Kendaraan Pinto menjauhi rumah Ardan. Melaju secara kencang. Melintasi jalan-jalan yang tadi dilewati. Pinto dan kendaraan yang mengangkutnya balik ke komplek perumahan dinas anggota DPR RI. "Woooiii ... Mas Pinto!" pekik Bisma ketika mendapati siluet Pinto di beranda depan rumah dinasnya. Pinto menoleh ke Bisma. "Tumben kamu dateng ke sini malem-malem," Bisma berbasa-basi. "Iya. Maaf ya, Mas. Saya mengganggu jam kelonan Mas Bisma," canda Pinto dengan muka kuyu. Bisma mengakak. "Nggak usah minta maaf. Orang kamu nggak salah," tepis Bisma. "Jam segini saya belum kelonan sama istri saya. Lagian, istri saya tidur di rumah pribadi saya," sambungnya menegaskan. Ia menyilakan, "Ayo, kita masuk ke dalem." Dia menggapai bahu Pinto dan merangkulnya. Mereka melangkahkan kaki bersama ke ruang tamu. Di ruang tamu, Pinto melakukan hal yang sama persis dengan hal yang dilakukannya di rumah Ardan. Diamenceritakan perintah Woro Supriyanto, alasan di balik perintah t
Hari kelima selepas pembicaraan Pinto dan Bisma. Kediaman pribadi Woro Supriyanto disinggahi oleh empunya. Kedua orang tua Pinto datang ke situ. Bermaksud mendepak kejenuhan gara-gara terlampau sering bersemayam di kediaman resmi Presiden Indonesia. Sekarang, mereka hanyut menikmati kemolekan angkasa yang bersampul taburan lintang benderang dan kilau rembulan purnama di taman belakang. Suara senda gurau keduanya terlempar ke lubang telinga Pinto. Dari arah belakang, Pinto tergopoh-gopoh menjangkau mereka berdua. "Bapak sama Ibu lagi berleha-leha?" tegur Pinto kepada Woro Supriyanto dan Yeni Supriyanto sambil menyentuh pundak mereka. Woro Supriyanto dan Yeni Supriyanto serempak membalik punggung. "Eh, kamu Pin. Bapak kira siapa ...," Woro Supriyanto kaget menatap anak bungsunya. "Sini, gabung sama Ibu sama Bapak," suruh Yeni Supriyanto kepada Pinto. Pinto patuh kepada suruhan Yeni Supriyanto. Ia menempati bangku di samping Yeni Supriyanto. "Sudah ber
Pemandangan mencolok tergelar di lantai dasar Margo City. Sisi tengahnya tersulap menjadi catwalk. Ratusan manusia berpakaian modis dan berpenampilan trendi mengepungnya. Berjejer tanaman-tanaman artifisial di tiap sudutnya. Sorot lampu panggung menebarkan kesan elegan. Mata mereka menonton iklan-iklan produk sponsor yang tertayang di dua videotron. Dari mulai produk kosmetik buatan L'Orèal hingga platform e-dagang Lazada. Bunyi tayangan iklan produk sponsor menghilang. Diganti oleh bahana suara pembawa acara yang menyapa seluruh tamu undangan. Pembawa acara menyampaikan sekelumit informasi tentang perhelatan yang tengah berlangsung. Berturut-turut, dia mempersilakan petinggi Kementrian Pariwisata, Direktur Utama Margo City, dan ketua penyelenggara untuk pemberian sambutan. Sambutan ketiganya cukup meriah. Pembawa acara menyilakan perwakilan para mitra, Ibu Walikota Depok, petinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk sesi foto bersama. Ketua penyelenggara resmi membuk
Mimiknya menayangkan riak kekesalan. Sinar muram terpancar dari matanya. Remuk redam bercokol di dalam kalbunya. Kemegahan konser musik jazz yang baru saja usai laksana kehampaan relung untuk sukmanya. Tiada gelora, tanpa gempita. Ia memalingkan penglihatannya. Tatapannya membenci lelaki yang ada di sisinya. “Kamu kenapa, Ca?” tanya Pinto santai. “Dari tadi diam aja.” Caca Yunita masih mengatupkan bibirnya. Lidahnya malas mengalunkan lisan. “Kamu lagi nahan berak, ya?” gurau Pinto. “Aku lagi dongkol!” seru Caca Yunita. Ia menarik napas sesaat. Menghimpun tenaga untuk pelepasan amarah. “Banyak waktu yang udah kita lalui. Banyak hal yang udah kita lakuin. Tapi, kamu nggak pernah bilang apapun ke aku,” Caca Yunita berkeluh. “Aku nggak ngerti sama pikiran kamu, Mas!” imbuhnya dengan suara yang begitu keras. Belasan orang yang berada di dekat pintu keluar Balai Sarbini sontak menoleh ke arah Caca Yunita. Mereka terlongo. Reaksi mereka disadari oleh P
