Selamat membaca😘
Astaghfirulloh....kata itulah yang selalu Devit sebut, setelah hal konyol yang baru saja ia lakukan di depan Dimas, Juwi dan ibunya tadi. Bagaimana bisa dia begitu sesak, saat tangan Juwi dan Dimas hendak berjabat. Ada rasa tak rela jika kulit putih Juwi bersentuhan dengan lelaki lain.
"Ya Allah ... ada apa denganku?" gumamnya sambil mengusap kasar wajahnya, hatinya begitu tak tenang. Segera Devit ke kamar mandi untuk berwudhu dan melaksanakan sholat sunnah, karena hatinya benar-benar gundah.
****
"Nak Devit ada hubungan apa denganmu, Wi?" tanya Bu Nur penuh selidik. Ia menghampiri Juwi saat Juwi melipat mukena setelah selesai sholat isya."Teman saja, Bu. Emangnya kenapa, Bu?" tanya Juwi penasaran.
"Tapi sepertinya Nak Devit ada perasaan dengan kamu."
"Hahahaha ... Ibu kebanyakan nonton drakor nih." Juwi tertawa kencang.
"Mana ada seperti itu Ibu Sayang, Pak Devit itu memang pada dasarnya orang baik. Baik banget malah, cewek-cewek kayak saya gini, gak boleh baper sama orang kayak gitu, Bu. Nanti kecewa," terang Juwi sambil menggenggam tangan ibunya.
"Lagian Pak Devit itu bulan depan mau nikah lho, Bu. Ibu ga boleh suudzon."
"Oh ... jadi Ibu salah liat kali ya," sahut Bu Nur ragu.
Juwi mengangguk pasti. "Lagian Pak Devit bukan tipe Juwi, Bu."
"Tipe kamu seperti apa emang?" Bu Nur menimpali.
"Tipe Juwi seperti Nick Jonas." Kening Bu Nur mengerut
"Siapa Nick Jonas? dagang apaan dia?"
"Hahahahaha ...," tawa Juwi pecah.
"Nick Jonas itu artis, Bu. Bukan tukang dagang," jelas Juwi masih disertai tawa.
Ya Allah ga kebayang tukang dagang seganteng Nick Jonas, pasti yang beli banyak terutama ibu-ibu, apalagi janda, udah pasti antre paling depan.
"Ish ... ibu tanya serius Juwi!" Bu Nur bersungut kesal sudah diledek anaknya.
"Emang Ibu mau nyariin? tapi jangan tukang dagang ya Bu, apalagi kang jarpit," timpal Juwi sambil tertawa.
"Yah, gak mungkinlah, Ibu pasti pengen yang terbaik untuk anak perawan Ibu."
"Janda kali, Bu," ralat Juwi.
"Janda tapi perawan," sambung Bu Nur lagi.
"Kayak judul FTV yee." Kali ini Bu Nur yang tertawa.
"Aah ... Ibu." Juwi menunduk malu.
"Ayo cepat bilang Ibu. Kamu senang tipe lelaki seperti apa?"
Juwi menatap Salsa yang terlelap sambil memeluk guling pensil yang kekinian, bermotif Lol.
"Seperti ayahnya Salsa. Dewasa, mandiri, penyayang, sabar, mapan, sholeh, dan tampan." Air mata Juwi menetes. Ia merindukan almarhum suaminya. Juwi mendadak sendu, ibu memeluk tubuh Juwi erat.
"Juwi rindu Mas Faisal, Bu," lirihnya dalam tangis.
"Juwi belum sempat bilang kalau Juwi sangat mencintainya, dia sudah pergi duluan." Rasa sakit itu kembali datang.
Setahun lebih sebulan ia mencoba ikhlas melepas kepergian suaminya. Namun tidak mudah.
Sikap sembrono dan cuek Juwi adalah bentuk pelarian dirinya dari rasa rindu dan kehilangan yang begitu menyesakkan dada.atas kepergian suaminya."Sabar ya, Nduk. Kamu jangan begini terus, kasian Faisal di sana. Lihat istrinya tidak bahagia. Bagaimanapun Allah sudah gariskan ini semua. Sabar yaa, ada Ibu dan Salsa yang selalu sayang sama kamu." ibu menenangkan Juwi dengan kalimat menguatkan.
