Agenda saat malam minggu tiba bagi keluarga kecil Amir adalah menonton film bersama di rumah. Ya, mereka memang membuat family time setiap akhir pekan sejak kelahiran Abi dan Aira. Saat malam minggu, mereka akan nonton film bersama di rumah dengan menyulap ruang keluarga menjadi bioskop mini. Sedangkan saat minggu, berkebun di halaman rumah atau pergi keluar—tergantung dengan yang diinginkan oleh anak-anak. Abi dan Aira terlihat sangat bersemangat. Mereka saling membantu satu sama lain untuk menata semuanya. Film yang akan ditonton kali ini adalah sebuah film yang berasal dari Korea dan pernah ramai pada masanya. Sampai-sampai ada beberapa negara yang mengadaptasi film tersebut. Dari beberapa versi memiliki ending yang sedih, tetapi hanya 1 versi yang berasal dari Turki yang endingnya dibuat bahagia. Kali ini mereka akan menonton yang berasal dari versi negara aslinya, Korea. Judulnya adalah Miracle in Cell No. 7. “Ibu, apa film ini endingnya sedih?” tanya Aira tiba-tiba menggunakan
Ini tentang mereka yang memilih tetap tinggal dan meninggalkan.Kesetiaan mereka diuji dengan datangnya orang dari masa lalu. Amir yang memilih tetap tinggal, sedangkan Ina yang ingin pergi meninggalkan. Hanya karena alasan klasik tapi sangat melukai Amir. Amir sadar, bahwa kekurangannyalah akhir dari segalanya. Rumah tangga yang sudah dibangun bersama Ina selama tujuh tahun hancur dalam sekejap. Lagi, alasan Ina meninggalkannya, memilih untuk kembali bersama masa lalunya adalah kekurangannya. Ina melupakan satu hal bahwa Amir adalah penyembuh lukanya. Ina lupa dulu Amir berjuang untuk mendapatkannya, Ina lupa Amir selalu ada untuknya. Lagi dan lagi Ina melupakan semua hal tentang mereka. Lalu ketika sadar, apakah Ina akan kembali pada Amir yang setia menunggunya? Atau justru tetap bersama orang terkasih dari masa lalu yang pernah menyakitinya?*****Seorang pria tengah terduduk di atas kursi roda. Pandangannya menatap ke arah luar jendela kamarnya. Hujan turun begitu deras mengguyu
Semarang, 10 Mei 2010Sejak tadi, Ina terus berada di samping sang suami. Meskipun suaminya itu tidak menampakkan wajah kesedihannya, Ina sangat paham jauh di lubuk hati pria itu, Amir merasakan kehilangan. Ina tahu, Amir sangat dekat dengan Ayahnya. Berita kepergian sang Ayah yang didengarnya semalam membuatnya bak disambar petir. Tanpa banyak kata, Amir segera mengajak Ina untuk pulang ke Semarang. Ina meraih tangan Amir yang mengepal, lalu mengusapnya pelan. Amir menoleh, menatap Ina yang tersenyum hangat seakan mengatakan semua akan baik-baik saja. Tadi, setelah acara pemakaman, baik Ina maupun Amir tidak membuka suara. Mereka berada di halaman belakang rumah, mencari ketenangan. Baik Ibu dan keluarganya memakluminya. Mereka tahu bahkan sangat paham bagaimana kedekatan Amir dengan Ayahnya. Amir menyandarkan kepalanya pada bahu Ina, menatap kosong genggaman tangannya dengan tangan Ina. Sedangkan wanita itu, mengusap kepala Amir, memberikan kenyamanan pada suaminya. "Udah ngerasa l
"Ai, kita berhenti cari makan dulu, gimana?" tanya Amir mulai menepikan mobilnya. Ina menoleh, menatap Amir. "Boleh deh, aku laper, ai."Saat ini mereka sedang berada di alun-alun Jogja untuk beristirahat terlebih dulu. Di sana, begitu banyak warung yang menjual berbagai makanan, dan gudeg menjadi pilihan mereka untuk makan malam. "Bu, gudegnya dua es teh satu es jeruk satu," kata Amir pada si penjual.Sambil menunggu pesanannya datang, Amir memilih mengajak Ina duduk lesehan. Bahkan sejak turun dari mobil hingga mereka duduk berdua lesehan, tangan mereka saling tertaut dan tidak terlepas. Sesekali Amir mengusap tangan Ina, menepuk-nepuknya. "Ai," panggil Ina pada Amir. Amir menoleh, menatap istrinya yang entah kenapa terlihat sangat cantik. "Hm?" Ina menghela napasnya, mendesah ringan. "Nggak papa, kangen aja sama kamu," gumamnya lalu menyandarkan kepalanya pada bahu Amir.Amir terkekeh, tangannya beralih mengusap bahu Ina. "Bohong banget kamu, pasti ada sesuatu yang mau disampein
