Bagai ada bom yang dijatuhkan di depannya Ajeng terkesiap. Akhirnya kebusukannya tercium oleh Radev. Tapi perempuan itu tidak akan semudah itu mengakuinya.
“Surat pemecatan Starla? Ini kamu kok jadi nuduh aku sih, Dev?”
“Aku menuduh kamu bukan tanpa alasan. Aku punya bukti yang kuat untuk itu.”
“Bukti apa?” Ajeng mengerutkan dahi. Sementara jantungnya berdebar dengan kencang. Ia takut kalau Radev benar-benar akan menyuguhkan bukti yang tidak bisa disangkal.
Radev mengeluarkan ponsel dari saku kemudian menunjukkan bukti rekaman CCTV pada Ajeng.
“See? Kamu yang membuat surat itu dan menyuruh office boy untuk meletakkannya di meja Starla. Kamu kenapa sih, Jeng? Ada masalah apa dengan Starla?”
“Tahu dari mana kalau aku yang membuat surat itu? Bisa aja kan office boy itu yang ngarang cerita,” balas Ajeng yang belum mau mengaku.
“Buat apa dia ngarang cerita dan memfitnah kamu? Kamu itu tunangan aku, Jeng. Dia nggak akan seberani itu bawa-bawa kamu. Dia hanya karyawan biasa. Sedangkan kamu?”
Ajeng terdiam saat Radev mencecarnya. Perempuan itu kehilangan kata-kata untuk membela diri karena sudah terbukti bersalah. Namun, bukan Ajeng namanya jika secepat itu menyerah dan mengakui terang-terangan kesalahannya.
“Aku nggak sengaja ngelakuin itu, aku cuma mau menarik perhatian kamu, Dev, soalnya kamu terlalu sibuk belakangan ini.”
“Tapi apa yang kamu lakuin itu salah besar. Bukan begitu caranya menarik perhatian aku. Alasan kamu terlalu mengada-ngada, Jeng!”
Tahu kalau perkataannya tak mempan meyakinkan Radev, Ajeng yang belum kehilangan akal memasang wajah cemberut sambil bergelayut manja di lengan Radev.
“Maafin aku ya, aku nggak tahu gimana lagi caranya menarik perhatian kamu. Jadi hanya itu satu-satunya cara yang kupikir paling tepat.”
“Lain kali kalau mau ngelakuin sesuatu dipikirin dulu apa akibatnya. Kalau sudah begini kan repot.” Setelah berkata begitu Radev menarik tangannya yang terkait dengan lengan Ajeng sehingga membuat perempuan itu cemberut.
Ajeng tidak tahu entah kenapa jadi serius begini. Hanya karena masalah Starla yang hanyalah orang biasa Radev sampai semarah itu padanya. Padahal jelas-jelas Ajeng adalah tunangan laki-laki itu.
“Eh, ada Radev. Sudah lama, Dev?” Tiba-tiba Regina yang merupakan ibunya Ajeng muncul dari dalam rumah.
“Belum terlalu lama, Tante,” jawab Radev berusaha agar tetap bersikap sopan walau saat ini suasana hatinya amat sangat buruk.
“Kenapa ngobrol di luar? Masuk yuk! Kamu juga, Jeng, kenapa Radev nggak diajak masuk?”
“Radev-nya nggak mau, Mi.”
“Kebetulan aku nggak terlalu lama, Tante. Ini juga mau pulang,” sela Radev lalu melirik arlojinya. “Udah malam, pamit dulu ya, Tante.”
“Hati-hati, Dev.”
“Dev, kamu lupa sesuatu!” Ajeng memanggil saat Radev sudah menarik Langkah. Perempuan itu menempelkan telunjuk ke pipinya begitu sang tunangan menoleh. “Kamu lupa cium aku.”
Radev membuang napas pelan. Ia tidak ingin melakukannya. Tapi karena ada calon mertuanya di sana dan Radev tidak mau pertengkarannya dengan Ajeng terbaca, maka ia terpaksa mencium pipi perempuan itu sekenanya.
Ajeng tersenyum semringah lalu membalas kecupan Radev. “I love you, Dev,” bisiknya manja.
Radev menjawab dengan gumaman tidak jelas.
Sampai larut malam Radev belum bisa memejamkan matanya. Rasa kesal di hatinya belum juga hilang. Kesal pada Ajeng yang sudah menjahati Starla dan juga jengkel setengah mati atas apa yang dilakukan mantan asistennya itu di klub tadi.
Tidak seharusnya Starla menjual diri, berkencan dengan lelaki hidung belang. Seharusnya Starla bisa menunggunya dulu untuk memvalidasi kebenaran isi surat itu.
