Share

Gelombang

Sore yang panas. Lana tengah duduk di depan meja tulis di dalam kamarnya, bersama laptop, sebuah buku catatan penuh coretan, pena dan sewadah camilan di sebelahnya. Sebotol air dingin tampak mengembun menyegarkan pandangan mata dan suasana panas di pukul tiga sore itu.

Lana sedang fokus memeriksa kerangka tulisan dan observasi serta wawancara yang akan dilakukannya untuk project biografi Magdalena Soedibyo. Lana melakukan perbaikan tentang beberapa metode dan kerangka yang sudah ia susun sebelumnya, untuk disesuaikan dengan rencana Rei mengajak Lana di setiap sesi foto yang Rei lakukan untuk Magdalena. Karena perubahan rencana tersebut, tentu saja Lana harus mengubah time table dan metode yang sebelumnya sudah ia susun mengacu pada tenggat yang sudah ditentukan.

Nantinya, Lana akan melakukan wawancara seputar kisah hidup Magdalena, tentang kisah cintanya, keluarga, karir, hingga hal-hal yang menjadi favorit Magdalena. Selain itu, Magdalena juga akan mengolaborasikan draft tulisan-tulisan yang sempat ia buat sendiri untuk digabungkan dengan hasil wawancara, eksplorasi dan pendalaman yang dilakukan oleh Lana di lokasi-lokasi pemotretan yang akan dilakukan oleh Rei dan Magdalena, yang kesemuanya adalah tempat-tempat berkesan dan bermakna mendalam bagi diri sang aktris.

Lana sangat bersemangat dan tak sabar ingin memulai proses penulisan buku ini. Pertemuan akan dijadwalkan hari Senin minggu depan, bertempat di lokasi syuting film yang sedang dilakukan oleh Magdalena. Ia akan datang bersama Rei yang bertugas untuk melakukan sesi foto baik take, make Maupun candid.

Lana tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas yang ia terima dalam project ini. Lana sungguh ingin mempersiapkannya dengan baik dan maksimal. Entah mana yang lebih membuatnya lebih bersemangat saat ini, mengetahui akan banyak bekerja bersama Rei yang terlihat semakin menarik setelah momen makan siang kemarin, atau pekerjaan itu sendiri, yang jelas Lana merasa sangat berenergi dan tak sabar menanti datangnya hari Senin.

Lana mendorong daun jendela kamarnya semakin lebar agar udara segar bisa masuk lebih banyak. Ia menggelung rambutnya, duduk bersila di atas bangku, lalu menenggak air minum dingin di atas meja. Udara menjelang datangnya mendung memang benar-benar gerah dan lengket.

Setelah menghabiskan setengah botol air minum dinginnya, Lana meraih ponsel yang ia letakkan dekat jendela. Sedari tadi ponsel itu berbunyi memberi tanda pesan masuk, namun Lana tak menggubrisnya sebab ia begitu fokus pada pekerjaannya. Lana pun mulai menggulirkan layarnya dan memeriksa pesan W******p yang masuk. Salah satunya dari Arga.

"Nanti sore mau kujemput ikut ke coffee shop? Aku shift sore sampai tengah malam hari ini," ujar Arga.

Pesan itu masuk sekitar satu jam yang lalu. Setahu Lana, shift sore Arga adalah jam 4 sore. Itu berarti sekitar 45 menit dari sekarang.

Beberapa kali Lana memang sering ikut ke coffee shop di shift-shift kerja Arga. Biasanya Lana menanti Arga melakukan tugas-tugasnya sembari mengerjakan pekerjaannya sendiri, menulis artikel untuk beberapa website di mana ia bekerja sebagai penulis lepas, atau sekadar bermain game dan membaca buku sembari sesekali mengobrol dengan para pekerja dan juga pemilik coffee shop yang sudah ia kenal baik di sana.

Lana memang merupakan pribadi yang ramah, supel dan mudah bergaul. Tak banyak yang tahu di balik keceriaan dan keramahannya sebenarnya Lana memiliki kerapuhan dan ketakutan yang selalu ia tutup rapat-rapat, yang bahkan sahabat terdekatnya, Bianca pun tak tahu. Tapi tidak dengan Arga. Lana merasa laki-laki itu sangat memahami Lana dan selalu bersikap sangat baik pada dirinya. Di bulan-bulan awal kedekatannya dengan Arga, Lana sempat ingin menyudahi dan menjauh dari Arga, meski selalu berakhir tak bisa. Alasan Lana, ia hanya tak ingin pada akhirnya hanya akan menyakiti Arga, sebab jauh di dalam hatinya, Lana sebenarnya tak mengerti akan perasaannya sendiri.

