"Kamu jangan kebiasaan dong dek, selalu saja menunda pas kusuruh!” protes Mas Marvin kemudian.
Aku kembali bergeming menatap suamiku. Kenapa sikapnya semakin seperti anak kecil saja. Tidak pernah mau mengerti keadaanku.
“Buat sendiri nggak bisa mas?”
Mas Marvin malah merengut mendengarkan pertanyaanku.
“Iya deh, aku buatin kopi, tapi jagain Aghis di kamar ya nanti takutnya dia terbangun.” Akhirnya gegas kubuatkan kopi secepat kilat. Hatiku masih dirundung penasaran dengan temuan kwitansi belanja tadi.
Haruskah aku tanyakan kepada suamiku? Tapi, bagaimana jika dia marah pas kutanyai?
Kopi sudah kuseduh, sesuai takaran yang mas Marvin mau. Tidak terlalu manis dan kental. Kusuguhkan di atas meja rias. Terlihat mas Marvin malah asyik main HP, tidak memperhatikan bayiku sama sekali.
“Mas, ini kopinya,” ucapku berbasa – basi.
“Hem…” jawabnya tanpa menoleh. Sangat terlihat focus dengan benda persegi Panjang digenggaman. Bukannya malah terima kasih.
Aku mendekat, menduduki kursi rias di samping mas Marvin rebahan.
“Mas, tadi aku nemu kwitansi belanja make up, milik siapa?” tanyaku langsung.
Mendengar itu, mas Marvin menghentikan aktivitasnya dengan tatapan mata yang berubah. Ekspresinya juga berubah. Sedikit aneh tidak seperti biasanya.
“Kosmetik?” tanya mas bojo mengulang ucapanku.
Aku mengangguk, “Iya, tumben beli kosmetik.”
“Oh, jadi sekarang kamu suka buka – buka barang pribadiku ya?” bukannya menjawab Mas Marvin malah marah – marah nggak jelas.
Beranjak dari berbaring mengubah posisi duduk, menatapku dengan ekspresi marah. Ada apa dengan suamiku? Semakin aneh saja.
“Lhawong aku nemuinnya di saku celana kamu mas,” ungkapku meluruskan.
“Aku selalu cek saku kamu, takut ada barang penting kecelup air,” sambungku lagi berusaha membuat mas Marvin memahaminya. Selang kemudian raut mas Marvin berubah semakin aneh.
Gelagatnya sulit kupahami, seperti orang yang lagi mikir mencari - cari alasan.
“Oh, itu..” ucapnya terbata. Kemudian, Mas Marvin menggaruk kepala menatapku aneh.
“Itu punya temen, nggak sengaja tadi dititipin mas..” ucapnya dengan nada berat.
“Temen? Kok titip mas?” balasku sedikit mengintimidasi. Entah kenapa, melihat sikap mas Marvin yang aneh menimbulkan rasa curiga di hatiku. Masak, Mas Marvin beliin skincare wanita lain? Itu artinya?
“Udah ah Furika, jangan dibahas aku jadi pusing, mana kopiku,” marah Mas Marvin memasang wajah cemberut andalan.
Segera kuambilkan kopi yang tadinya kutaruh di atas meja rias dan mengulurkannya kepada Mas Marvin. Apa lagi yang bisa kutanyakan untuk mengusir rasa penasaran karena kwitansi make up tadi? Aku hanya bisa menghela nafas Panjang dan mencoba mencari tahu sendiri jika masih saja dirasa mengganjal.
“Kamu mau kubelikan skincare?” celetuk Mas Marvin setelah menyeruput kopinya dalam dua tegukan.
Mataku mengerling tetiba, sebuah pertanyaan langka yang keluar dari bibir mas Marvin. Tumben banget.
“Yaelah mas, cewek mana yang nggak mau dibelikan skincare, pasti maul ah..” jawabku senang. Aku lupa kapan terakhir berlagak hedon berbelanja skincare saat masih kerja dulu. Dan sekarang, tiba – tiba aku merindukan masa – masa itu.
