluh. Ya, kami keturunan badan bongsor dan subur. Catet! Bongsor dan subur ya gaeess, bukan obesitas apalagi overweight. Kami hanya keturunan ginuk-ginuk yang layak mendapatkan apresiasi pemerintah sebagai keluarga sejahtera. Bagaimana tidak, kami ini tak pernah mengeluh saat bansos pemerintah turun dan kami hanya gigit jari melihatnya. Kami bukan orang kaya, tapi bukan juga miskin. Kami cukup sederhana dengan makan dan minum seadanya. Kami semua sepuluh bersaudara. Aku adalah anak pertama yang tadinya mengharap jadi anak satu-satunya ternyata Bunda hamidun dan lahirlah sembilan adiku yang jaraknya berdekatan, mereka sungguh sangat comel. Mereka bernama Oji, Radit
Aku membereskan semua barang yang hendak dibawa ke Bali besok pagi. Malam ini tidak boleh aku terlupa satu barang pun agar aku tidak kena marah si Bos menyebalkan yang satu itu. Aku harus membereskan malam ini karena besok harus pergi pagi dan tidak boleh terlambat."Mbak lagi ngapain sih, berisik banget jam segini belum tidur?" protes Desi, teman satu kosku."Mbak lagi beresin perlengkapan buat pergi ke Bali besok. Lu baik-baik, jagain kontrakan ini jangan sampai lu bawa cowok kedalam. Awas aja ya lengang dari pengawasan, Mbak nggak ada bukan berarti lu bebas ngapain aja," ujarku."Sendiko dawuh, Ibu Ratu," kelakarnya.Desi adalah anak tetangga di desa tempat Bunda tinggal. Kebetulan orang tuanya menitipkan dia untuk aku awasi saat bekerja. Dia karyawan di salah satu mall terbesar di kota ini."Bakal berapa hari di Bali, Mbak?""Enggak tahu pasti. Bos kadang suka memperpanjang waktu atau memperpend
Aku merasa lega karena bisa duduk dengan tenang tanpa terganggu perilaku tidak mengenakan lelaki tadi. Aku melirik sekilas pada Bos Zidan yang tampak tenang seperti tidak habis terjadi sesuatu.Aku menggeserkan badan ke kanan dan ke kiri karena tempat ini terlalu sempit."Kamu bisa tenang apa tidak?""Hehehe iya, Pak, maaf." Aku kembali diam agar tidak mengganggu bos yang sudah mengeluarkan tanduknya. Namun, sepertinya kali ini aku akan sedikit merepotka. Mendadak kepalaku pusing dan perutku serasa di aduk-aduk. Sial! Aku mabuk pesawat ternyata. "Kenapa?" tanyanya yang melihatku memegangi perut dan menekuknya."Sa-ya pusing, pe-rut saya nggak enak," rintihku menahan mual dan sakit perut.Dia berdiri dan mengulurkan tangannya."Ayo!""Ke-mana, Pak?" tanyaku sambil memegangi perutku."Kita ke belakang, kamu mau sembuh atau hanya duduk di sana dengan menangis dan merepotkan saya?" ucapnya lirih sambil menatapku tajam. Aku manut dan mengikutinya ke belakang. Aku memuntahkan isi perutk
"Kita nggak jadi satu minggu di Bali, Pak?" tanyaku saat baru sampai di bandara.Wajahnya mendekat dan menatapku tajam."Bukankah ini doa yang kamu sematkan kepada Tuhan agar kita kembali ke Jakarta lebih awal?""A-pa yang Bapak katakan?" kataku gugup. Bagaimana tidak gugup, nafasnya sampai terasa berhembus di pipi gembul ku ini."Saya rasa Dewi Fortuna sedang berpihak kepadamu, maka bersyukurlah. Ingat! Rahasiakan perihal ini dari siapapun, dan kamu akan bertanggung jawab penuh atas hal ini.""Loh, kok saya?" tanyaku kaget dengan tuduhan si Bos."Kamu ikut saya," titahnya.Hendak membantah namun pasti akan Percuma saja. Toh, dia atasan yang jarang mendengarkan alasan bawahannya.Aku kira kita akan pulang ke Jakarta. Namun ternyata si bos hanya akan menjemput seseorang.Tampak wajahnya tidak seperti tadi baru melihat Agni. Bahkan ia sangat ramah dan tersenyum hangat ketika memeluk lelaki yang aku taksir umurnya lebih muda daripada si Bos."Siapa, Kak?" lelaki tadi menunjuk ke arahku,
"Nggak ada yang berharga, Pak. Hati saya juga sering tertinggal di seseorang, tapi saya santai," celetukku sambil menerima ponsel dari Zidan. Mungkin ada yang salah dengan ucapanku barusan karena ia lalu menutup pintu keras dan aku sampai kaget dibuatnya.Aku langsung membalikkan badan dan mencoba acuh dengan sikapnya. Salah sendiri jatuh cinta, ya harus siap patah hati lah. Aku aja patah hati biasa aja, paling dua hari sembuh apalagi kalau diajak makan-makan gratis. Bisa langsung lupa seketika.Aku membolak balikan ponsel milik Zidan. Parahnya, aku tak tahu sandi untuk membuka ponselnya. Tiba-tiba panggilan masuk dari nomor bertuliskan Rangga dan aku segera mengangkatnya."Tra, nggak bisa pakai ponselnya ya?" Terdengar jelas dari seberang bahwa dia sedang terkikik menertawakanku. Syalan."Iya, berapa Mas Rangga?" tanyaku yang mulai memanggilnya Mas agar dia tak marah lagi aku panggil Pak."Sandinya tanggal lahir si kampret, 120788.""Oke, makasih." "Tra, kalau kamu tak keberatan nan