Ada satu sisi dalam diri Lana yang memang merasa sangat aman dan nyaman bersama Arga. Namun di sisi lain, Lana merasa ragu, takut, dan tak ingin terikat dengan siapapun entah sampai kapan. Ada sesuatu yang ia takutkan jika tiba saatnya membicarakan hubungan dan pernikahan. Lana berpikir, jika pada akhirnya hanya saling menyakiti seperti orang-orang yang ia ketahui di sekelilingnya selama ini, mengapa harus mengubah status dan meninggalkan kebahagiaan yang telah ada kini?

Lana masih selalu teringat jelas, bagaimana dulu kedua orangtuanya bertengkar setiap hari dan terus menerus saling menyakiti. Ayahnya yang kemudian pergi dari rumah dan tak pernah kembali lagi, sementara ibunya yang temperamental terus menerus berganti pasangan. Lana jadi berpikir, mungkinkah pernikahan dan status  hanyalah suatu bentuk paksaan sosial yang sebenarnya tidak selalu dibutuhkan semua orang? Lana tak mau ia menjadi ibunya, dan tak ingin siapapun lelaki yang bersamanya berakhir seperti ayahnya. Terutama jika itu Arga.

Maka itu, pertanyaan Arga beberapa hari sebelumnya ketika mereka membicarakan kehamilan dan niat tulus Arga untuk bertanggung jawab padanya, sesungguhnya cukup meresahkan Lana. Lana menyayangi Arga. Tak perlu dijelaskan pun, orang-orang yang mengenal mereka juga sudah pasti bisa membacanya. Ada gelombang yang berbeda yang tak pernah dirasakan Lana ketika ia bersama laki-laki lainnya sebelum Arga. Gelombang Arga yang bergulung tenang, menghangatkan, menyapa bibir pantai Lana dengan sangat lembut dan tidak mengancam atau ingin melumatnya habis. Berbeda dengan semua laki-laki yang pernah ia kenal, yang gelombangnya selalu membuat Lana merasa hendak dilumat dan dihabisi, dimiliki dan tak sedikitpun disisakan untuk dirinya sendiri.

Arga memang berbeda, dan semakin ia menampakkan bahwa dirinya berbeda, semakin takut pula Lana akan dirinya sendiri. Ia takut menjadi ibunya, yang berakhir menyakiti ayahnya dan juga dirinya.

Lana menyandarkan punggungnya ke kursi, menghela  napas dan menatap keluar jendela yang ia buka lebar-lebar. Sesekali Lana tersenyum menyapa penghuni kost yang melewati kamarnya.

"Eh, Lana... Tumben di kos... Nggak ke tempat Arga?" Sapa Dea, perempuan asal daerah yang sama dengan Lana, Jawa Timur. Lana tersenyum, "Abis ini, Mbak Dea... mandi dulu, gerah," jawab Lana. Dea yang bekerja sebagai beauty consultant sebuah brand kecantikan itu pun mengangguk dan sejenak menimbrung di depan jendela kamar Lana. Rupanya perempuan itu sedang libur hari ini, terlihat dari keberadaannya di kos pada jam sekian tanpa make up dan baju kerjanya, hanya berbalut daster dan rambut yang diikat asal-asalan.

"Cepetan jadiin, lho, Lan... Cowok ganteng tapi baik makin langka..." seloroh Dea diiringi cekikikan mereka berdua.

"Buat  Mbak Dea aja, gimana?" gurau Lana disambut lemparan kertas nota warung dari Dea yang berhasil ditangkis oleh Lana, sebelum Dea berlari ke arah kamarnya.

Tentu saja Lana tidak serius. Meski ia belum yakin pada kesediaan dirinya untuk berkomitmen, merelakan Arga bersama perempuan lain tentu akan menyakitkan bagi Lana.

"Kuambil beneran tahu rasa, ya...!"sahut Dea sembari tertawa dari dalam kamarnya yang berada di seberang kamar Lana.

