Dani masih terbaring di rumah sakit. Bu Intan tak berhenti menangis melihat Dani menderita penyakit yang ditakuti banyak orang itu. Ia sendirian. Tak ada saudara ataupun tetangga yang datang menjenguk.Mungkin karena sikapnya sendiri yang sering menyakiti hati tetangga dengan ucapannya. Kini, saat ia membutuhkan bantuan moril, tak ada satupun tetangga yang memberinya semangat.Bahkan lewat pesan singkat pun tidak. Padahal ia sudah mengirim kondisi Dani ke grup arisan Ibu-Ibu di kampung tersebut. Tetapi tak ada yang berkomentar, hanya beberapa orang yang memberikan emot sedih.Bu Intan sudah bilang pada dokter bahwa ia akan membawa Dani pulang, meskipun menurut Dokter, Dani harus dirawat lebih lama, tapi karena tak ada biaya, maka Bu Intan sedikit memaksa dokter itu agar mengizinkan Dani pulang.Bu Intan pun menatap tagihan rumah sakit. Biayanya hampir tiga juta rupiah. Dulu uang segitu adalah uang sekali arisannya. Namun sekarang, uang itu terasa begitu besar.Bahkan menjual perhiasan
Extra Part 1 PoV Alex Perempuan itu bernama Rara. Gadis periang yang baik hati. Aku sangat suka melihat senyumannya, celotehnya, bahkan ekspresinya ketika sedang ngambek. Aku menyukai semua yang ada pada dirinya. Dia adalah teman masa kecilku. Kami tumbuh bersama karena kedua Papa kami bersahabat. Persahabatan antara dua insan yang berbeda akan menimbulkan benih-benih cinta. Dan aku merasakan hal itu. Namun aku hanya bisa memendam perasaanku rapat-rapat. Aku begitu takut untuk mengungkapkan semuanya kepada Rara. Aku takut akan merusak hubungan persahabatan yang telah terjalin selama ini. Ketika mendengar Rara memiliki pacar, aku masih bisa menahan perasaanku. Tapi begitu dia bilang akan menikah, saat itulah aku merasa dunia berhenti berputar. Aku sangat shock! Lalu aku tahu lelaki itu belum lama dikenalnya. Tapi kenapa ia bisa seyakin itu? Aku tersenyum mengucapkan selamat, padahal dalam hati aku menangis. Setelah pernikahan Rara, aku menyibukkan diri dengan bekerja. Kututup hatik
“Kamu tidak apa-apa, Sayang?” tanya Alex sembari mengulurkan segelas air putih kepadaku.Aku hanya mengangguk. Malu rasanya Alex bicara begitu gamblang kepada orang tuaku. Mama dan Papa hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala melihatku yang salah tingkah“Rencana kalian berapa lama di sana?” tanya Papa yang masih senyum-senyum melihatku.“Seminggu mungkin, Pah! Kalau Rara masih betah di sana ya sebulan juga nggak papa. Hahahah”tawa renyah Alex membahana. Sepertinya dia sangat senang akan berbulan madu denganku. Aku pun sama. Tak sabar dan deg-degan rasanya.“Wah, bawa vitamin yang banyak, Ra. Biar nggak gampang sakit,” goda Papa lagi.“HmmmNamanya juga pengantin baru, Pah! Kayak Papa dulu enggak aja! Inget nggak dulusampai ditelpon Nenek suruh pulang, karena perusahaan butuh Papa juga?” mendengar ucapanMama, membuat Papa menghentikan tawanya.Aku baru tahu cerita ini karena Mama tidak pernah menceritakannya.“jadi Papa juga gitu ya? Sok-sokan meledek segala” aku pun ganti mengg
Dua tahun kemudian ...Perutku semakin membesar karena HPL tinggal dua Minggu lagi. Saat hamil besar begini, gerakanku menjadi terbatas bahkan untuk memakai sepatu pun aku kesulitan. Tapi aku menikmati kehamilan ini.“Mas, perutku sakit sekali, sepertinya aku akan melahirkan,” erangku sambil memegang perut yangsudah membesar.Setelah menikah, memang aku memanggil Alex dengan sebutan Mas, untuk lebih menghormatinya sebagai suamiku meskipun awalnya kelihatan aneh aku memanggilnya Mas Alex.“Bukan kontraksi palsu lagi ya? Sudah benar-benar tidak kuat lagi?” tanya Alex panik dan mulaimencari tas baby kami tapi dia belum menemukannya.“Tenanglah, Mas. Tidak usah panik. Ambil tasnya di dekat lemari itu, lalu bantu aku berganti baju,kita ke rumah sakit sekarang,” ujarku perlahan sambil menahan sakitnya kontraksi.Untunglah meskipun di desa, tapi fasilitas kesehatan tidak terlalu jauh, hanya satu jam perjalanan sudah sampai di rumah sakit. Penanganannya juga bagus, tak kalah seperti rumah