“Ya udah, besok mas beliin..” janji Mas Marvin tersenyum.
Sungguh senang aku mendengarnya, entah kesambet apa suamiku tiba – tiba seperti itu. Padahal, terakhir tadi dia ngambek sampai pulang ke rumah ibu mertua.
“Yey, jadi serius mau beliin mas? Jadi, besok kita ke kota belanja skincare gitu?” tanyaku jingkrak – jingkrak. Sudah kebayang merek kosmetik mana saja yang akan kubeli besok.
Tapi, mas Marvin malah menggelengkan kepala.
“Ya enggak dong, besok aku belikan saja sepulang kerja, kamu di rumah saja,” jelasnya kemudian mengulurkan gelas kopi yang tersisa setengah.
Mas Marvin berdiri dengan sumringah, “Aku tidur di ruang tengah saja, jagain Aghis,” ucapnya kemudian.
Seketika, aku langsung terdiam. Nyatanya, realita tidak sejalan dengan ekspektasi. Lagi dan lagi, aku hanya bisa pasrah jika seperti ini.
“Jangan bangunin aku, urus anakmu sendiri ya!” pamitnya di bibir pintu.
Dan lagi – lagi, malam kami ditutup dengan perbincangan yang membuatku kesal. Alamat, mala mini aku begadang sendirian lagi.
“Furika, ibu hari ini tidak masak, uang belanja dari suamimu udah habis, kamu masak apa hari ini?”
Ibu mertua pagi – pagi sudah bertandang ke rumah. Sangat mengganggu ketenangan.
Meski jengkel, kuladeni beliau sebaik mungkin. Mengingat, ibu mertua adalah ibu dari suamiku. Dan aku harus menghormatinya.
Hari ini, aku hanya masak ayam goreng kesukaan mas Marvin dua potong dan sayur sop. Aku harus pintar mengolah keuangan dengan meracik masakan yang enak tapi tetap irit. Mas Marvin sudah memakan ayam gorengnya, jadi sisa satu dan itu untukku.
Karena seharian mengurus kebutuhan suami, aku akan sarapan setelah semua selesai. Dan, ibu mertua berkunjung tiba – tiba.
“Furika, masakan kamu diumpetin di mana sih? Pelit bener jadi orang..” cibir ibu yang nyelonong memasuki dapur tanpa sungkan.
Aku yang baru selesai memandikan Aghis, gegas menghampiri beliau dengan segera. Atau jika tidak, pasti ibu mertua semakin ngomel.
“Ibu lapar Furika, mana masakanmu?” tanya beliau lagi.
Dan dengan terpaksa, kuambilkan sisa ayam goreng yang harusnya menjadi jatahku kepada ibu mertua. Dan aku harus mengalah, “Ini bu, Furika Cuma masak ayam goreng,” jawabku.
Melihat lauk yang kuberikan, dengan sigap diraih ibu mertua. Beliau mengambil nasi di piring dan sayur sop dengan jumlah yang lumayan banyak, bahkan kuintip tinggal sisa kuahnya saja.
“Masakanmu kurang nendang, lain kali kalau masak tanya resep ibu, pasti nanti enak,” ujarnya berkomentar bak juri master chef di tv - tv.
Aku hanya membatin, ibu mertuaku ini selalu sok dalam segala hal. Padahal, kenyataannya juga jarang masak. Boro – boro memberiku sepiring masakannya, uang yang diberikan mas Marvin juga jarang dibuat belanja sayur mayur setahuku beliau selalu membeli makanan jadi setiap hari.
“Eh, iya bu,” balasku menimpali.
Ibu mertua terlihat lahap menikmati sarapannya, tanpa sungkan kupandangi sebagai menantunya. Padahal, sejak tadi aku sangat lapar sekali. Mau sarapan pun belum sempat karena masih mengurus mas Marvin yang mau berangkat kerja selepas itu memandikan Aghis.
Aku hanya bisa menelan saliva saking pengennya. Sudah tidak ada lauk di rumah ini, itulah lauk terakhir yang dinikmati ibu mertua.