Di antara seluruh penghuni kos ini, hanya Dea yang terbilang paling akrab dengan Lana. Perangainya yang blak-blakan dan senang membantu teman membuat Lana merasa nyaman bergaul dengannya, di samping kesamaan daerah asal mereka yang membuat adanya rasa senasib di kota perantauan. Meski berbeda kota asal, Dea dari Surabaya dan Lana dari Malang, kesamaan daerah mereka mampu membuat kerinduan masing-masing terhadap suasana daerah asal cukup terobati.

Dari seluruh penghuni kos yang sudah terbiasa dengan kedatangan Arga, hanya Dea juga lah yang tahu bahwa sebenarnya Lana belum resmi berpacaran dengan Arga. Dan saat Dea berkata Arga baik hati, sebenarnya aggapan itu bermula saat Lana jatuh sakit di awal-awal mereka dekat. Arga rela datang tengah malam membawakan obat dan sebungkus bubur ayam untuk Lana, menyuapinya dan menemaninya hingga pagi tanpa tertidur. Sebelumnya, Dea lah yang menemani Lana di kamar. Kedatangan Arga dan bagaimana bahasa tubuh Arga pada Lana,  menurut Dea sang pecinta drama korea pun sangat terlihat chemistry-nya.

Saat itu Lana hanya beranggapan bahwa Dea berlebihan dan terlalu banyak menonton drama Korea. Namun, lama kelamaan, Lana seperti dipaksa untuk merasakan dan melihat sendiri bukti dari intuisi dan ucapan Dea beberapa bulan yang lalu itu.

Dea yang bernama lengkap Nadia Azzahra tiga tahun lalu menjadi janda di usianya yang masih sangat muda, 22 tahun, setelah mati-matian berusaha bertahan dalam pernikahannya selama dua tahun, tanpa anak. Usia Dea kini hanya berjarak satu tahun di atas Lana, tapi Dea tampak jauh lebih dewasa. Ia dinikahkan di usia sangat muda oleh kedua orangtuanya, dengan pria yang dianggap baik secara garis keturunan dan terhormat secara sosial di kampungnya, membuatnya harus rela meninggalkan kekasih yang sebenarnya sangat ia cintai, namun hanya berstatus pegawai biasa di sebuah counter hp. Kepahitan yang sudah pernah Dea rasakan bersama suami yang ternyata tak sungguh mencintainya dan hanya menganggapnya properti pelengkap rumah tangga serta mesin anak, membuat Dea setelahnya menjadi lebih peka soal perangai seorang laki-laki yang memang betul-betul mencintai seorang perempuan, juga sebaliknya.

Pernikahan Dea akhirnya berkhir begitu dini bersama ketokan palu hakim agama, setelah Dea diceraikan karena menolak permintaan mantan suaminya untuk menikah lagi dengan alasan Dea tidak bisa dan tidak mau memberikan keturunan serta pandai membantah. Dea memang cerdas, ia merupakan salah satu lulusan terbaik sebuah pesantren terkenal di Jawa Timur. Setelah perceraiannya, Dea memutuskan hijrah dan bekerja di Ibukota, bertualang seorang diri dengan niat awal menyelamatkan muka keluarganya. Kemudian di ibukota ia akhirnya menemukan pekerjaan di dunia kecantikan, berbekal wajahnya yang ayu berbalut kerudung serta kemahirannya berkomunikasi, ia pun diterima menjadi BA sebuah brand kosmetika sembari berusaha melanjutkan studi di tingkat perguruan tinggi, fakultas ekonomi manajemen dalam program kelas karyawan.

"Bukan hanya dari seberapa royal ia padamu, bukan juga dari seberapa romantis sikapnya padamu, tapi dari kesungguhannya dan chemistry yang kamu rasakan ketika bersamanya. Orang yang tepat akan membuatmu merasa aman, nyaman dan tenang ketika bersamanya. Dengan orang yang tepat, kamu nggak akan deg-degan, justru akan merasa sangat santai seolah-olah tidak sedang menghadapi orang asing," ujar Dea di suatu sore kala itu, ketika mereka mengobrol sembari duduk santai di serambi depan kamar Dea.

Sialnya, semakin hari Lana memang semakin merasakan seperti yang Dea bilang sore itu. Dengan Arga, Dea hampir tidak pernah merasakan deg-degan, kecuali saat Arga menciumnya untuk pertama kali. Selebihnya, Arga bagaikan sosok yang terasa sangat dekat dan sudah lama dikenalnya, sehingga sedikitpun Lana tak perlu berpura-pura soal apapun di hadapan Arga. Namun, semakin menyadari hal itu, Lana juga semakin takut.