Seperti biasa, Ina akan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan sang suami tercinta. Banyak yang berubah dari Ina, dulu wanita itu tidak bisa memasak, tidak terbiasa dengan kegiatan yang berhubungan dengan rumah. Tapi, semenjak mengenal Amir dan menikah dengan pria itu, perlahan ia mulai belajar memasak, bahkan sekarang memasak menjadi hobinya. Lalu pekerjaan rumah seperti menyapu dan mengepel, Ina yang membersihkan ketika ia pulang dari butiknya. Ia juga tidak mengandalkan asisten rumah tangga sejak mereka menikah hingga sekarang, padahal Ina cukup sibuk dan pasti sangat melelahkan baginya selama seharian penuh mengurus butik hingg sore lalu ketika pulang masih menyempatkan untuk menyiapkan makan malam dan membereskan rumah. Berulang kali Amir sudah mengusulkan untuk mempekerjakan aisten rumah tangga, tapi selalu ditolak olehnya. Katanya, akan ribet, dan percuma jika mempekerjakan aisten rumah tangga yang masih muda Ina tidak suka, jika yang sudah paruh baya Ina kasihan. Lebih bai
Ditemani secangkir teh hangat, dengan cuaca di siang hari yang mendung, matahari terlihat tidak menampakkan cahayanya karena awan hitam mulai menghiasi langit. Ina menatap buku sketsa yang berada di atas meja dengan seksama, hari ini ia sedang mendesain sebuah gaun yang akan ditampilkan bulan depan pada acara fashion show. Ina menatap takjub pada hasil desainnya, sangat memuaskan. Di sana, sebuah gaun bermodelkan pada bagian dada rendah yang jatuh menjutai ke bawah tanpa ada motif dengan lengan transparan berbentuk terompet. Karena Ina memiliki bayangan jika ini akan menjadi gaun terbaiknya yang akan ia tampilkan. Sebuah gaun pernikahan yang nantinya Ina ingin terlihat memiliki warna yang menyala ketika lampu dimatikan. Dan rencananya, gaun ini akan ia tampilkan pada puncak acaranya. Ina mendesah lega, ketika ia hampir menyelesaikan desain gaunnya. Lalu, suara pintu yang terketuk membuat ia mendongak. "Ya, masuk," serunya dari dalam. Pintu terbuka, di ambang pintu Dini berdiri. "Mbak
Sore ini, Ina sangat cantik dengan dress selututnya. Rencananya, ia dan kekasihnya akan bertemu. Ina ingin memberitahukan jika dirinya akan menerima beasiswa ke Paris,mengatakan pada kekasihnya itu jika mereka harus long distance relationship dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Sekali lagi, ia melihat penampilannya dari kaca sebelum melangkah pergi. Di taman, Ina duduk di salah satu kursi memanjang yang sudah disiapkan dengan tenang. Kekasihnya belum juga menampakkan batang hidungnya, padahal mereka berjanji akan bertemu pukul lima sore. Hingga hari semakin gelap, matahari tidak lagi menampakkan sinarnya dan digantikan oleh sinar rembulan. Ina mendesah, melirik jam tangannya. Sekarang sudah pukul tujuh yang artinya ia sudah berada di sini menunggu kekasihnya itu selama dua jam. Menelpon atau mengirim pesankan pun percuma karena juga tak kunjung dibaca.Hingga suara seseorang, seketika membuatnya mendongak. "Maaf buat kamu nunggu lama," katanya. Dia kekasih Ina.Ina mengangguk, ter
Amir terkekeh mendengar balasan Ina, lalu beberapa detik kemudian kembali bersuara. "Ai, jalan yuk. Katanya ada pasar malam," kata Amir pada Ina."Sekarang?" tanya Ina menaikkan sebelah alisnya.Amir mengangguk. "Iyalah sekarang masa tahun depan. Mumpung malam minggu.""Mampir makan sekalian aja gimana? Terus baru ke pasar malam?" tanya Ina mengusulkan."Boleh juga tuh, ai!" balas Amir mengangguk setuju, "yaudah sana siap-siap," lanjut Amir pada Ina."Kamu enggak siap-siap emangnya?" tanya Ina menatap Amir.Amir menggeleng singkat. "Nggak, mau ginian aja."Ina berdecak, sedikit tidak suka dengan gaya berpakaian Amir kali ini karena ia sangat tahu dan mengerti style suaminya itu adalah style khas kaum adam yang disukai oleh para barisan kaum hawa. Itu akan menyebalkan bagi Ina. Amir hanya memakai kaos hitam yang pas hingga memperlihatkan dengan jelas bentuk tubuh suaminya itu, lalu celana jeans selutut menjadi