“Kamu kok ada ayam sih Furika? Boros sekali ternyata, harusnya biar irit kamu beli tempe tahu saja untuk laukmu, dan ayam ini untuk suamimu,” komentarnya kemudian.
Salah banget ya beli ayam sesekali? Perasaan ibu menyusui juga perlu banyak protein bukan sih?
“Eh, iya bu,” balasku mengiyakan. Aku malas protes kepada beliau karena ujung – ujungnya pasti malah terjadi keributan.
Ibu mertua dan iparku wataknya hampir sama kerasnya, tidak mau mengalah dan selalu merasa paling benar.
“Jangan kau habiskan uang anakku dengan boros, cari uang itu sulit, kamu nggak bisa kan?” ucapnya lagi setelah menaruh piring kotor di atas meja cucian.
Duh, sangat merepotkan, sudah meminta tidak mau mencuci piring lagi? Sabar – sabar.
“Iya kan kata ibu?” ucapnya lagi menegaskan bahwa yang diucapkan beliau adalah benar. ‘aku nggak bisa cari uang’ di mata ibu mertua.
Aku sungguh keberatan jika mengiyakan. Karena kenyataannya bukan begitu!
Karena sebelumnya aku pernah bekerja, aku bisa mencari uang sendiri. Aku baru resign kerja empat bulan setelah kehamilanku menginjak bulan ke tujuh. Bukan sepenuhnya bergantung kepada suamiku sejak dulu.
Dan, begitu seenaknya ibu mertua mengataiku seperti itu.
“Tapi, dulu Furika juga bekerja bu,” protesku mencoba membela diri. Tenang, aku mengucapkannya juga dengan kalimat yang sangat halus agar ibu mertuaku yang moody’an tidak tersinggung.
Ibu Mertua menghentikan langkahnya saat berjalan menuju ruang tamu, menengok ke arahku dengan kedua alisnya yang hampir menyatu seperti jembatan.
“Itu kan dulu, sekarang kamu tinggal ongkang ongkang kaki sambil dasteran aja di rumah, enak bener!"
“Iya kan benar apa kataku? Kamu kerjaannya Cuma ongkang – ongkang aja, mana bisa ngasilin duit,” ujar ibu mertuaku ketus. Lirikan mautnya selalu berhasil membuatku meremaskan tangan menahan kesal.Aku hanya bisa mendengus saja jika sudah begini. Menghina dan merendahkan, apa tidak ada kalimat lain yang bisa ia ucapkan kepadaku? Kentara banget ibu mertuaku ini kalau memang tidak suka kepadaku.“Ya sudah, ibu balik ke rumah dulu, urus anakmu dengan baik.” Akhirnya wanita paruh baya itu melangkahkan kaki meninggalkanku berpelukan dengan damai usai kepergiannya.“Huft, sabar – sabar,” ucapku mengelus dada.*** Malam menjelang, sudah lama kumenanti sejak Mas Marvin berangkat kerja pagi tadi. Sesuai janjinya, suamiku itu akan membawakan oleh – oleh yang kuidamkan. “Skincare”. Sudah lama tak kubeli barang itu untuk sekedar merawat kulit wajahku yang semakin terasa kering ini.Dan seperti biasanya, kuintip dari jendela kamar, Mas Marvin melangkahkan kaki menuju rumah kami dengan menenteng ta
Andaikan aku masih bekerja, aku tidak akan minta – minta seperti ini kepada suamiku. Apalagi hanya sekedar membeli skincare dan kosmetik. Borong setoko pun aku bisa membelinya. Sejak semalam, hatiku masih dirundung kesal dan nelangsa. Gini banget jadi ibu rumah tangga. Yang tidak pernah dihargai, selalu dituntut dan selalu disalahkan.Ruang gerakku hanya sebatas di rumah saja, mengurus anak tanpa ada yang menggantikan, mengurus keperluan rumah tanpa boleh ada yang salah, dan selalu kekurangan uang karena tidak bisa mencari pemasukan sendiri.“Furika! Kamu ngapain bengong, ayo ke rumah ibu, ada tamu!”Ibu mertuaku memanggilku dengan nada terburu – buru.“Tapi anakku bu?”“Anakmu kan tidur, tinggal saja bentar!” ocehnya memaksa.“Nggak bisa bu, kasihan sendirian di rumah, kalua anaknya bangun terus nangis gimana?” protesku berusaha membela diri.Mana tega aku meninggalkan bayi kecilku sendirian di rumah. Bukannya aku lebay ya!“Halah, alasan! Cepet gendong anakmu, buatkan minuman tamuk