Bu Nur bukannya tidak tahu, justru ia sangat tahu betapa terpukulnya Juwi, hingga sampai empat puluh hari kepergian suaminya Juwi hanya dapat tidur dua jam saat malam.
Bangun dengan mata bengkak, dan tubuh kurus bagai orang penyakitan."Tidurlah, biar besok tidak kesiangan jualan nasi uduknya." Senyum manis Bu Nur berikan untuk putrinya.
****
Suara ayam berkokok dan azan Subuh menggema. Setiap insan yang tunduk pada Tuhannya bergegas melaksanakan kewajiban dua rokaat. Udara dingin menyeruak shubuh ini, karena rintik hujan yang malu-malu jatuh membasahi bumi secara perlahan."Assalamualaikum, Juwi," panggil Devit. Kepalanya mengintip ke dalam warung Juwi yang telah buka. Juwi bangun dari jongkoknya, sedari tadi Juwi merapikan dagangannya di kolong rak.
"Wa'alaykumussalam. Iya Pak, ada apa?" tanya Juwi heran, tumbem aga resmi Devit menyapanya pagi ini.
"Saya mau masak mie. Eh ... gasnya habis. Jadi saya mau beli gas," terang Devit jujur.
"Mmmm ... bisa bantu saya sekalian masang gas Dek Juwi?"
"Ya ampun, emang belum pandai juga?" Juwi mencibir.
Devit menggelengkan kepalanya, sedangkan Juwi menghembuskan napas kasar.
"Ayolah!" Juwi keluar dari warungnya lalu berjalan ke arah rumah Devit. Lelaki itu mengekori di belakang Juwi sambil membawa gas yang baru. Bu Nur yang kebetulan berdiri di depan pintu rumah melihat keduanya.
"Eekheemm ..." Bu Nur berdehem menggoda. Juwi memutar bola mata malas pada ibunya, sedangkan Devit menjadi salah tingkah.
Setelah mengucapkan salam, Juwi melangkah masuk dengan cuek ke dalam rumah Devit. Harum sabun dan shampo tercium memabukkan saat Juwi melewati kamar mandi Devit.
"Bapak shampoannya sebotol ya?" tanya Juwi menoleh ke arah Devit. Devit nyengir.
"Harum ya?" tanya Devit penuh percaya diri.
"Enneg!" ucap Juwi ketus sambil menahan perutnya. Devit hanya terkekeh.
"Bapak suka warna kuning?" kali ini Juwi setengah terkekeh.
"Iya, kok kamu tahu?"
"Itu sempak Bapak !" Mata Juwi mengarah ke lantai depan kamar mandi. Ya ampun betapa malunya Devit, dalemannya bewarna kuning menyala, teronggok di lantai depan kamar mandi. Cepat Devit mengambilnya dan menaruhnya dalam keranjang cucian. Peluhnya bercucuran, malu iya, kesel sama diri sendiri iya.
"Nih, selesai." Juwi mencoba menyalakan kompor, dan nyala.
Devit melongo. "Kapan kamu masangnya?" tanya Devit heran, begitu cekatan tangan Juwi sehingga Devit tak menyadari saat Juwi mengganti gas.
"Makanya jangan kebanyakan bengong, Pak," tegur Juwi sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Juwi mata kamu kenapa?" Devit baru sadar mata Juwi sembab.
"Ah ... gak papa, kenapa emangnya?" bantah Juwi, berjalan melewati Devit yang masih menatapnya dengan curiga.
"Juwi tunggu!" kali ini Devit memegang lengan Juwi. Juwi berhenti melangkah.
Mata Juwi menatap tak senang saat tangan Devit memegang lengannya.
"Bukan mahrom!" Juwi melepas paksa tangannya.
"Eh, ya ampun, maaf Juwi." Devit tersadar dan kembali merasa bersalah dengan Juwi.
"Bapak sebenarnya kenapa sih?" tantang Juwi, matanya tajam menghunus dalam netra Devit, hingga nyali Devit ciut.
"Saya ... minta maaf soal semalam Juwi," ucapnya tulus, memundurkan sedikit tubuhnya, karena suhu keduanya cukup terasa dekat.
