Share

Bab 6

"Kamu jangan kebiasaan dong dek, selalu saja menunda pas kusuruh!” protes Mas Marvin kemudian.

Aku kembali bergeming menatap suamiku. Kenapa sikapnya semakin seperti anak kecil saja. Tidak pernah mau mengerti keadaanku.

“Buat sendiri nggak bisa mas?”

Mas Marvin malah merengut mendengarkan pertanyaanku.

“Iya deh, aku buatin kopi, tapi jagain Aghis di kamar ya nanti takutnya dia terbangun.” Akhirnya gegas kubuatkan kopi secepat kilat. Hatiku masih dirundung penasaran dengan temuan kwitansi belanja tadi.

Haruskah aku tanyakan kepada suamiku? Tapi, bagaimana jika dia marah pas kutanyai?

Kopi sudah kuseduh, sesuai takaran yang mas Marvin mau. Tidak terlalu manis dan kental.  Kusuguhkan di atas meja rias. Terlihat mas Marvin malah asyik main HP, tidak memperhatikan bayiku sama sekali.

“Mas, ini kopinya,” ucapku berbasa – basi.

“Hem…” jawabnya tanpa menoleh. Sangat terlihat focus dengan benda persegi Panjang digenggaman. Bukannya malah terima kasih.

Aku mendekat, menduduki kursi rias di samping mas Marvin rebahan.

“Mas, tadi aku nemu kwitansi belanja make up, milik siapa?” tanyaku langsung.

Mendengar itu, mas Marvin menghentikan aktivitasnya dengan tatapan mata yang berubah. Ekspresinya juga berubah. Sedikit aneh tidak seperti biasanya.

“Kosmetik?” tanya mas bojo mengulang ucapanku.

Aku mengangguk, “Iya, tumben beli kosmetik.”

“Oh, jadi sekarang kamu suka buka – buka barang pribadiku ya?” bukannya menjawab Mas Marvin malah marah – marah nggak jelas.

Beranjak dari berbaring mengubah posisi duduk, menatapku dengan ekspresi marah. Ada apa dengan suamiku? Semakin aneh saja.

“Lhawong aku nemuinnya di saku celana kamu mas,” ungkapku meluruskan.

“Aku selalu cek saku kamu, takut ada barang penting kecelup air,” sambungku lagi berusaha membuat mas Marvin memahaminya. Selang kemudian raut mas Marvin berubah semakin aneh.

Gelagatnya sulit kupahami, seperti orang yang lagi mikir mencari  - cari alasan.

“Oh, itu..” ucapnya terbata. Kemudian, Mas Marvin menggaruk kepala menatapku aneh.

“Itu punya temen, nggak sengaja tadi dititipin mas..” ucapnya dengan nada berat.

“Temen? Kok titip mas?” balasku sedikit mengintimidasi. Entah kenapa, melihat sikap mas Marvin yang aneh menimbulkan rasa curiga di hatiku. Masak, Mas Marvin beliin skincare wanita lain? Itu artinya?

“Udah ah Furika, jangan dibahas aku jadi pusing, mana kopiku,” marah Mas Marvin memasang wajah cemberut andalan.

Segera kuambilkan kopi yang tadinya kutaruh di atas meja rias dan mengulurkannya kepada Mas Marvin. Apa lagi yang bisa kutanyakan untuk mengusir rasa penasaran karena kwitansi make up tadi? Aku hanya bisa menghela nafas Panjang dan mencoba mencari tahu sendiri jika masih saja dirasa mengganjal.

“Kamu mau kubelikan skincare?” celetuk Mas Marvin setelah menyeruput kopinya dalam dua tegukan.

Mataku mengerling tetiba, sebuah pertanyaan langka yang keluar dari bibir mas Marvin. Tumben banget.

“Yaelah mas, cewek mana yang nggak mau dibelikan skincare, pasti maul ah..” jawabku senang. Aku lupa kapan terakhir berlagak hedon berbelanja skincare saat masih kerja dulu. Dan sekarang, tiba – tiba aku merindukan masa – masa itu.

“Ya udah, besok mas beliin..” janji Mas Marvin tersenyum.

Sungguh senang aku mendengarnya, entah kesambet apa suamiku tiba – tiba seperti itu. Padahal, terakhir tadi dia ngambek sampai pulang ke rumah ibu mertua.

“Yey, jadi serius mau beliin mas? Jadi, besok kita ke kota belanja skincare gitu?” tanyaku jingkrak – jingkrak. Sudah kebayang merek kosmetik mana saja yang akan kubeli besok.

Tapi, mas Marvin malah menggelengkan kepala.

“Ya enggak dong, besok aku belikan saja sepulang kerja, kamu di rumah saja,” jelasnya kemudian mengulurkan gelas kopi yang tersisa setengah.

Mas Marvin berdiri dengan sumringah, “Aku tidur di ruang tengah saja, jagain Aghis,” ucapnya kemudian.

Seketika, aku langsung terdiam. Nyatanya, realita tidak sejalan dengan ekspektasi. Lagi dan lagi, aku hanya bisa pasrah jika seperti ini.