“sudah jam setengah sepuluh malam, tapi mas belum pulang, perutku lapar sekali.”Aku hanya bisa merintih menahan lapar sambal mengelus perutku yang semakin terasa perih saja. Mungkin asam lambungku naik sebab terlalu sering telat makan dan kuabaikan begitu saja. Rasanya pengen mual dan kepala kliyengan.Anakku sudah tidur pulas sejak sore tadi, sementara aku tidak bisa tidur karena perutku yang terus menjerit keroncongan. Sementara di rumah tidak ada makanan sama sekali.Penantianku akhirnya tidak sampai lama. Mas Marvin dan ibu mertua akhirnya sudah pulang. Dari luar terdengar sebuah mobil terparkir di teras samping, dan aku yakin itu adalah mobil Giandra yang mengantarkan ibu mertua, mas marvin dan kakak ipar usai acara makan – makan di restoran.Iya. Makan – makan! Mereka enak – enakan menikmati makan enak tanpa mengajakku. Dengan alasan, anakku masih bayi dan tidak boleh di bawa ke mana – mana.Begitu nelangsanya aku menyaksikan mereka dari balik jendela kamar, namun apa boleh bua
"Dulu ibu bisa mengurus tiga anak sekaligus padahal jadi janda, sedangkan kamu mengurus satu anak saja nggak becus!"Lontaran kalimat pedas itu kembali menyembur dari mulut ibu mertua. Bukannya menguatkan aku yang benar - benar rapuh karena buah hatiku terkapar dengan selang infus, tak hentinya wanita tua itu terus menyalahkanku."Istrimu memang nggak becus Marvin, untung saja Aghis tidak parah.""Jika ibu kemari hanya untuk marah - marah teriak -teriak saja, lebih baik pulang," ucapku sedikit memberanikan diri."Kamu ngusir ibumu? Lihatlah Marvin, istrimu makin hari makin kurang ajar. Tak tahu terima kasih dijenguk malah mengusirku.""Furika, tolonglah jangan memancing keributan," sahut Mas Marvin yang meraih pundak ibu dan mangusapnya.Bukannya menenangkanku, mas Marvin lagi - lagi berpihak kepada mak lampir."Biaya rumah sakit kan mahal, kamu mampu bayar semua?" Sentak ibu lagi sambil melengos.Aku tak berkomentar memilih meninggalkan suami dan ibu mertua di luar ruangan dan meneng
"Kenapa mas Marvin menikah lagi? Apa kurangku mas? Kenapa nggak kita bicarakan dulu?"Seperti dugaanku, Isyani Giandra adalah wanita yang akan menjadi istri kedua suamiku. Isyani beserta keluarga sudah datang di rumah kami, sementara penghulu masih dalam perjalanan.Isyani memutuskan melangsungkan akad nikah di rumah mas Marvin dan seminggu kemudian diboyong ke kota untuk resepsi di rumah orangtuanya. Begitu adat di sini.Mas Marvin hanya memandangku dengan muka tak nafsu, malah sibuk menata kerah baju.Padahal sejak tadi aku menangis maraung - raung, namun tak diindahkan."Mas jawab pertanyaanku!" Sedikit kutinggikan suaraku karena aku semakin gemas.Ingin sekali aku mengacak - ngacak muka pria tak tahu malu sepertinya, sayangnya gerakku terbatas karena sedang menggendong Aghis."Apaan sih dek, berisik tauk!""Apa katamu berisik? Kamu mau aku berteriak lebih kencang lagi?" ancamku sambil terisak."Furika! Ini bukan hutan, pelankan suaramu!" Ibu mertua memasuki kamar tanpa diundang, l
