"Ayo, kenapa diam saja? Balas kata-kataku, Najwa! Bukankah kamu sangat pandai berdebat akhir-akhir ini?" desak Bian sambil mendorong bahu Najwa hingga wanita itu melangkah mundur.Najwa masih belum mau membuka suara. Hanya sepasang matanya yang dihiasi kaca-kaca tipis itu yang menatap Bian tak kalah nyalangnya."Kalau punya mulut itu, dipake, Najwa! Ayo, jawab pertanyaan ku! Kenapa kamu memberi Ibuku batu untuk dimakan? Kenapa?" teriak Bian dengan keras tepat didepan wajah Najwa."Apa kamu sengaja ingin menghinaku? Iya?" lanjut Bian emosi.Karena Najwa masih terus membisu, telapak tangan Bian pun reflek terangkat. Niatnya, ingin menampar mulut Najwa."Cukup! Berhenti!" lirih Najwa dengan suara penuh penekanan.Tangan Bian terhenti di udara. Lelaki itu menelan ludah, saat menatap mata Najwa yang begitu tajam menantang matanya."Aku peringatkan padamu, Mas! Jika kamu berani menyakiti fisikku sekali lagi, maka aku nggak akan segan-segan untuk melaporkan kamu ke polisi!""Argghhh!!!" Bian
"Silakan duduk, Mas!" ucap Najwa mempersilakan.Bian masih berdiri kaku. Aura Najwa malam ini, berhasil mendominasi keadaan dan membuat Bian menjadi takut."Kenapa masih berdiri di situ? Mas mau kita bicara sambil berdiri?"Reflek, Bian menggeleng. Lekas, lelaki itu mendudukkan bokongnya di sofa yang berseberangan dengan tempat duduk Najwa."Wa, Mas minta maaf soal yang tadi," ucap Bian penuh penyesalan."Ya, nggak apa-apa. Toh, aku juga udah biasa kamu maki-maki, kan? Lupa, bagaimana dulu kamu selalu memarahi aku hanya karena aduan nggak benar dari Ibu kamu? Bahkan, ketika kamu tahu bahwa apa yang Ibu kamu katakan adalah sebuah kebohongan, kamu tetap saja memarahi aku tanpa sedikitpun rasa kasihan.""Untuk yang dulu-dulu, Mas juga minta maaf, Wa!" Bian menundukkan kepala. Menyesal.Waktu terasa lambat berjalan. Pergerakan jarum jam, detik demi detik, terdengar begitu jelas di rungu Bian."Mas... aku mau kamu pindah dari sini."Degh!Tubuh Bian bagai tersambar petir mendengar perminta
Bian kembali ke kamarnya dengan langkah lunglai. Mendadak, seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia seolah kehabisan tenaga.Bayangan masa depan suram, terus berkelebat di dalam benaknya. Niat beristri dua agar semakin bahagia, namun kenyataannya malah berakhir nelangsa.Padahal, selama ini Bian sudah membayangkan betapa indahnya beristri dua. Ada Najwa yang bisa mengurus Ibu, rumah serta memasak makanan yang enak setiap hari, serta ada Salma yang pandai memuaskan dirinya diatas ranjang serta lihai menggodanya setiap waktu.Sungguh! Betapa nikmatnya hidup Bian andai semua itu dapat terwujud dengan baik."Mas, kamu darimana, sih? Aku cariin loh, daritadi," tanya Salma yang baru saja memasuki kamar.Wanita itu sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk. Dia baru selesai mandi karena Bian terus memprotes bau badannya yang sangat menyengat."Habis ngobrol sama Najwa," jawab Bian."Kok mukanya lesu, gitu? Mbak Najwa menolak mengurus Ibu lagi, ya?""Lebih parah dari itu, Salma!""Maksudnya?" tan
"Mas, ini maksudnya apa? Siapa Syamsul Adji?"Wajah Salma mulai terlihat memerah. Dia akan sangat marah besar andai Bian terbukti telah berbohong selama ini."JAWAB, MAS!" hardik Salma penuh emosi."Syamsul Adji nama kakekku. Iya kan, Mas?" celetuk Najwa sambil mengambil kembali berkas ditangan Salma."Apa benar, itu nama kakeknya Mbak Najwa, Mas?" tanya Salma lagi.Bian menundukkan kepalanya. Ah, akhirnya kebohongan yang selama ini berusaha dia tutupi dengan rapat, terungkap juga."I-iya," angguk Bian dengan ragu."Mas!!!" pekik Salma emosi. Dia merasa sangat kecewa dengan semua kebenaran yang satu per satu mulai terkuak. "Jadi, rumah ini juga milik Mbak Najwa? Terus, kamu punya apa, Mas? Kamu punya apa?" Suara Salma kian melengking."Kalau mau bertengkar, lebih baik diluar saja! Aku mau istirahat!" ujar Najwa menengahi.Namun, sepertinya indra pendengaran Salma sedang tidak berfungsi. Buktinya, wanita itu tetap berdiri tegak di tempatnya tanpa bergeser seinci pun."M-Mas punya mobi