Cukup lama Radev membolak-balikkan badan mengganti posisi berbaring, tapi tetap saja matanya enggan terpejam. Ranjang mewahnya yang empuk bagaikan ditabur duri sehingga membuat punggungnya terluka.
“Damn, kenapa jadi nggak bisa tidur?” keluhnya.
Turun dari pembaringan, diambilnya ponsel. Jarinya menggulir daftar kontak lalu berhenti saat menemukan nama Starla. Radev berpikir sesaat. Akan menelepon atau tidak. Ia harus tahu bagaimana keadaan Starla saat ini. Apa gadis itu sudah kembali ke rumah atau masih tenggelam di dalam hingar-bingar klub.
‘Nggak, nggak, dia bisa besar kepala kalo gue telfon.’
Radev mengurungkan niatnya menghubungi Starla.
‘Tapi gimana kalau ternyata dia masih belum pulang? Tempat itu nggak aman buat dia,’ bisik hatinya lagi.
Selama bermenit-menit Radev berperang dengan batinnya sampai merasa pusing sendiri. Untuk pertama kalinya ia memikirkan Starla sampai sekhawatir ini. Entah kenapa.
***
Cahaya matahari yang mencuri masuk melalui sela-sela vertical blind menerpa wajah Radev. Lelaki itu menggeliat. Perlahan kelopak matanya terbuka. Bersamaan dengan itu dering vintage dari ponsel merayap masuk memenuhi gendang telinganya.
Dengan matanya yang berat Radev melihat tulisan ‘Mami’ di layar.
“Halo, Mi,” sapanya dengan suara khas bangun tidur.
“Kamu di mana, Dev?”
“Masih di apart, Mi.” Lelaki itu menjawab sambil menguap.
“Udah jam berapa ini? Kamu nggak ngantor?”
Waktu menunjukkan pukul sebelas siang saat Radev mengarahkan matanya pada jam digital di nakas. Decakan kecil meluncur dari bibirnya. Semua ini gara-gara Starla. Sejak Starla berhenti jadwalnya kacau. Biasanya Starla datang hampir setiap pagi hanya untuk membangunkan dan memilihkan pakaian yang harus dipakai hari itu.
“Dev, kamu dengar Mami bicara?”
Suara maminya membuat Radev tersentak. Sempat-sempatnya dirinya melamunkan Starla saat sedang menelepon.
“Iya, Mi, bentar lagi.”
“Sebelum ke kantor ke rumah dulu.”
“Ada apa, Mi?” tanya Radev penasaran. Tidak biasanya ibunya itu meminta datang pada jam segini. Radev memang tinggal terpisah dengan orangtuanya. Selain lebih dekat dengan kantor, ia juga merasa nyaman tinggal sendiri di apartemen ketimbang di rumah bersama orangtuanya.
“Ada yang penting mau Mami omongin sama kamu.”
“Yang penting itu apa, Mi? Nggak bisa via telfon aja?” Radev terlalu malas jika harus ke rumah itu dulu.
“Pokoknya kamu ke sini dulu,” jawab si Mami berahasia.
Radev mengesahkan napas lalu dengan terpaksa menyanggupinya. “Iya, Mi, nanti aku ke rumah.”
“Jangan nanti-nanti, tapi langsung ke rumah. Mami tunggu secepatnya.”
“Iya, Mi, setelah mandi aku ke sana. Ini baru bangun banget.”
Setelah percakapan via telepon tersebut selesai Radev tidak langsung bangkit dari tempat tidur. Mantan asistennya mengisi pikiran Radev. Radev benar-benar butuh Starla. Ia harus bisa membuat gadis itu kembali bekerja dengannya bagaimanapun caranya.