Ia takut kebahagiaan ini pada saatnya akan berlalu ketika ia dan Arga memilih mengukuhkan hubungan mereka secara sosial. Ia takut, beban-beban yang sebelumnya tak pernah ada kemudian datang dan menghancurkan kebahagiaan yang mereka miliki sekarang. Lana hanya ingin kebahagiaan ini terus ada, tanpa awal dan tanpa akhir. Pola pikir ini bisa jadi tak pernah bisa dimengerti sahabatnya, Bianca yang hidupnya lurus dan baik-baik saja, serta sebentar lagi melangsungkan pernikahan, atau Dea, teman kosnya yang sudah melalui pahitnya kehidupan pernikahan dan perceraian di usianya yang masih sangat muda. Tapi mereka semua pun tak pernah benar-benar tahu, ketakutan dan pengalaman hidup Lana yang juga dilaluinya dulu. Maka itu, Lana pun memilih bersikap tenang dan diam menerima omelan orang-orang yang gemas sekaligus peduli padanya, karena dirinya sendiri pun tak tahu harus memulai dari mana jika harus menceritakan segala penyebab ketakutannya terhadap hubungan selama ini kepada orang-orang terdekatnya...

***

Lana menarik senyum lebar ketika sampai di depan meja bar, di hadapan Arga yang tengah mengelap cangkir-cangkir dan meletakkannya ke tempat gelas.

"Hai...!" Sapa Lana sumringah kepada Arga yang agak terkejut melihat Lana tiba-tiba sudah muncul di hadapannya. Arga berjalan mendekat, sejenak menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada yang memperhatikan mereka, memajukan badannya melewati meja bar dan mengecup pipi Lana.

Lana mencubit lengan Arga dengan sedikit panik, membuat Arga meringis dan mengaduh.

"Kamu tuh ya... nakal! Kalau dilihat pelanggan kan, nggak enak..." gerutu Lana kesal namun senang.

"Ah, sama istri sendiri, ini... Emang kenapa?" ujar Arga santai. Lana mendelik grogi campur kesal.

"Apaan sih, Argaaa..." gerutu Lana panik dan malu karena Arga menyebut kata 'istri'.

"Cepat atau lambat kan pasti bakal gitu..." jawab Arga sembari tersenyum simpul dan mengedipkan sebelah mata, tanpa keraguan sedikitpun.

Lana kehabisan kata-kata. Perasaannya melambung sekaligus terasa teraduk-aduk karena ucapan Arga soal 'istri' itu. Apakah mereka nantinya benar-benar akan berlabuh di sana? Begitu kira-kira suara batin Lana.

"Lagian, datang tiba-tiba, cengar-cengir... WA nggak dibales... Padahal tadi mau ajak makan bakmie dulu sebenernya," ujar Arga.

"Iya, maaf ya, tadi lagi repot kerjaan sampai nggak sempat balas. Tapiii... karena emang kangen, ya langsung aja deh, kemari..." jawab Lana sembari memasang senyum manis dan wajah tak berdosa.

Arga berdecak. "Hmmm... tampang yang kayak gitu itu, lho... terus kalau aku gemes, salah...?" kata Arga sembari mencubit hidung Lana.

"Ampun, ampun... Nggak salah, enggaaakk..." pekik Lana berusaha melepaskan cubitan Arga pada hidungnya.

"Mau minum apa?" Tawar Arga kemudian.

" Es kopi susu boleh deh, Ga... sama pesen cheese croissant, ya... aku belum makan, lapar juga..." pinta Lana sembari beranjak pindah meja.

"Eh, mau ke mana... Sini aja deket aku, temenin aku kerja," pinta Arga sembari menahan tangan Lana.

Lana menggeleng dan melepaskan tangan Arga dari tangannya.

"Jangan, kamu malah nggak konsen kerja kalau aku di sini. Lagian aku juga harus nyelesaiin artikel juga, nih..." jawab Lana menolak permintaan Arga. Arga pun menurut dan membiarkan Lana berpindah meja. Padahal, ia sangat kangen pada perempuan itu dan ingin dekat-dekat dengannya meski sedang bekerja seperti saat ini.