"Kamu kan sudah dapat pemasukan dari hasil panen sawah kamu di kampung, Wa! Kenapa masih harus kerja?"Terus terang, sekarang Bian sangat gelisah. Dia tak rela jika Najwa bekerja dengan penampilan secantik dan seanggun itu.Bagaimana jika ada lelaki yang menginginkan istrinya diluaran sana?"Tentu itu berbeda, Mas! Aku harus cari kesibukan untuk menyenangkan diri aku sendiri. Sudah cukup, selama ini aku membuang-buang waktu dengan mengabdi pada orang yang salah.""Tapi, Mas belum kasih ijin, Wa! Kamu bahkan nggak cerita apa-apa sama Mas dan malah mengambil keputusan sendiri.""Kamu juga nggak cerita apa-apa waktu nikah diam-diam sama Salma."Lagi-lagi, Najwa membalikkan kata-kata Bian."Kasusnya berbeda, Wa! Di dalam agama, lelaki boleh menikah lagi tanpa izin dari istri pertamanya. Tapi, istri yang bekerja tanpa ridho suami, hukumnya dosa!"Najwa memejamkan matanya rapat-rapat. Jika soal membenarkan perbuatannya dan menyalahkan Najwa, Bian selalu membawa-bawa dalil agama."Mana yang
"Wa, ikut saya sama Oliv makan siang, yuk!" ajak Halimah pada Najwa yang masih terlihat fokus pada pekerjaannya."Tapi, Bu... Saya...,""Udah," Halimah menghela tangannya ke udara. "Soal kerjaan mah nanti lagi. Yang paling penting itu, isi tenaga dulu! Biar kerjanya bisa lebih fokus."Najwa tampak menimbang-nimbang. Pada akhirnya, Najwa pun setuju untuk ikut dengan sang atasan dan juga seniornya itu.Begitu sampai di salah satu restoran, Halimah langsung memesan ruangan VIP agar acara makan siang mereka tidak terganggu.Tentu saja, Najwa sangat menikmati momen tersebut. Rasanya, sudah sangat lama dia tidak tertawa dan makan dalam suasana sebahagia ini."Bu, saya izin mau ke toilet sebentar, boleh?""Oh, silakan! Saya sama Olivia akan tunggu di mobil saja.""Terimakasih, Bu!"Ketiganya pun berpisah. Najwa terburu-buru ke toilet, sementara Halimah dan Olivia menunggu di mobil yang berada di parkiran resto
"Mempermalukan? Maksudnya, gimana, sih?" tanya Bian kebingungan. "Mas nggak ngerti.""Mbak Najwa menuduh aku pencuri di depan teman-teman aku, Mas!" jawab Salma."Teman-teman kamu? Kok bisa? Memangnya, kalian kapan ketemunya?"Duh! Sepertinya Salma terlalu gegabah dalam mengambil keputusan. Jika sudah begini, bisa-bisa malah dirinya yang akan dimarahi karena meninggalkan Bu Jannah seorang diri di rumah."Tadi siang, di tepi sawah resto, Mas!" jawab Najwa mewakili."Tepi sawah resto? Kok, kamu bisa sampai di sana, Salma? Terus, Ibu sama siapa pas kamu tinggal? Sendirian?" Bian menatap istri keduanya dengan tatapan tajam."I-itu... Aku udah ijin kok sama Ibu sebelum pergi," cicit Salma beralasan."Jangan bohong!" hardik Bian.Urusan keselamatan dan kenyamanan sang Ibu, Bian tak pernah mau toleransi dengan siapapun itu. Termasuk, Salma sekali pun."Beneran, Mas! Kalau nggak percaya, Mas bisa tanya Ibu, kok.""Oke, aku akan tanya Ibu," angguk Bian yang cepat-cepat melangkah menuju ke kama
"Mana sertifikat rumahnya, Sayang?"Bian sudah tak sabaran. Secepatnya, dia harus mendapatkan uang supaya bisa melunasi biaya operasi sang Ibu."Ini, Mas," kata Salma. Ditangannya terdapat sebuah map berwarna merah.Bian dengan mata berbinar hendak mengambil map tersebut. Namun, Salma malah dengan sengaja menjauhkan benda tersebut dari jangkauan Bian."Sebelum Mas ambil sertifikat ini, Mas harus janji dulu!" ucap Salma mengajukan syarat."Janji apa lagi sih, Sayang?""Mas cuma boleh mengambil uang sesuai dengan kebutuhan biaya rumah sakit Ibu. Selebihnya, harus Mas setor semua sama aku."Pria di hadapannya menghela napas panjang. "Itu sudah pasti, Sayang! Pokoknya, berapa pun sisanya, akan Mas berikan semua sama kamu."Wajah Salma tersenyum cerah. Dia sudah membayangkan akan melakukan banyak hal jika uang sudah berada di tangan.Shopping, perawatan dan mungkin liburan. Semuanya sudah tertata rapi dalam rencana menyenangkan Salma."Ya udah, Mas! Berangkat sekarang, yuk!""Ayo."Suami i