“Jangan bangunin aku, urus anakmu sendiri ya!” pamitnya di bibir pintu.

Dan lagi – lagi, malam kami ditutup dengan perbincangan yang membuatku kesal. Alamat, mala mini aku begadang sendirian lagi.

“Furika, ibu hari ini tidak masak, uang belanja dari suamimu udah habis, kamu masak apa hari ini?”

Ibu mertua pagi – pagi sudah bertandang ke rumah. Sangat mengganggu ketenangan.

Meski jengkel, kuladeni beliau sebaik mungkin. Mengingat, ibu mertua adalah ibu dari suamiku. Dan aku harus menghormatinya.

Hari ini, aku hanya masak ayam goreng kesukaan mas Marvin dua potong dan sayur sop. Aku harus pintar mengolah keuangan dengan meracik masakan yang enak tapi tetap irit. Mas Marvin sudah memakan ayam gorengnya, jadi sisa satu dan itu untukku.

Karena seharian mengurus kebutuhan suami, aku akan sarapan setelah semua selesai. Dan, ibu mertua berkunjung tiba – tiba.

“Furika, masakan kamu diumpetin di mana sih? Pelit bener jadi orang..” cibir ibu yang nyelonong memasuki dapur tanpa sungkan.

Aku yang baru selesai memandikan Aghis, gegas menghampiri beliau dengan segera. Atau jika tidak, pasti ibu mertua semakin ngomel.

“Ibu lapar Furika, mana masakanmu?” tanya beliau lagi.

Dan dengan terpaksa, kuambilkan sisa ayam goreng yang harusnya menjadi jatahku kepada ibu mertua. Dan aku harus mengalah, “Ini bu, Furika Cuma masak ayam goreng,” jawabku.

Melihat lauk yang kuberikan, dengan sigap diraih ibu mertua. Beliau mengambil nasi di piring dan sayur sop dengan jumlah yang lumayan banyak, bahkan kuintip tinggal sisa kuahnya saja.

“Masakanmu kurang nendang, lain kali kalau masak tanya resep ibu, pasti nanti enak,” ujarnya berkomentar bak juri master chef di tv - tv.

Aku hanya membatin, ibu mertuaku ini selalu sok dalam segala hal. Padahal, kenyataannya juga jarang masak. Boro – boro memberiku sepiring masakannya, uang yang diberikan mas Marvin juga jarang dibuat belanja sayur mayur setahuku beliau selalu membeli makanan jadi setiap hari.

“Eh, iya bu,” balasku menimpali.

Ibu mertua terlihat lahap menikmati sarapannya, tanpa sungkan kupandangi sebagai menantunya. Padahal, sejak tadi aku sangat lapar sekali. Mau sarapan pun belum sempat karena masih mengurus mas Marvin yang mau berangkat kerja selepas itu memandikan Aghis.

Aku hanya bisa menelan saliva saking pengennya. Sudah tidak ada lauk di rumah ini, itulah lauk terakhir yang dinikmati ibu mertua.

“Kamu kok ada ayam sih Furika? Boros sekali ternyata, harusnya biar irit kamu beli tempe tahu saja untuk laukmu, dan ayam ini untuk suamimu,” komentarnya kemudian.

Salah banget ya beli ayam sesekali? Perasaan ibu menyusui juga perlu banyak protein bukan sih?

“Eh, iya bu,” balasku mengiyakan. Aku malas protes kepada beliau karena ujung – ujungnya pasti malah terjadi keributan.

Ibu mertua dan iparku wataknya hampir sama kerasnya, tidak mau mengalah dan selalu merasa paling benar.

“Jangan kau habiskan uang anakku dengan boros, cari uang itu sulit, kamu nggak bisa kan?” ucapnya lagi setelah menaruh piring kotor di atas meja cucian.

Duh, sangat merepotkan, sudah meminta tidak mau mencuci piring lagi? Sabar – sabar.

“Iya kan kata ibu?” ucapnya lagi menegaskan bahwa yang diucapkan beliau adalah benar. ‘aku nggak bisa cari uang’ di mata ibu mertua.

Aku sungguh keberatan jika mengiyakan. Karena kenyataannya bukan begitu!

Karena sebelumnya aku pernah bekerja, aku bisa mencari uang sendiri. Aku baru resign kerja empat bulan setelah kehamilanku menginjak bulan ke tujuh. Bukan sepenuhnya bergantung kepada suamiku sejak dulu.

Dan, begitu seenaknya ibu mertua mengataiku seperti itu.

“Tapi, dulu Furika juga bekerja bu,” protesku mencoba membela diri. Tenang, aku mengucapkannya juga dengan kalimat yang sangat halus agar ibu mertuaku yang moody’an tidak tersinggung.

Ibu Mertua menghentikan langkahnya saat berjalan menuju ruang tamu, menengok ke arahku dengan kedua alisnya yang hampir menyatu seperti jembatan.

“Itu kan dulu, sekarang kamu tinggal ongkang ongkang kaki sambil dasteran aja di rumah, enak bener!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Norriza Othman Iza
lanjut thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status