"Iya ga papa kok. Saya biasa aja tuh." Juwi melenggang keluar kontrakan Devit. Devit mengekori lagi.
"Ada apa sih, Pak? ngekor mulu." Juwi mulai sewot dengan sikap Devit yang ga jelas.
"S-saya mau beli nasi uduk Wi." jawabnya terbata.
"Lho, tadi katanya mau masak mie, saya buru-buru pasangin gas, sekarang mau beli nasi uduk aja, gimana sih?" cerocos Juwi dengan wajah kesalnya.
"Duh ... duh ... kasian banget, masih gelap udah diomelin istri," celetuk Pak Nana, tetangga sebelah Juwi. Devit tertawa malu. Sedangkan Juwi menatap sinis ke arah Pak Nana dan juga Devit.
Juwi memasukkan nasi uduk dan beberapa gorengan sesuai permintaan Devit ke dalam kantong kresek. Lalu menyerahkannya pada Devit.
"Nih uangnya Wi," suara Devit sangat lembut.
"Makasih ya," ucapnya lagi.
"Mmmm ...," sahut Juwi dengan malas.
"Kok mmmm?" Devit heran.
"Apaan sih, Pak? Ga jelas!"
"Kok gitu?"
"Ya ampun Sayaaang .... pergi ga?? Masih gelap udah bikin emosi aja!" gertak Juwi hendak melempar sendok sambal kacang ke arah Devit.
"Ciiee ... Sayaaang," suara Pak Nana menggoda. Devit yang berdebar dengan panggilan sayang dari Juwi langsung bersemu merah.
Bergegas Devit berjalan pulang ke rumahnya dengan wajah menunduk. Sayup-sayup masih terdengar suara Pak Nana menggoda Juwi, dan ditanggapi Juwi dengan sewot.
Sejak hari itu, gosip tersebar sangat luas. Warga sekitar menebak Juwi adalah calon istri Devit sebenarnya. Mereka menambahkan bumbu-bumbu pedas, hingga cerita yang tersebar sangat memekakkan telinga Juwi dan Devit. Namun Devit hanya senyam-senyum saja saat para tetangga meledeknya.
"Dasar Pak Nana lem*s!" umpat Juwi kesal, sambil menggigit ganas kerupuk kulit. Duda beranak dua itu sengaja menabuh perang pada Juwi, karena lamarannya pernah ditolak oleh Juwi.
Berita itu menyebar sampai ke kampus Devit, karena memang ada beberapa mahasiswanya yang kos tidak terlalu jauh dari rumah kontrakannya. Sarah calon istri Devit pun mendengar hot news Yang tersebar cepat.
"Kak Devit kita perlu bicara." Sarah menghampiri Devit, begitu Devit keluar dari kelas. Devit mengangguk, mengikuti Sarah. Devit tak memeliki firasat apapun, hanya saja Devit perhatikan wajah Sarah sedikit tegang. Setelah memilih bangku taman di kampus yang cukup ramai, Sarah dan Devit duduk, dengan jarak.
"Apa berita itu benar, Kak?"
"Berita apa, Sar?"
"Kedekatan kak Devit dengan seorang janda."