Lana pun memilih meja sudut dekat jendela yang langsung berbatasan dengan halaman coffee shop. Lana memilih duduk di bangku sudut yang menghadap ke arah meja bar tempat lelaki favoritnya bekerja. Lana membuka laptopnya dan mulai mengerjakan artikel yang harus ia kerjakan. Sesekali Lana memerhatikan Arga dari kejauhan. Melihat kerasnya Arga bekerja sembari membayangkan setiap perlakuan manis Arga padanya, selalu menghadirkan gelombang yang nyaman di dalam dada Lana. Tak hanya itu, tawa lepas Arga yang sesekali terdengar ketika bercanda dengan rekan kerjanya juga merupakan salah satu kesukaan Lana. Arga adalah keindahan bagi Lana. Keindahan yang Lana tak ingin lekas pudar dan sirna.

Selang sepuluh menit, segelas es kopi susu dan sepiring cheese croissant sudah mendarat di atas meja Lana, diantarkan oleh Siska, pramusaji baru yang usianya masih sangat belia.

"Makasih ya, Siska..." ucap Lana kepada Siska.

"Sama-sama, Kak Lana, jangan lupa dibaca kertasnya, Kak. Itu ada pesan dari Kak Arga," jawab Siska tertawa sembari menunjuk ke sebuah lipatan kertas di bawah piring croissant. Gadis belia itupun kembali ke balik meja bar.

Lana menggeleng-gelengkan kepala. Apakah karena seharian kemarin mereka tidak bertemu, perilaku Arga hari ini jadi terasa agak aneh dan lebih mesra padanya daripada biasanya? Lana pun membuka lipatan kertas itu, membaca perlahan-lahan tulisan di dalamnya.

Kelana yang kutemukan di tengah perjalananku

Adalah kelana terindah yang pernah kutahu

Bagaikan petualangan, ia begitu memabukkan

Serupa rumah, ia sungguh menenangkan

Jika tak sekarang,

Suatu hari hanya pada Kelana aku akan pulang"

Lana tersenyum membacanya. Dirasakannya wajahnya menghangat dan dadanya berdesir. Sejurus ia melihat ke arah meja bar. Dilihatnya ternyata Arga pun tengah memerhatikannya membaca kertas itu. Lana menepuk dada kirinya dengan tangan kanan, mengucap terima kasih melalui gerakan dan tersenyum pada Arga. Arga membalasnya dengan sebuah kecupan dari jauh dan kembali bekerja.

Lana pun kembali fokus kepada pekerjaannya. Sesekali mencuri pandang memerhatikan aksi Arga di balik meja bar; mengagumi keindahannya, menikmati gelombang yang diciptakan Arga di dalam dadanya...

***

Lana memeluk pinggang Arga erat ketika mereka berdua melaju di atas Vespa matic Arga, membelah tenangnya jalanan menjelang tengah malam, usai shift kerja Arga berakhir hari itu.  Sebelum mengarahkan Vespa-nya ke arah kos, Arga me ngajak Lana untuk membeli makanan.

"Kamu pengen makan apa?" tanya Arga sembari tetap fokus berkendara.

"Tengah malam gini, emang banyak pilihan?" jawab Lana.

"Nggak banyak, sih. Tapi kalau kamu bilang yang kamu pengen, nanti aku cari yang mungkin buka, "

"Mmm... Bubur ayam?" tawar Lana.

"Boleh, bubur ayam Mamang yang dekat kosanku aja ya," jawab Arga sembari mengarahkan kemudinya ke arah kos-kosan, tujuan akhir mereka malam ini.

Sesampai di kedai bubur ayam 24 jam dekat kos Arga, Lana dan Arga langsung memesan dua mangkuk bubur ayam spesial dan dua gelas teh tawar hangat. Sembari menunggu pesanan datang, keduanya asyik dengan ponsel masing-masing. Lana memeriksa pesan-pesan yang masuk di hp-nya. Salah satunya dari Bianca yang panik mengingatkan jadwal makan siang dan belanja saserahan mereka besok. Yang kedua dari Rei. Lana sempat tercekat membaca pesan dari Rei yang isinya adalah Rei yang tadi sempat menghampiri kos Lana dan mencari Lana untuk mengajak makan malam. Lana tak membuka handphone selama berada di coffee shop karena fokus dengan pekerjaan dan benar-benar menikmati waktunya bersama Arga.