***
Bentley hitam itu berhenti di sebuah rumah mewah bertingkat tiga. Pagar otomatis membuka memberi jalan. Dengan transisi yang mulus kendaraan roda empat itu berbelok lalu berhenti di halaman.Tak lama pintu terbuka, menampakkan sosok Radev yang keluar dari dalamnya. Ia memang lebih suka menyetir sendiri ke mana-mana ketimbang menggunakan tenaga supir, walau dirinya memiliki supir pribadi. Lelaki itu tampak begitu segar. Setelan jas mahal yang membalut tubuhnya memberi kesan profesional yang tidak dibuat-buat.Dengan sebelah tangan berada di dalam saku celana pria itu berjalan ke rumah orang tuanya.Radev tidak menemukan siapa-siapa di rumah besar itu sehingga ia pun bertanya pada asisten rumah tangga yang ditemuinya.“Mami mana, Bi?”“Ada di belakang, Mas Radev.”Radev pergi tanpa berkata apa pun. Ia menemukan ibunya itu sedang berada di ruang makan. Tidak sendiri, ada perempuan muda bersamanya. Ajeng, sang tunangan.“Coba deh, Jeng, kamu bayangin, masa Radev jam sebelas masih tidur. K
Starla tidak langsung memberi jawaban. Berbagai tanya berkumpul di kepalanya.Dari mana sahabat mantan atasannya itu mendapat nomor Starla? Lantas apa tujuannya mengajak bertemu?“Bapak tahu nomor telfon saya dari mana? Bertemu untuk apa, Pak?” Starla menyuarakan kumpulan pikiran di benaknya.“Nanti akan saya jelaskan setelah kita meet up. Saya tunggu ya, setelah ini saya share loc.”“Baik, Pak.” Starla terpaksa mengiakan karena ia merasa penasaran pada tujuan Bjorka.Setelah panggilan tersebut berakhir Starla segera bersiap-siap. Ia tidak ingin terlambat. Tidak enak kalau Bjorka sampai menunggu terlalu lama.Keluar dari kamar, Starla berpapasan dengan ibu tirinya. Perempuan itu menatapnya tajam setelah memindai dari puncak kepala hingga ujung kaki.“Kamu mau ke mana?”“Ke luar sebentar, Tante.”“Ke luar?” Mayang menyipit mengulangi perkataan Starla.“Hanya sebentar, nanti aku akan langsung pulang.”“Keadaan genting begini kamu masih bisa mikirin main dan hangout di mall?”“Aku bukan
Baru berpisah selama lebih kurang tiga minggu tapi rasanya seakan tiga tahun tidak bertemu. Radev benci mengakui kalau dirinya merindukan Starla atas alasan yang tidak mampu ia jelaskan.Apa? Kangen?Gila kali gue kangen sama Starla.Radev menolak keras perasaaan itu. Ia tidak mungkin merindukan Starla. Memangnya siapa dia? Apa kelebihannya? Selain cantik tentu saja, lalu baik, lalu sangat mengerti Radev. Lalu …Arghhh …Kenapa juga dirinya mengurai satu demi satu poin positif gadis itu?Radev baru menyadari bahwa Starla tidak datang sendiri. Ada Bjorka sedang berdiri di sisi pintu. Temannya itu mengedipkan sebelah mata seakan ingin mengatakan, ‘mission complete.’Radev melempar senyum samar sebelum Bjorka pergi dari sana. Pria itu dengan kilat menyimpan senyumnya lalu mengganti dengan raut dingin seperti biasa saat menyadari ada Starla yang saat ini sedang berdiri di depannya. Starla tidak boleh tahu kalau Radev begitu mengharapkan gadis itu kembali.“Duduk,” suruhnya pada Starla.Pa
Starla terpaksa duduk di kursi yang berada tepat di hadapan Radev. Ia baru tahu kalau tadi pria itu menyuruhnya membeli dua porsi bukanlah untuk dihabiskan sendiri, tetapi juga untuk Starla.Ini bukanlah untuk pertama kalinya Starla menemani Radev makan. Mereka sering makan siang bersama, entah itu di restoran, di café, saat meeting bersama klien ataupun di saat dan di tempat-tempat random lain. Namun, entah mengapa atmosfir kali ini terasa berbeda.Starla pikir Radev akan mengizinkannya kembali ke ruangan setelah makan siang. Nyatanya lelaki itu meminta Starla tetap berada di ruangannya. Tidak ada yang dilakukan Starla. Ia hanya duduk diam menemani Radev, sementara lelaki itu asyik sendiri dengan ponselnya. Radev seakan menganggap Starla tidak ada di sana.Hampir setengah jam berlalu dan pria itu tidak memberi instruksi apa pun pada Starla hingga Starla merasa tidak tahan untuk tetap bungkam.“Pak, ada yang bisa saya kerjakan?”Radev tidak merespon. Lelaki itu tetap terpaku dalam gaw