***
Maaf Devit dan Juwi telat Update!!Selamat membaca😘Devit tak menyangka Sarah bertanya perihal gosip yang beredar di kampusnya. Memangnya dia selebritis, sehingga gosip murahan seperti itu dengan cepat berkembang biak disegala pelosok.Setelah Sarah, Devit yakin mama dan papanya akan menelepon juga, untuk meminta klarifikasi. Devit menjelaskan pada Sarah, perihal yang terjadi pagi itu, meskipun tidak semua secara terperinci. Soal Devit yang tidak bisa memasang gas dan Juwi mengomelinya karena tidak bisa pasang gas, padahal sudah mau menikah. Sarah mengangguk paham."Hati-hati, Kak. Cinta itu datang karena terbiasa," ucapnya lugas, sedikit melirik ke arah Devit. Devit terdiam, tak tahu harus menjawab apa atas perkataan Sarah barusan."Intensitas interaksi antara Kakak dan wanita janda itu lebih sering dibandingkan dengan saya, calon istri Kak Devit. Pernikahan kita memang satu bulan lagi, bisa saja terjadi hal-hal yang diluar prediksi kita, jad
Selamat Membaca😘😘HukkHuukDevit pun tersedak kentang goreng yang sedang berselancar di tenggorokannya. Sigap Juwi bangun dari duduknya dan menepuk-nepuk kencang punggung Devit. Bukannya berhenti batuk-batuk, malah semakin tercekik Devit rasa, saat pukulan Juwi terlalu kencang, hingga mengguncang tubuh Devit. Terlihat bukan seperti menenangkan, malah Juwi seakan sedang melakukan KDRT pada Devit."Sudah Juwi, sudah." Devit mengangkat tangannya. Ya Allah Si Juwi kurus-kurus tenaganya Godzila. Bisik Devit dalam hati."Pelan-pelan, Pak. Makannya, nanti tersedak lagi lho," ucap Juwi sambil membersihkan bajunya dari noda semburan air cola."Iya terima kasih," ucap Devit sambil meringis. Ya Allah jadi panas gini punggung."Bunda, bolehkan? "Salsa melanjutkan pertanyaannya yang tadi."Salsa sayang, Bunda dan om guru itu berteman.""Oh, kalau teman ga bisa jadi Papa ya?" tanya Salsa dengan polosnya. Devit tidak
Selamat Membaca😘Hari senin shubuh seperti biasa, Juwi membuka warungnya, menata aneka gorengan dan nasi uduk yang dititipkan tetangga. Juwi melirik rumah Devit, lampu dalam mati, hanya lampu teras yang masih menyala. Tanda bahwa masih tidak ada orang disana. Iyalah, pengantin baru. Waktu Juwi menikah dengan ayah Salsa malah sampai dua hari di kamar terus. Padahal ga ngapa-ngapain juga. Hehehe... Juwi tersenyum sumbang. Ia menyadari rasa sukanya pada Devit, namun ia sadar itu tidak boleh."Hhhmmm ...." Juwi menarik nafas panjang. Dia harus bisa melupakan Devit dan meneruskan kehidupannya.Hari ini di warung cukup ramai. Juwi sedikit kewalahan, apalagi mulai hari ini Salsa sudah mulai mengikuti sekolah di kelas playgroup. Juwi mengantar jemput Salsa sekolah.Cuaca sangat terik, Juwi membeli es buah di warung dekat sekolah Salsa sambil menggandeng tangan Salsa. Pandangannya beralih pada pasangan yang baru saja lewat, ia seperti mengenalinya, tapi siapa
Selamat membaca😘Sarah menangis sesegukan setelah siang ini dia digagahi lagi oleh Jono. Sarah benar-benar tak mengenalinya, padahal Jono adalah kakak senior abadi di kampusnya.Karena memang Sarah tak terlalu banyak mengenal kakak seniornya, justru jarena dia terlalu aktif di lingkungan kampus makanya kakak seniornya yang lebih banyak mengenal dirinya."Sudah sayang, jangan nangis terus, nanti apartemen abang banjir lho." Jono mencoba menggoda, telunjuknya menyolek lengan polos Sarah."Saya mau pulang!" ucapnya pelan, suaranya bergetar."Ayo, biar abang antar!" Jono keluar dari selimutnya, tubuhnya polos berjalan santai ke arah kamar mandi, Sarah membuang pandangan. Matanya sudah bengkak dengan air mata, entah bagaimana nasibnya sekarang. Bagaimana nasib pernikahannya?Lima belas menit Jono berada di dalam kamar mandi, lalu keluar dengan harum shampo khas lelaki, tubuhnya hanya terlilit handuk sampai di bagian pinggang.Ke
"Siapa lagi yang mau jadi istrinya? GR aja!" Juwi berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya. Kesal iya, malu iya. Dengan kasar Juwi mengusap bibirnya, bibir yang sudah setahun lebih berpuasa."Ish, sekalinya buka puasa, kenapa harus sama suami orang sih? Duh bibir, nasibmu!" Juwi masih saja menggerutu, menepuk-nepuk bibirnya sendiri.Devit terkekeh geli, menyaksikan ekspresi Juwi yang menggerutu dari balik jendela. Juwi kembali ke warung dan melayani pembeli seperti biasanya hingga waktu menjelang magrib. Juwi bergegas menutup warung."Saya bantu ya?" ucap Devit sambil tersenyum manis, pakaiannya sudah rapi mau ke masjid untuk sholat magrib. Sarung batik tenun dan koko berwarna biru muda, tak lupa kupluk kopiah, menambah teduh wajahnya."Saya bisa kok, Pak." Juwi menolak halus."Yang tadi siang jangan diinget terus ya.""Yang mana ya?" Juwi pura-pura lupa."Mmm ... yang cium bibir kamu!"Pukk..puk..puk..
