Share

Bab 3 Mantan Istri Kang Surya

"Tidak, tidak boleh seperti ini, Aisyah!"

Aku memejamkan mata seraya terus beristighfar.

Ini salah. Aku tidak boleh membuka sesuatu yang diamanahkan orang lain.

Cepat aku berdiri, menyimpan amplop dari Neng Rahma ke dalam bufet agar tidak terlihat dan menghadirkan keinginan untuk membukanya.

"Ya Allah ... astaghfirullahaladzim," ujarku lagi.

Saga melihatku tak mengerti. Bayi itu masih anteng dengan mainan di tangannya, lalu merangkak mengambil mainan lainnya.

Aku duduk, menyesali perbuatan yang hampir menjadikanku manusia munafik yang tidak bisa menjalankan amanah.

Tidak seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya, hari ini waktu terasa lambat. Aku terus saja melirik jam dinding, berharap malam segera datang.

Apa lagi alasannya kalau bukan ingin suamiku cepat pulang. Dengan begitu, rasa penasaran akan pemberian Neng Rahma, akan segera aku ketahui.

"Sah!"

Suara seseorang memanggil, membuatku menoleh ke arah pintu.

Dari suaranya aku sudah tahu jika Mak Nia lah yang memanggilku.

Tanpa Saga, aku melongok dari pintu, melihat pada Mak Nia yang rumahnya berada di seberang jalan.

"Apa, Mak?" tanyaku.

"Emak mau ke kampung sebelah, ada yang mau diurut. Kalau kamu mau ke rumah, sok aja. Pintu enggak Emak kunci, ya?"

"Kunci saja atuh, Mak."

"Ah ... untuk apa dikunci-kunci? Enggak ada emas pertama ini di rumah Emak. Itu di dapur, tadi Emak goreng peuyeum lagi. Sok aja ambil kalau mau mah, ya? Teh panasnya juga ada," tutur Mak Nia dengan diakhiri kekehan.

Aku hanya mengangguk, tidak menjawab ucapan Mak Nia.

Saga yang mendengar suara motor, langsung menghampiriku. Dia tersenyum melambaikan tangan pada Mak Nia yang sudah duduk di belakang laki-laki yang akan membawanya ke kampung sebelah.

"Emak pergi sebentar, ya Kasep! Jangan rewel sama Mbu, ya!" Mak Nia berujar seraya melambaikan tangan pada putraku, yang matanya mulai memerah akan menangis.

Detik berikutnya, tangis Saga pecah seiring dengan motor yang melesat membawa Mak Nia pergi.

Aku menggendong Saga, menenangkan dia agar berhenti menangis.

Selalu seperti ini. Putraku yang sudah sangat dekat dengan Mak Nia, sering sekali menangis jika ditinggal pergi.

Padahal, wanita paruh baya itu tidak ada hubungan darah baik denganku, maupun dengan Saga sendiri. Dia orang lain yang menganggapku anak, setelah kepergian orang tuaku.

Membicarakan Mak Nia, aku jadi teringat pertama bertemu dengan ayahnya Saga.

Iya, pertemuanku dengan Kang Surya, itu di rumah Mak Nia. Sewaktu ayahnya Saga mengalami kecelakaan dan kakinya terkilir.

"Dasar penakut," ujarku terkekeh mengingat hal lucu sewaktu dulu.

Di mana, suamiku menolak diurut setelah melihat kakiku yang tidak memiliki jari.

Pikirnya, itu karena diurut Mak Nia. Padahal tentu saja bukan. Mana mungkin, tukang urut bisa mencabuti jari-jari manusia, bukan?

Pertemuan kedua terjadi, lagi-lagi di rumah Mak Nia, di mana dia kembali datang untuk mengurut kakinya sebagai terapi penyembuhan.

Pertemuan pun terus terjadi seiring seringnya dia datang. Ah, tidak bisa dibilang pertemuan, karena sebenarnya aku hanya melihat dari sini, sedangkan dia curi-curi pandang ke arahku.

Aku kira, dia terus datang ke rumah Mak Nia karena memang untuk diurut, tapi ternyata dia memiliki maksud. Mencari tahu tentangku, hingga akhirnya mengatakan keseriusan ingin meminangku.

Bahagiakah aku?

Takut!

Kekurangan yang ada pada diri membuatku tidak memiliki keinginan untuk menjalin hubungan dengan pria mana pun. Namun, Kang Surya meyakinkan diri ini hingga akhirnya aku luluh dan menerima lamaran duda anak satu itu.

"Sah!"

"Astaghfirullah ...." Aku mengusap dada karena kaget dengan datangnya tetangga samping rumah yang tiba-tiba sudah ada di sampingku.

"Ngelamunin apa, sih? Serius banget kamu, tuh?" ujar wanita itu, lalu duduk bersandar pada tembok.

"Enggak ngelamun, Teh. Lagi nenangin Saga, tadi nangis mau ikut Mak Nia."

"Anakmu sudah tidur, tuh."

Aku memeriksanya. Ternyata benar, Saga tidur, dan aku pun membenarkan letaknya tubuhnya agar dia nyaman.

"Sah, mau lihat sesuatu, gak?" tanya Teh Dela.

Wanita yang usianya hanya terpaut dua tahun lebih tua dariku itu, mengotak-atik ponselnya.

"Sesuatu apa, Teh?"

"Pokoknya sesuatu. Ini tentang mantan istri suamimu."

"Kenapa dengan dia?" Keningku mengkerut.

Sebenarnya aku paling malas membahas mantan istri suamiku itu. Bukan apa-apa, aku selalu merasa minder karena dia lebih punya segalanya dariku. Dia cantik, fisiknya sempurna, kulitnya putih terawat.

Jika dibandingkan denganku, tidak ada apa-apanya. Seperti bumi dan langit.

"Nih, sekarang dia lagi live di pesbuk. Emh ... lihat, deh penampilan dia. Semakin hari semakin bening." Teh Dela memuji.

Lagi-lagi aku dibuat penasaran. Tadi oleh Neng Rahma, kini oleh ibunya yang ternyata ....

Ya Allah .... Aku nyebut dalam hati melihat Teh Salsa, ibu dari Neng Rahma itu.

Aku akui, dia semakin cantik. Namun, sangat disayangkan karena kecantikan serta kemolekan tubuhnya begitu sangat diumbar.

"Itu di mana, Teh? Sepertinya bukan di rumah, ya?" tanyaku, seraya menyerahkan ponsel Teh Dela.

"Bukan. Ini kayak di tempat karaoke gitu, Sah. Emangnya kamu gak tahu, si Salsa itu sudah kerja lagi ke kota. Makanya, dia makin cantik dan banyak uang."

"Kalau banyak uang, Neng Rahma—"

Aku diam tidak melanjutkan kata-kataku. Rasanya tidak pantas membicarakan anak tiriku yang datang kelaparan. Bagaimanapun juga Teh Dela orang lain yang hanya ingin tahu, tanpa mau membantu. Lalu menyebarkan berita yang dia dapat pada orang lain.

Sudah biasa aku dengan orang-orang seperti itu.

"Si Rahma kenapa? Minta uang? Ya, wajarlah. Kan sama bapaknya. Gimana, sih kamu ini, Sah? Emh ... kamu pasti iri, ya sama si Salsa yang makin cantik? Makanya, dandan!" ujar Teh Dela ketus.

Apa katanya?

Iri?

Mana mungkin aku iri pada mantan istri suamiku yang tidak punya malu. Joget-joget dipangkuan seorang pria, yang kuyakini bukan suaminya.

Itukah pekerjaan Teh Salsa sekarang?

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status