Lana hendak membalas pesan-pesan tersebut tetapi kemudian bubur ayam pesanan mereka datang. Lana dan Arga pun meletakkan ponsel mereka dan menikmati bubur ayam di malam  yang dingin sehabis hujan itu, diselingi obrolan ringan hingga bubur dalam mangkok keduanya pun ludes.

Setelah membayar, Arga memacu Vespanya menuju kos yang jarak ya tak jauh lagi dari kedai bubur 24 jam. Membonceng Lana di belakangnya yang tiba-tiba disergap perasaan aneh akibat pesan Rei yang baru saja ia baca.

***

Lana mengganti dress biru dongkernya dengan kaos dan celana pendek milik Arga, kemudian bergegas naik ke atas tempat tidur Arga. Ia buru-buru membalas pesan Rei sementara Arga masih mengisap tembakaunya di balkon kamar. Ini memang aneh, tapi Lana merasa seperti sedang berselingkuh. Tapi, berselingkuh dari apa? Bukankah ia dan Arga tidak memiliki komitmen apa-apa? Begitu juga dengan Rei yang baru saja ia kenal.

"Maaf, Mas Rei... Lana tadi keluar ke tempat teman. Mas Rei nggak bilang, sih kalau mau ke tempat Lana... Next time bilang dulu ya, Mas..."

Tepat setelah Lana menekan tombol send, Arga memanggil Lana dari arah balkon. Lana pun beringsut dari atas tempat tidur dan berjalan ke arah Arga.

Angin malam bertiup semilir sejuk, menguarkan aroma air sisa hujan yang masih lekat terasa. Arga bersandar di pembatas balkon, membentangkan kedua lengannya menghadap Lana. Lana mendekat dan langsung menenggelamkan dirinya dalam dekapan Arga, mencoba melupakan gejolak yang tengah ia rasakan; perasaan berselingkuh itu...

Arga mendekapnya dengan hangat tanpa berucap sepatah kata pun, begitu juga Lana yang memejamkan mata menikmati ketenangan yang mengaliri dirinya.

Arga membalik posisi tubuh mereka, hingga kini tubuh Lana yang bersandar pada pembatas balkon. Arga menyelipkan jemarinya di kedua belah rambut Lana, menyisirnya perlahan sembari menatap wajah perempuan itu. Perlahan, wajahnya mendekat ke wajah Lana, membiarkan dahi dan hidung-hidung mereka menempel, bertukar udara hangat di antara keduanya. Lana merasakan tubuhnya meremang, ia memajukan wajahnya untuk mengecup bibir Arga, tetapi Arga menarik wajahnya menjauh. Lana pun kesal dibuatnya.

Arga tertawa kecil sambil mengecup dahi Lana. Tangan kanannya merogoh ke dalam saku celananya, ia mengeluarkan sebuah bungkusan kertas kecil berwarna cokelat. Arga mengangkat bungkusan itu tepat di depan wajah Lana. Lana pun mengernyitkan dahi.

"Apa ini, Ga?" tanya Lana bingung.

"Buka aja," jawab Arga.

Lana meraih bungkusan kertas kecil itu dan membukanya. Sebuah untaian tali berwarna biru tua dengan liontin berwarna keperakan berbentuk kompas.

Belum selesai kebingungan Lana, Arga mengambil untaian gelang tali itu dari tangan Lana dan meraih tangan kiri Lana. Ia memasangkannya di pergelangan tangan Lana.

"Kelana, kamu tempat yang sudah kupilih untuk pulang. Tapi kalau kamu masih ingin memastikan lagi dan melihat lebih banyak pilihan jalan yang terbentang, setidaknya ingat dan lihatlah ini saat kamu merasa sangat lelah, hilang dan tersesat; pulanglah padaku," ujar Arga sembari menggenggam tangan Lana dan menatapnya sungguh-sungguh.

Lana merasakan sesuatu seperti hendak melesak keluar dari dalam dadanya,disusul kedua matanya yang terasa panas dan mulai basah. Lana tidak mampu menjawab perkataan Arga. Perempuan itu hanya memeluk Arga dengan sangat erat. Membuat leher dan pundak Arga basah oleh air matanya.

Bulan separuh bersinar malu-malu di antara awan mendung. Dua anak manusia tengah berpelukan di bawah kelabu langit malam, berdansa bersama gelombang rasa yang menenggelamkan segala bahasa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status