Share

Mengecewakan

Aku masih memelototi status itu, sudah diunggah satu jam yang lalu, bagaimana mungkin Mbak Ratna bisa berpikir pendek padahal ia lulusan Universitas, beda denganku yang hanya lulusan SMA, di mana pikirannya hingga ia tega menjadikan hubungan persaudaraan kami jadi konsumsi publik.

Kalau aku membalas status itu malah takut tambah runyam dan dia mengunggah percakapan kami lagi. Sudahlah biarkan saja, yang harus kupikirkan sekarang adalah bagaimana kalau Mas Aksa membacanya?

Masih belum selesai berpikir apalagi menemukan solusi, ponsel sudah berbunyi nyaring, aku sampai terkaget dan menjatuhkanya ketika nama yang memanggil adalah Mas Aksa.

‘Ah aku benar-benar tamat!'

[Hallo, Mas?]

[Kamu dimana?]

[Di rumah Mas,] jawabku gugup.

Lalu, ponsel di matikan.

Yasalam, kenapa aku begitu polos dan b*d*h! kenapa juga harus bilang di rumah, dia pasti pulang menanyaiku sekarang. Ayolah berpikir Hilya, sebaiknya alasan apa yang kamu berikan pada Mas Aksa!

“Assalamualaikum.”

Deg! Hatiku langsung bergemuruh hebat, aku benar-benar akan berakhir.

“Assalamuailaikum,” ucapnya lagi sambil mengetuk pintu.

“Iya,” jawabku cepat, berlari untuk membuka pintu.

Di belakang pintu aku kembali termenung, masih berpikir apakah aku bisa menahan amukan Mas Aksa jika dia sudah tahu yang sebenarnya?

Tok! Tok! Tok! Pintu kembali diketuk dengan keras.

Perlahan aku membukanya sembari menutup mata, tak sanggup hati menatap sorot mata Mas Aksa yang diliputi kemarahan.

Kreeeeeek ... pintu kutarik dari dalam.

Brugh! Seseorang tiba-tiba menghambur dalam pelukan, “Mbak Hilyaaaaa,” teriaknya nyaring.

“Hah!" mataku mengintip, kemudian membukanya lebar.

Seketika wajah berseri-seri, rupanya Ulfa_adik Mas Aksa yang datang berkunjung.

“Kamu kemana saja Ulfa, tidak pernah menjenguk Mbak?” tanyaku padanya dengan wajah cemberut.

“Ibu melarang Ulfa untuk berkunjung." Belanya.

“Kenapa?” tanyaku heran seraya mengapit lengannya untuk duduk di kursi. Aku sangat bahagia Ulfa datang, bukan hanya karena rindu, tapi karena sepertinya aku akan selamat hari ini, Mas Aksa tidak akan berani menghukumku kalau ada adiknya di rumah.

“Kata Ibu, kalian harus dibiarkan berdua supaya buat dedeknya tidak terganggu,” ucap Ulfa dengan mengedipkan manja.

“Ih, apaan sih?” cubitku pada pinggangnya.

Ulfa hanya beda satu tahun denganku, dia baru saja lulus SI bulan lalu, tapi nasib kami jelas berbeda, di usia 21 tahun aku dipaksa Ibu harus menikahi Mas Aksa dan melepaskan cinta beserta cita-citaku, sebenarnya aku ingin ikut kursus menjahit, dari kecil aku sangat suka mendesain pakaian dan ingin belajar membuatnya, tapi Ibu tidak pernah memberiku peluang untuk itu.

“Mbak ambilkan air putih ya?” ucapku hendak berlalu. Tapi, kening Ulfa berkerut.

“Aku mau sirup dingin saja Mbak,” tolaknya.

“Hm?” aku terdiam, mana ada sirup di sini, minuman kemasan pun tidak ada. Mau beli pun tak punya uang.

“Mbak nggak punya sirup Fa, air putih sajalah lebih sehat,” ujarku.

Tapi, Ulfa menggeleng lagi, “Aku ingin yang segar-segar Mbak,” sanggahnya lagi.

“Di warung pasti ada mbak, nggak mau belikan buat aku?” tanyanya tanpa basa-basi. Ulfa memang menganggapku seperti kakaknya sendiri, ia tak pernah sungkan bertanya, ataupun meminta.

Aku menggaruk kepala yang tak gatal, “Boleh Mbak pinjam uang kamu dulu nggak buat membelinya, tadi pagi Mas Aksa lupa memberi Mbak uang,” ucapku pelan dan ragu.

“Oalah, Mbak Hilya tidak punya uang?” tanyanya sambil tertawa. Lalu, Ulfa mengeluarkan uang satu lembar berwarna merah. Tak sengaja kulihat dompetnya tebal dengan lembaran berwarna merah.

“Ulfa, banyak sekali uangmu?” tanyaku masih terkesima.

