Share

4-Pria Idaman Wanita

“Astaga! Apa yang sudah Anda lakukan, Mister?!”

“Apa Anda membuatnya pingsan?! Kasihan sekali.”

“Sebaiknya cepat dibawa ke rumah sakit!”

Terdengar protes dari beberapa penunggu kendaraan umum di halte tersebut. Suara mereka membuat pria yang tadi menegur Shanon merasa bersalah.

Akhirnya ia memilih opsi ketiga. Segera membawa Shanon ke rumah sakit.

Diangkatnya tubuh Shanon dan segera membaringkan gadis yang tak sadarkan diri itu di kabin belakang sebelum ia sendiri bertolak ke kabin depan.

“Pak, tolong segera ke rumah sakit St. Xavier,” perintah pria tersebut sambil menutup pintu mobil di sampingnya.

Supir taksi tersebut pun mengangguk dan langsung menaikkan kecepatan, meninggalkan halte.

Dari lirikan matanya, sang supir bisa melihat kalau pelanggan prianya tengah sibuk menghubungi seseorang.

“Chris! Saya sudah berpindah lokasi. Temui saya di rumah sakit St.Xavier.” Nada sang pria muda itu terdengar kesal dan sangat tidak bersahabat.

Karena lawan bicaranya bersuara cukup lantang, supir taksi itu pun bisa mendengar dengan samar percakapan mereka.

“Tu—tuan Damian! Apa Anda terluka?! Maafkan saya! Karena terlambat—“

“Sudah. Aku akan mengurus keterlambatanmu nanti. Segera ke st. Xavier!” sentak pria yang disebut Tuan Damian tadi, memotong pembicaraan lawannya di telepon.

Sekitar 15 menit kemudian, mobil kuning berlogo ‘taxi’ itu menepi di depan pintu UGD rumah sakit.

Karena merasa bersalah, pria itu pun menemani Shanon sampai ke UGD.

“Apa yang terjadi, Tuan?” tanya salah satu Suster yang tengah memasang selang infus pada punggung tangan Shanon.

Pria itu terdiam sesaat, kemudian berkata, “Ah ... saya tidak terlalu paham, tetapi wanita ini pingsan saat menunggu di halte.”

Mendapati informasi yang jauh dari harapan, suster itu pun hanya bisa mengangguk menerima informasi yang tidak seberapa itu.

‘Aku sebaiknya membayari biaya pengobatannya. Semoga saja dia tidak apa-apa,’ batin pria itu seraya berpamitan pada salah satu suster yang merawat Shanon.

Namun, baru saja pria itu berbalik menuju ke pintu keluar UGD, ia menangkap pembicaraan para suster tersebut.

“Eh?! Bukannya ini wanita yang kemarin disebutkan dokter sedang hamil?”

Mendengar itu, sang pria penyelamat pun tertegun tak melanjutkan langkahnya. ‘Hamil?! Apa aku sudah menyusahkan orang hamil?!’

“Ah! Benar! Dia—“

“Suster, tolong pindahkan wanita ini ke kamar VVIP. Saya sudah meminta satu kamar untuknya,” ujar pria tersebut yang tiba-tiba kembali ke dalam bilik UGD.

“Ba—baik, Tuan.”

Tanpa banyak bicara lagi, para suster itu pun segera menggerakkan roda ranjang rumah sakit menuju ke ruang VVIP yang sudah ditunjuk.

“Tuan Damian.” Seorang pria muda berambut pirang menghampiri Damian yang langsung berbalik dan memandanginya dengan penuh kekesalan.

Pria pirang itu adalah sang sekretaris—Christian Benn.

“Chris, tolong kau urus administrasi wanita ini!” perintah Damian dengan wajah super kesalnya.

Ia masih sangat menyayangkan keteledoran sang sekretaris hari ini. Kalau saja pria pirang berkacamata itu tidak terlambat menjemputnya, ia tidak perlu berurusan dengan orang sakit seperti ini.

Bukan saja terlambat menjemput, sekarang Damian bahkan tidak bisa menghadiri rapat yang akhirnya diundur.

“Ba—baik, Tuan Damian. Dokter Armeyn sudah saya beritahu untuk menangani pasien ini. Beliau akan berkunjung sebentar lagi.”

Damian berdeham singkat kemudian melanjutkan langkahnya menuju kamar VVIP untuk memeriksa kondisi Shanon.

Tak lama kemudian, dokter yang disebutkan sang sekretaris pun datang ke ruangan tersebut dengan cengiran lebar di wajahnya.

“Aku tak menyangka akan datang waktunya aku mendapatimu berurusan dengan wanita, Damian.”

Damian mendengus sambil memutar manik matanya. “Ini tidak seperti yang Anda pikirkan, Dokter Armeyn. Semoga kau selalu sehat.”

Dokter tua itu terkikik sambil menyalami tangan Damian sebelum ia memfokuskan diri pada Shanon yang masih terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit.

“Dia tidak sampai terjatuh ke tanah, kan?” tanya sang dokter sambil mengecek irama jantung Shanon. Jelas, dokter tua itu sudah memeriksa informasi yang didapat oleh suster.

Netra Damian bergerak tak tentu, mencoba mengingat kejadian yang berlangsung dalam sekejap tadi. “Ku ... rasa aku sempat menangkap tubuhnya.”