“Dan, Ibu sudah lelah! Harus mengurusmu yang sedang sakit dengan penuh kekurangan. Bahkan untuk makan sehari-hari aja kita kesulitan. Sedangkan lihat Rara dan suami barunya?” Ibu menunjuk aku dan Alex.“Hidupnya penuh dengan kebahagiaan. Bahkan sekarang dia memiliki anak yang lucu. Kamar pun mendapat fasilitas yang kelas satu. Bukankah ini tidak adil untuk kita, Dan?” Ibu kembali menangis.“Kita untuk makan aja susah, rumah sempit, tak punya uang, saudaramu masih di penjara. Dan yang lebih penting, Ibu sudah tak bisa lagi belanja-belanja seperti dulu. Ibu sudah bosan, Dan! Ibu sudahlelah!”“Nia juga sampai sekarang seperti orang gila! Kerjanya hanya diam dirumah. Kadang tertawa dan kadang menangis. Ibu benar-benar tidak kuat lagi, Dan!” Ibu kembali menangis.Aku tak tahu sama sekali kalau Ibu mertuaku mengalami hal ini. Lalu kemana Anggita? Kenapa Ibu tidak membicarakan soal menantu tersayangnya itu?“Sudahlah, Bu. Harus kita syukuri, kita masih hidup. Maafkan aku Cuma bisa jadi beba
Semakin hari usia Lala semakin bertambah. Dia bukan lagi gadis kecilku, melainkan gadis remaja yang semakin cantik. Tak ayal banyak pemuda yang mulai main ke rumah, hanya sekedar untuk bertemu dengan anakku.“Ma, kok banyak yang main ke sini sih? Lala risih karena gak gitu kenal sama mereka.”Aku tersenyum menanggapi putriku sayang. Kuputar otak agar bisa memberikan pemahaman kepada dirinya yang mulai dewasa.“Itu tandanya anak Mama menarik perhatian orang lain. Tapi ingat ya, Nak! Kamu nggak boleh terlalu dekat dengan laki-laki yang bukan mahram,” jelasku.“Bukan mahram itu apa, Ma?” tanya Lala kritis. Dia memang pintar, selalu menanyakan hal-hal yang dia tak tahu. Dan aku sebagai orang tuanya harus bisa memberikan penjelasan yang masuk akal juga.“Tergantung konteksnya, Sayang. Bukan mahram adalah orang yang haram untuk disentuh, atau tidak boleh bersentuhan. Bisa jadi bukan mahram adalah apabila bersentuhan bisa membatalkan wudhu, bisa juga bukan mahram artinya haram untuk dinikahi
Kukeluarkan pakaian-pakaian yang sudah tidak terpakai. Semuanya aku kumpulkan menjadi satu.Selesai dengan lemariku, berikutnya adalah lemari milik suamiku. Kubereskan juga baju-bajunya yang sudah jarang dipakai. Saat mengambil tumpukan yang paling bawah, aku melihat suatu benda terjatuh.Kupungut benda berwarna merah itu. Sebuah kotak berisi kalung emas yang sangat cantik. Tangankugemetar melihat tulisan yang tertera di kotak kalung itu. ‘Untukmu yang paling kusayangi’Badanku terasa lemas. Rasanya tulang lepas dari tubuhku begitu saja. Aku tak menyangka kalau Alex pun sama seperti Mas Dani.Aku menangis sesenggukan. Seorang diri di rumah ini menahan sesak di dada. Hari ini bukan ulang tahunku, bukan pula ulang tahun Lala. Kalau bukan kami berdua, lantas siapa?Kumasukkan kembali baju milik suamiku. Aku tak jadi merapikan isi lemarinya. Penemuan Kalung ini membuatku shock. Seakan tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya menangis dan menangis.Hingga kudengar ucapan salam dari pintu de
“Perfect! Kita ambil yang ini saja!” Mama berteriak untuk memanggil pelayan agar membungkussemua belanjaan Mama dan menuju kasir.“Mama cantik banget! Papa pasti klepek-klepek kalau melihat Mama pakai baju ini.”Mendengar Papanya disebut, seketika aku teringat dengan kalung itu. Siapa wanita itu? Wanita lain yang dicintai suamiku? Tanpa terasa air mataku turun, tapi langsung kuhapus karena tak ingin dilihat oleh anakku.“Mama kok nangis? Terharu ya?” goda Lala. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.“Yuk pulang, Nenek sudah selesai bayarnya.” Mama mengajakku dan Lala keluar dari butik ini. “Kita pulang sekarang, Nek?” tanya Lala.“Nanti! Kita ke salon dulu! Masa bajunya udah cantik tapi orangnya belum.” “Iya deh, Nek. Tapi salat dan makan dulu ya, sudah magrib ini.” Pinta Lala. “Tentu saja, Sayang!” jawab Mama lalu mengacak rambut Lala.Setelah makan dan melakukan kewajiban sebagai umat muslim, kami segera menuju salon langganan yang juga terletak di mal ini.Ternyata tidak hanya Mama,