“Aku baru dapat pekerjaan baru, Mbak,” wajahnya nampak berbinar.

“Wih, hebat benar dirimu, Fa." Tepukku pada lengannya saat ia menyodorkan uang itu.

Aku bergegas ke warung dan membeli minuman yang diminta Ulfa beserta jajanan untuk bekal dia selama di rumah.

“Buanyak benar Mbak belanja?” mata Ulfa melotot melihat aku membawa satu kantong makanan rencengan.

“Buat stokmu, bukannya kamu suka ngemil?” jawabku sembari membuka satu persatu makanan itu dan menyimpannya di atas meja.

Mataku berbinar melihat banyak makanan, jarang sekali aku melihat makanan sebanyak ini di rumah.

Ulfa mulai meminum sirup pesanannya, dan membuka beberapa cemilan.

“Mas Aksa masih bersikap dingin Mbak?” tiba-tiba pertanyaan Ulfa menghentikan aktivasku dari mengunyah. Sangat tidak baik jika aku membeberkan keburukan Mas Aksa pada adiknya sendiri, Ulfa bisa memberitahu ibu dan nanti dia mengomel pada Mas Aksa. Hasil akhirnya, sudah dapat dipastikan aku juga yang kena amuknya.

Ulfa terlihat memperlambat tangannya dari mengambil makanan demi mendengar jawabanku, “Ya begitu saja kakakmu, masih sama,” jawabku pelan.

Ulfa tidak lagi melajutkan pertanyaan dan memilih topik yang lain, dia memang paling peka terhadap kondisi keluargaku dan Mas Aksa, tapi aku belum berani jika harus mengadu kebiasaan buruk kakaknya.

‘Bukankah istri itu pakaian buat suaminya, begitu pun suami buat istrinya, kami harus saling menjaga aib pasangan dan keluarga, meski sikap Mas Aksa sangat jelek, tapi selama ini ia tidak pernah menyuruhku untuk berbuat buruk, jadi aku masih punya kewajiban untuk taat dan menghormatinya.’

“Assalamualaikum,” ucap Mas Aksa cepat dan tubuhnya sudah nampak di hadapan kami.

Aku sampai langsung berdiri dari duduk saking kagetnya, merapihkan baju yang kotor kena kulit kwaci.

“Mas sudah pulang?” tanyaku gugup. Sedang Mas Aksa masih menatap Ulfa, lalu menatapku.

Ulfa mengulurkan tangannya hendak menyalami Mas Aksa, tapi ia bersikap dingin, tumben sekali. Ada apa? apa mungkin karena masalah uang itu hingga Mas Aksa marah pada semua orang.

“Kapan kamu akan pulang?” tanyanya sembari berjalan ke kamar.

“Baru juga datang Mas, kenapa sudah bertanya kapan pulang?” tanya Ulfa terlihat heran dengan sikap kakaknya.

“Aku tidak mau kamu dekat-dekat Hilya!” jawabnya lagi.

Aku menghampiri Mas Aksa dan menariknya ke kamar, sebegitu burukkah aku hingga tidak ada yang boleh mendekatiku? kalau dia berkata seperti itu hanya karena uang satu juta, keterlaluan!

“Mas, kenapa berkata seperti itu pada adikmu sendiri, apakah aku begitu buruk hingga tidak boleh didekati?” cerocosku. Biasanya aku selalu mengalah dengan sikapnya, tapi kali ini sikapnya tidak enak didengar dan dipandang, kalau hanya masalah uang satu juta itu biarlah aku ganti saja. Aku baru saja mendadak mendapat ide untuk berani mengakui kesalahan, baru ingat juga ternyata aku masih punya harta satu-satunya, emas 10 gram pemberian Mas Aksa sebagai mahar dipernikahan kami.

“Aku ingin dia cepat pulang!" ucapnya lagi, masih terlihat gurat emosi dari ucapan itu.

“Tapi, kenapa Mas? kalau hanya gara-gara uang satu juta itu akan bertanggung jawab,” jawabku lantang.

Mas Aksa mengerutkan dahinya, “Kamu tahu soal uang itu?” tanyanya balik.

Aku kehilangan kata, ‘Yaelah, ternyata aku benar-benar b*d*h, mengakui kesalahan sendiri, padahal Mas Aksa sama sekali tidak mencurigainya?’

“Bukannya itu yang membuatmu menginginkan Ulfa untuk pergi dari rumah, agar kamu bebas menghukumku?” ucapku sendu.

“Bukan! tapi karena kamu sudah mengaku, aku ingin mendengar penjelasannya,” jawabnya tegas.

Yasudahlah, aku memang bersalah, tidak enak pula hidup dikejar-kejar dosa seperti ini. Aku tertangkap dengan tingkah konyolku sendiri, mengecewakan!

Bersambung .....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yeni Sipayung
aduh bodoh bgt sih neng!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status