Tengah memeriksa, seorang suster masuk dan memberikan sebuah dokumen pada Dokter Armeyn. “Ini hasil tes sebelumnya, Dok.”

“Ah ... ya, ya, ya. Dia sedang hamil, yang kudengar dari dokter jaga,” gumam Dokter Armeyn sambil membaca-baca catatan pada dokumen di tangannya.

Suster itu mengangguk seraya berkata, “Benar, Dok. Sudah usia 7 minggu menuju 8.”

“Seharusnya sudah bisa terlihat janinnya. Suster, tolong bawakan alatnya ya,” pinta dokter tua itu sambil menutup catatan medis Shanon dan meletakkannya di atas meja.

Suster pun segera undur diri untuk mengambil alat rekam kandungan, sesuai yang diminta sang dokter. Tak lama kemudian, pemeriksaan kandungan pun dijalankan.

“Apa janinnya sehat?” tanya Damian yang was-was. Ia cukup takut, kalau-kalau karenanya, seorang wanita kehilangan bayinya.

Dokter Armeyn yang tengah fokus mengamati gambar pada layar monitor kandungan hanya bergumam saja sambil menganggukkan kepalanya beberapa kali.

Setelah puas mengamati kandungan Shanon, Dokter Armeyn pun segera mengambil pena dari sakunya dan menuliskan sesuatu seperti sembarangan, di sebuah kertas.

“Bagus. Tidak ada masalah. Kemungkinan, nona ini yang tubuhnya lemah,” ujarnya sambil menyerahkan kertas tadi pada suster yang membantunya.

“Baiklah. Terima kasih, Dok.”

Dokter itu pun beranjak dari sisi ranjang pasien menuju sofa. Sementara itu suster membantu menutup tirai supaya Shanon bisa beristirahat tanpa gangguan.

Bermaksud untuk berbincang santai dengan pria yang sudah lama tak pernah terlihat lagi di kota Tinseltown, dokter tua itu menepuk sofa di sampingnya. “Duduklah dulu.”

Terakhir ia bertemu dengan Damian adalah saat usia pria muda itu 16 tahun.

“Jadi, benar? Kau tidak ada hubungan apa-apa dengan nona ini, Damian?” tanya pria yang 90 persen rambutnya sudah memutih. Ia senang membuat Damian kesal.

Damian menghela napas panjang sebelum ia mematikan ponselnya. Ia baru saja membaca pesan singkat dari sekretaris kantornya perihal laporan rapat yang baru saja dilewatkannya.

Diturunkan tubuhnya hingga menyentuh sofa, kemudian ia bersandar seolah semua lelah manusia ada pada pundaknya.

“Sudah kukatakan, pria tua ... ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku berebut taksi,” ujarnya, menyingkat pertemuan tak menyenangkan dengan Shanon tadi.

Namun, ucapannya jelas membuat pandangan sang dokter menyipit tak setuju. “Kau berebut kendaraan dengan wanita hamil? Apa kau kekurangan mobil—“

“Tidak demikian, Dokter Armeyn.” Tiba-tiba Christian—sekretaris pribadi Damian, bergabung untuk mewakili sang atasan menjelaskan apa yang sebenarnya dialami.

Bertahun-tahun ia bekerja untuk Damian, pemahamannya mengenai betapa iritnya sang atasan bicara, sudah sampai level tertinggi.

Sementara mereka berbincang ini dan itu di sofa, telinga Shanon pun mulai tergugah dengan suara samar mereka.

Gadis muda itu mencoba membuka matanya yang berat, tetapi netranya kembali menutup. ‘Ugh! Terang sekali,’ keluhnya sambil menolehkan kepala.

Cahaya lampu yang menantang indra penglihatannya terasa sangat tajam. Butuh waktu lebih lama untuknya menyesuaikan dengan jumlah cahaya.

Sementara matanya berusaha membuka, telinganya masih mencoba menangkap kalimat-kalimat yang diucapkan entah siapa yang ada di balik tirai yang menutupi pandangannya.

‘Tetap tidak terdengar. Siapa ya mereka?’ batin Shanon bertanya-tanya. Ia sempat mendengar 3 suara berbeda, namun sekarang hanya ada 2 suara sebelum akhirnya pintu ruangan terdengar seperti dibuka dan ditutup.

Setelah beberapa saat, Shanon akhirnya bisa mengangkat tubuhnya untuk duduk di atas ranjang. Penasaran dengan orang-orang yang sedang berbincang, gadis yang masih terbalut pakaian kantor itu pun mencoba menyibakkan tirai.

Sayang sekali. Karena keseimbangan tubuhnya belum sempurna, beratnya malah menarik tirai itu hingga lepas dari relnya.

Damian sangat terkejut dengan keributan yang dibuat oleh Shanon. Beberapa detik, pria itu hanya menatap Shanon dengan pandangan kesal.

Kalau Damian terkejut karena ulah Shanon, gadis itu lebih terkejut lagi melihat Damian ada di hadapannya. Bahkan mulutnya sampai ternganga tanpa suara.

Di dalam kumpulan para sekretaris kota Tinseltown, tidak ada satupun sekretaris yang tidak tahu siapa pria yang sedang berdiri kesal di hadapan Shanon saat ini.

‘Damian Vadis?!’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status