Shubuh ini hujan turun dengan derasnya. Devit melaksanakan sholat shubuhnya di rumah saja. Senyumnya terus mengembang, manakala teringat peristiwa dadakan yang terjadi dalam hidupnya tadi malam. Juwi, janda yang selalu mencuri perhatiannya kini telah menjadi istri sahnya, walaupun masih pernikahan siri. Tapi Devit berjanji dalam hatinya akan segera meresmikan pernikahan mereka. Lalu bagaimana dengan Sarah? Bukankah dengan Sarah juga pernikahannya harus berakhir. Memikirkan Sarah membuat Devit menjadi iba, ujian yang dihadapi Sarah sangat berat. Semoga Sarah bisa melewatinya.Beep..beep..["Ya hallo, Assalamualaikum, Mah."]["Wa'alaykumussalam. Kamu, mama tunggu pagi ini di rumah istrimu."]["Maksud mama, Sarah?"]["Iya, emang istri kamu ada berapa?"]["Eh iya, Ma. Nanti jam sepuluh Devit ke rumah Sarah."]["Kelamaan jam sepuluh. Jam delapan sudah harus di sini."]["Tapi Devit ada kelas, Ma. Jam delapan."]["Terserah, pok
"Saya datang bulan," ucap Juwi cepat sambil salah tingkah dengan sikap Devit yang kini berubah jadi agresif. Mendengar pernyataan Juwi membuat Devit tertawa. Ternyata Juwi takut juga pada dirinya, namun sedikit ada yang aneh, kenapa Devit seperti menikahi anak perawan saja? Rasa canggung dan kikukknya seperti gadis yang benar-benar belum pernah disentuh lelaki."Ya sudah ganti baju dulu sana, masa tidur pake kebaya." Devit menunjuk lipatan baju tidur berbahan satin, berwarna ungu."Mentang-mentang saya janda, dikasihnya ungu gitu," celetuk Juwi tanpa melihat Devit, langsung masuk ke dalam kamar mandi yang hanya ditutupi krei. Sebenarnya baju tidur dua stel di dalam lemari Devit adalah termasuk barang yang akan dia berikan pada Sarah. Namun belum terlaksana pesta yang dimaksud, malah ia kini menikahi Juwi"Jangan ngintip, lho Pak!" Teriak Juwi dari dalam kamar mandi."Iya, paling saya ikutan ganti juga," ledek Devit dari ruang tengah. Devit merapikan tempa
Selamat membacaJuwi tidak bisa mengelak lagi, Devit sudah mengungkungnya di atas kasur. Keduanya saling menatap, Juwi sangat canggung.Cepat Juwi menutup mata, saat Devit semakin mendekat."Sini, buka dulu mukenanya," bisik Devit ssambil membantu Juwi membuka mukena bagian atas. Rambut Juwi yang basah terurai indah, Devit menatap Juwi penuh minat. Juwi bernafas sampai tersendat-sendat, karena wajahnya dan suaminya begitu dekat. Seperti dihipnotis, Juwi menurut saja saat Devit membantu membuka bawahan mukena."Istriku cantik, mirip artis korea, kulitnya putih," puji Devit sambil jari telunjuknya menyentuh pipi Juwi yang kemerahan menahan malu."Pak, berat!" rengek Juwi sedikit menggeser tubuhnya, namun di tahan Devit."Abang, De. Bukan Bapak," sela Devit dengan senyuman."Iya ... Bang, somaynya goceng ga pake pare!" ledek Juwi sambil terkikik, merasa aneh dengan sebutan abang diminta Devit."Ngeledek ya."Cuupp