"Apa?""Aku ingin mengajarimu menjadi istri yang baik, biar mas Marvin makin cinta sama kamu.""Maksudnya mbak?"Kuseret Isyani yang kebetulan tengah bangkit berdiri dari meja makan. Wanita itu begitu pasrah saat kutarik tangannya.Kemudian, kami memasuki kamar mas Marvin. Isyani nampak kebingungan dengan tingkahku."Masukkan dompet, hp dan buku catatan ke dalam tas ini."Suruhku menyodorkan tas berwarna coklat kepada Isyani. Wanita itu manut aja tanpa keberatan."Cek apa ada barang penting yang belum masuk di tas kerja mas Marvin, kalau sudah. Bawa dasi, jaket, kaus kaki dan sepati serta tas ini ke ruang tengah. Kasihkan ke mas Marvin.""Cuma gini aja mbak?""Tidak, masih banyak hal -hal yang bisa bikin mas Marvin tambah cuinta sama kamu, ntar mbak ajarin.""Ribet banget mau kerja barang mas banyak banget sih," keluh Isyani sambil memunguti barang - barang yang kumaksud."Nggak papa ribet, nanti lama - lama akan terbiasa kok sayang, makasih yah sudah merawat mas." Mas Marvin menyungg
"Benar - benar kelewatan Marvin, sudah menelantarkanmu menduakanmu juga? Astaga, manusia berhati jahat ternyata."Terlihat wajah marah Irzam setelah mendengsrkan panjang ceritaku. Ah, kenapa dia yang emosi ya? Aku jadi heran."Kamu jangan diam saja Furi, mendingan kamu balas dia, bikin dia menyesal.""Makannya, aku ingin kerja dan buktikan bahwa aku bisa berdiri sendiri tanpa uluran tangannya, aku lelah ibunya terus merendahkanku seolah aku hanya beban untuk anaknya.""Oke, aku ada bisnis yang bisa kamu jalankan, kebetulan aku biuh tim marketing, kalau kamu berhadil 80% keuntungan bisa kamu ambil.""80% itu banyak Irzam, kebanyakan!""Nggak masalah, kalau perlu bikin mereka bersujud kepadamu lagi," ujar Irzham tersenyum jahat, namun akupun mengikuti tingkahnya."Iya, benar katamu.""Oke kita bahas di telepon saja, dan sembunyikan pekerjaanmu dari suami dan keluarganya sampaii waktu yang telat bisa kamu tunjukan..""Lah? emang kenapa harus disembunyiin? bukannya aku harus tunjukan kala
" Apa syaratnya?"Bukannya langsung menjawab pertanyaanku, Irzam malah memandangku genit dengan mengedipkan sebelah matanya. Sehat tidak nih orang?"Irzham! kok malah gitu ih, nggak jelas," proteskuIrzham tertawa melihat gelagatku yang tak nyaman karena sikapnya. "Iya - iya, maaf Furi. Aku cuma bercanda.""Aku akan beri kamu bonus kalau kamu mau memenuhi syarat dariku.""Ih, to the point kan bisa Zam! malah bikin penasaran!" protesku" kamu lucu pas marah.""Jadi syaratnya, kamu bakal dapat bonus semakin banyak kalau kamu berhasil jual produkku 2x lipat dari ini.""Hemm, itu mah bukan bonus Zam!" lirikku kesal. Menurutku yang namanya bonus tuh ngasih banyak tanpa banyak embel - embel syarat. Sementara, syarat yang diajukan Irzam sedikit memberatkan untukku."Jadi gimana? merasa tertantang nggak tuh?" ucapnya menanting. Karena aku paling suka tantangan, akhirnya tanpa berpikir panjang kujawab."Ehm, boleh dicoba.""Aku suka gayamu Furi! Kamu selalu percaya diri dan optimis. Oke seman