“Starla, kamu nggak dengar saya bicara?” tegur Radev pada Starla yang masih berdiri tegak di hadapannya.“Dengar, Pak,” jawab Starla kelu.“Lalu tunggu apa lagi?” Radev melebarkan pintu kamar mandi agar gadis itu bisa masuk. “Masuk!”Starla menyeret langkah berat memasuki area kamar mandi. Ia hampir tidak mampu menatap Radev yang saat itu hanya menggunakan selembar handuk untuk melapisi tubuhnya.Starla dan Radev sama-sama berdiri menyamping berhadapan di depan kaca wastafel. Lelaki itu menyuruh agar Starla segera mulai mencukur facial hair-nya.Dengan tangan gemetar Starla mengoleskan shave cream ke bagian rahang, dagu, serta bagian atas bibir Radev. Ini adalah pengalaman pertama Starla. Dan ia tidak tahu kenapa lelaki itu menyuruh melakukannya.Setelah krim tersebut terpulas secara merata Starla mulai menyapukan pisau cukur dengan hati-hati. Ia takut teledor yang akan melukai kulit Radev.Sementara Starla bekerja, Radev terus mengawasi dengan sepasang matanya. Cara laki-laki itu men
“Makasih, Pak Radev,” ucap Starla pelan.Radev tidak memberikan respon apa pun. Entah itu jawaban melalui kata-kata atau sekadar anggukan kepala. Lelaki itu berlalu pergi begitu saja meninggalkan Starla yang berdiri terpaku di depan pintu rumah. Padahal Starla ingin menawarkan pada Radev untuk mampir dulu.Starla tersentak Ketika mendengar suara petir menggelegar. Entah berapa lama dirinya berdiri sendiri memikirkan sikap Radev yang begitu manis malam ini. Bahkan terlalu manis untuk ukuran seorang Radev yang sehari-hari begitu dingin dan tidak pernah memerhatikan Starla.Starla membuka pintu rumah dan ia langsung disambut oleh Mayang dan Tantri yang sudah menunggunya sejak tadi.“Mana uangnya?” Mayang menengadahkan tangan pada Starla.“Uang apa, Tante?”“Lo nggak usah pura-pura bego deh, La,” sela Tantri yang berdiri di sebelah ibunya.“Aku baru aja diterima, nggak mungkinlah langsung gajian.”“Terus semesteran gue gimana? Lo beneran mau bikin gue malu?”Starla mengembuskan napas pela
“Pagi, Mbak Ajeng,” sapa Starla ramah setelah berhasil meredakan rasa kagetnya. Tidak hanya karena bertemu Ajeng sepagi itu di apartemen Radev, namun juga karena jenis pakaian yang digunakan perempuan itu. Ajeng mendengkus pelan lalu memandang Starla tidak suka. “Mau apa?” tanyanya ketus.“Saya mau ketemu Pak Radev. Semalam dia menyuruh saya ke sini.”“Apa?” Ajeng mengerutkan dahinya. “Buat apa Radev menyuruh kamu ke sini?”“Saya mau menyiapkan perlengkapan Bapak, Mbak.” Starla menjawab apa adanya sesuai yang dikatakan Radev kemarin.“Bukannya kamu udah dipecat ya?”“Saya sudah kerja lagi, Mbak.”“Kok bisa?” Ajeng menaikkan intonasi suaranya. Dadanya berkecamuk. Bagaimana mungkin ia tidak tahu hal sekrusial ini?“Saya bicara sama Pak Radev dan minta kesempatan satu kali lagi. Pak Radev menerima saya.”‘Kok Radev nggak bilang sama aku?’ Ajeng membatin menahan emosi.“Sejak kapan kamu kembali jadi asisten Radev?” tanyanya lagi pada Starla.“Sejak kemarin. Maaf, Mbak Ajeng, saya sudah b
“Starla sakit? Dia di rumah sakit mana?” buru Radev cepat.“Saya juga nggak tahu di rumah sakit mana, Pak, tapi tadi katanya izin mau ke rumah sakit.”Radev merogoh saku lalu mengambil ponsel dari sana. Sambil berjalan masuk ke ruangannya ia bermaksud menelepon Starla. Tapi sebelum panggilan tersambung Radev mengurungkan niatnya. Starla bisa besar kepala kalau Radev terkesan memerhatikannya.Alhasil lelaki itu mondar-mandir sendiri di ruangannya dengan perasaan khawatir sambil mengira apa yang terjadi pada asistennya itu.‘Ngapain juga gue mikirin dia. Apa urusannya gue sampe secemas ini. Memang siapa Starla? Nggak lebih dari seorang asisten biasa.’ Pria itu berkata di dalam hati untuk menenangkan dirinya sendiri.Starla memang jarang sakit, tapi bukan berarti tidak pernah. Namun, Radev merasa biasa saja. Ia bahkan tidak memerhatikannya. Radev hanya peduli pada pekerjaan yang ditangani Starla harus selesai dengan baik.***Sudah berjam-jam Starla berada di rumah sakit. Tadi saat sedan