Mobil listrik Tesla Pinto bertatap muka dengan Essence Darmawangsa Apartment. Lalu, mendekati salah satu menara. Pinto dan Caca Yunita berpijak di unit apartemen Caca Yunita beberapa menit sesudahnya. Baru saja Pinto duduk di sofa ruang tamu. Namun, perintah Caca Yunita telah siap menubruknya. “Kamu jelasin pernyataan kamu sekarang!” “Nanti dulu, Ca,” sergah Pinto. “Saya haus. Ingin minum.” Caca Yunita segera melangkah ke dapur. Dia mengambil dua botol air berkarbonasi, kaleng yang berisi roti, dan plastik yang berisi keripik pedas. Tangannya menyerahkan salah satu botol kepada Pinto. Pinto menerimanya dan meneguknya. Kesegaran menjalari kerongkongannya. Setelah kedahagaannya lenyap, Pinto berkata, “Penyebab saya tidak tegas adalah status yang melekat pada diri saya. Status yang melekat pada diri saya menghambat kemajuan hubungan saya dan kamu. Saya nggak mampu melawannya.” “Jadi, kamu anggap status kamu lebih tinggi ketimbang status aku? Leve
Hari ini bukan untuk kesuraman pada kemarin. Perjalanan waktu sepatutnya menuju kebahagiaan. Jikalau kesenduan kita masih bersemayam di dalam sanubari, kita mesti lekas-lekas mengenyahkannya. Jangan sampai mengendap dan menjelma menjadi duka nestapa. Lebih baik kita bersiap menghadapi esok. Begitulah pendapat Pinto berbunyi. Pendapat Pinto berlaku untuk kejadian semalam. Tindakan Caca Yunita sudah ia lupakan. Sekalipun diterpa oleh kata-kata negatif Caca Yunita, ia masih dapat meledakkan gelak. Luka sulit menghampiri hati Pinto. Pinto mampu menangkis beruntai-untai kepedihan dan berjuntai-juntai keperihan. Sekarang, Pinto tengah menikmati Minggu pagi. Menghirup udara segar sambil berlayar di dunia maya. Saat layar laptop menampilkan portal berita, dering telepon seluler Pinto meraung-raung. Dia menyambar alat komunikasi itu. “Lagi ada di mana, Bro Pinto?” terdengar suara Ardan di ujung sana. “Di rumah dinas.” Pinto menutup layar laptopnya. “Tumben, lu telepon g
Sepuluh menit berselang. Sesosok perempuan bertubuh langsing mendekati keberadaan Pinto, Norma, dan Ardan. Tisu ada pada genggamannya. “Kamu habis dari mana, Sar?” tanya Pinto kepadanya secara serius. Saroh menduduki kursinya. “Dari toilet.” Langsung terembus napas kelegaan dari hidung Pinto. Degup jantungnya yang semula kencang, kini kembali normal. Dugaannya nyata-nyata keliru. “Biasa, Mas Pinto …,” Norma menyambar. “Saroh lagi ngadepin urusan cewek. Tempatnya di toilet,” selorohnya ringan. “Sis Saroh,” panggil Ardan pelan. Orang yang dipanggil Ardan menoleh ke arah Ardan. “Tadi, Bro Pinto minta Sis Saroh ceritain kisah asmara Sis Saroh,” Ardan mengingatkan Saroh. Saroh mengangguk mengerti. Dia masih ingat dengan permintaan Pinto. Seperempat menit dia berpikir. “Aku mau ceritain tuntutan papa aku.” Pikiran Pinto menajam. Diucapkannya sebuah kata yang menggugah keingintahuannya, “Tuntutan?” Saroh mengiakan sebuah kata tersebu
Televisi yang ada di depan Pinto menyala. Layarnya memperlihatkan seorang pesohor bernama Feni Kinantya. Feni Kinantya bertutur bahwa dirinya sedang menekuni bisnis kuliner. Pinto tercengang menonton tayangan bincang-bincang itu. Dia baru mengetahui bisnis kuliner Feni Kinantya. Feni Kinantya tidak pernah menceritakan bisnis kulinernya kepada Pinto. Saat cengangan Pinto belum surut, ponselnya berceloteh. Dia meraih HP-nya. Mencermati bagian depan gawai tersebut. Ternyata, orang yang meneleponnya ialah Feni Kinantya. “Halo, Mas Pinto. Apa kabar?” sapa Feni Kinantya hangat. Pinto menyambar remote televisi. Dia mengurangi volume suaranya. “Kabar saya baik,” ujar Pinto singkat. “Gimana kabar kamu?” dia balik bertanya. “Baik dan sehat, Mas Pinto,” Feni Kinantya menyampaikan keadaannya. Mereka berdua saling menanyakan kondisi kesehatan orang tua lawan bicaranya. Pinto menanyakan kondisi kesehatan orang tua Feni Kinantya. Begitu juga dengan Feni Kinan