Share

Bab 5 : Wawancara Di Pinggir Jalan

Ini pertanyaan yang membuat telinga Malik dan Ilbi tegak waspada. Keduanya berdiri di teras dan berusaha tak terlalu kentara memperhatikan wawancara yang berjarak sekitar tak lebih dari lima meter tersebut dari tempat mereka berdiri.

Truk tronton panjang yang berderu menjedakan beberapa detik untuk Jumali menjawab.

“Di dalam posko, saya sedang duduk di satu bangku depan TV. Kira-kira selesai azan isya Saba datang dengan basah kuyup dan celana penuh dengan tanah.

Saya tanya dari mana, habis beresin pagar jaring ikan katanya.

"Dia sempat mengomel bahwa pekerja sif malamnya tidak berguna di saat darurat begini, jangankan membantu untuk mengecek kondisi kolam di waktu terang, si pekerja malah tidak datang malam ini dengan alasan mengatur perabot rumahnya yang mulai terendam banjir.

"Setelah habis bicara begitu dia menghampiri Nurah yang sedang memasak bandrek dengan dandang besar. Nurah dan kompornya berada kurang lebih satu meter di belakang saya, jadi saya agak mendengar apa yang dikatakan almarhum Saba.

"Dia menitipkan botol minumnya dan berpesan pada Nurah untuk memasukkan bandrek jika selesai memasaknya. Dia tak mau tak kebagian karena mau pulang ke rumah sebentar untuk mandi dan makan.

"Kira-kira dua puluh menit atau mungkin setengah jam, saya tak ingat, Nurah dan Sasmita juga seorang remaja tanggung bernama Akbar saling membantu memindahkan bandrek ke ceret dan cangkir-cangkir termasuk juga botol yang tadi dititipkan Saba.”

Si reporter menyela. “Maaf saya potong, siapa yang memegang botol minum Saba dan menuang bandrek ke dalamnya?”

Cukup merepotkan mengadakan wawancara di pinggir jalan raya. Reporter itu bertanya sambil mengibaskan ujung jilbab saat asap knalpot dari truk pengangkut kayu gelondongan menerpa wajahnya. Jumali juga menangkupkan tapak tangan kanannya ke area mulut.

“Sasmita,” jawab Jumali singkat lalu menangkupkan tangan lagi ke mulutnya. Kali ini asap dari knalpot truk pengangkut sawit.

Malik dan Ilbi saling melirik. Si reporter lalu mengajukan pertanyaan krusial.

“Jadi Bapak melihat saat Sasmita menyentuh botol itu. Apakah Bapak melihat di saat itu, Sasmita melakukan sesuatu yang aneh? Misalnya selagi menuangkan bandrek ke botol, dia juga memasukkan sesuatu?”

“Tidak. Saya memang kebetulan memperhatikan karena ingin membantu juga. Dia bersikap normal saja saya pikir, setelah menuang dan menutupnya botol itu ditaruh di meja.”

“Baik. Lalu bagaimana selanjutnya Pak?”

“Tak berapa lama kemudian Saba datang dan mengambil botol minum tersebut yang ditaruh di meja sebelahku. Dan Adil suami Nurah juga datang.

"Saba mengajak Adil duduk bersama di tempat duduk yang berada di tengah satu meter depanku. Saba mengambil gelas kosong dan menuang bandrek dari botolnya lalu di berikan pada Adil. Sementara Saba minum langsung dari botol.

"Beberapa detik kemudian mereka sama-sama merasa tak enak. Lalu dalam sekejap kejang-kejang dan mulai mengeluarkan buih dari mulut.” Ada nada ngeri dari ucapan Jumali.

“Apakah dilakukan upaya atas kondisi mereka saat itu?”

“Saat itu banjir lagi naik dan mereka kesulitan dibawa ke rumah sakit. Beberapa warga yang memiliki mobil sudah mengungsikan kendaraan mereka dua hari sebelumnya ke kota.

"Nurah yang tak bisa menyetir meminta yang bisa menyetir pada orang-orang di posko untuk ikut dengannya ke rumah mengambil mobil Adil.

"Proses ke rumah sakit sedikit tersendat karena kami harus mencabuti pancang tenda yang terpasang agar mobil bisa keluar. Sesampai di rumah sakit, dokter di sana menyampaikan bahwa keduanya telah tiada.”

Si reporter menyela lagi. “Kembali pada saat korban bernama Adil tiba di posko, mengapa almarhum Adil tidak mengambil bandrek lain dan mau menerima bandrek dari Saba?”

“Karena bandrek lainnya sudah habis, Akbar membawa ceret untuk dibagikan ke rumah warga terdekat.” Sambil berkata begitu mata Jumali melirik sekilas ke jalan.

Kini tampak mendekat sebuah truk tangki minyak milik perusahaan nasional meraung seolah mendesak minggir dan memperingatkan untuk jangan sampai reporter beserta kameramen itu bergeser sedikit menginjak aspal jalan raya.

“Baik Pak, terima kasih atas keterangannya. Jaga kesehatan selalu.” Si pewawancara kemudian menjabat tangan Jumali dan beralih menghadap kamera memberi kalimat penutup.

“Baiklah pemirsa itu tadi merupakan kesaksian dari salah satu saksi kunci di lokasi kejadian perkara. Saksi kunci lain adalah Akbar. Tapi tidak terlihat ada remaja lelaki di sini, mungkin bukan hari ini jadwal pemeriksaannya.

"Kami akan terus memantau perkembangan terbaru dari kasus keracunan dari minuman bandrek yang menyebabkan tewasnya dua orang pria bernama Adil Pras dan Ahmad Saba. Dari Polsek Stabat, Intan Nindya melaporkan,” tutupnya dengan nada meyakinkan.

Si reporter kemudian tampak mengarahkan si kameramen agar beranjak menuju teras. Dua orang lelaki yang sejak tadi memperhatikan wawancara tersebut dengan gaya acuh tak acuh menarik perhatian reporter. Ia kemudian bertanya.

“Maaf, apakah abang-abang ini berkaitan dengan kasus bandrek beracun?”

Ilbi langsung menggeleng diikuti Malik. “Tidak, kami datang untuk urusan lain,” jawab Ilbi.

Jika ia berkata bahwa mereka memang ada urusan dengan kasus itu, maka kameramen akan siap menghidupkan kameranya dan si reporter akan menyodorkan mik ke mulutnya.

“Oh, begitu,” kata si reporter dengan sedikit pandangan curiga.

Ilbi melirik Malik memberinya kode untuk mengikutinya. Mereka berdua melewati reporter dan kameramennya yang melirik ke dalam kantor untuk mencari bahan berita lagi.

“Bagaimana? Kita akan menunggu sampai Nurah selesai diperiksa. Tapi menunggu di ruang tunggu akan menarik perhatian wartawan tadi,” kata Malik.

“Ini sudah lewat satu jam semenjak Nurah dipanggil. Mungkin sebaiknya kita jalan kaki untuk duduk-duduk di Masjid Raya yang jaraknya 700 meter dari sini."

Tanpa menunggu persetujuan Malik, Ilbi melangkah duluan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status