Namanya mbah Sumini, rumahnya tepat berada disamping rumahku.
Terkadang aku akan sangat marah setiap kali anakku main ke sana, lalu saat ku panggil untuk pulang, mbah Sum akan mencegahnya dengan berkata,
“Jangan didengerin ibumu, ibumu itu bisanya marah-marah saja, kalau kamu pulang nanti malah dimarahin. Sudah disini saja, sama nunggu es puter lewat, nanti beli dua ya, satu Nella, satu untuk embah.”
Anak kecil mana yang tidak luluh dengan bujukan seperti itu.
Kalau sudah seperti itu, anakku selalu menangis jika ku ajak pulang dengan paksa, walau sebenarnya aku memanggilnya untuk pulang bukan tanpa alasan. Mungkin saja waktu itu hari sudah gelap, atau waktunya dia makan, atau mungkin waktunya mandi tapi dia belum mandi.
Dan hal itu terus berupang, anakku sangat suka dirumah mbah Sum. Mungkin karena dirumah mbah Sum anakku sepenuhnya mendapat perhatian, sehingga dia nyaman disaat dirumah aku masih melakukan kegiatan rumah yang lain.
Mbah Sum ini lumpuh, mungkin karena pengapuran dikakinya. Matanya juga sudah tak lagi bisa berfungsi dengan baik. Mbah Sum hidup sendiri, mungkin karena itu, jika ada Nella merupakan sedikit hiburan baginya, dan seluruh perhatian tercurah untuk anakku. Dengan telaten bercerita tentang apapun, dan menanggapi setiap celotehan Nella.
Awalnya egoku terpancing, aku melarang Nella untuk kerumah mbah Sum karena kesal dan takut anakku terpengaruh dengan ucapannya yang menurutku jahat dan tidak pantas, aku memanggil Nella untuk pulang bukan lagi karena aturan, namun hanya untuk memuaskan egoku. Aku seakan berlomba dengannya untuk menjadi pemenang dihati anakku, ya walaupun aku tahu semua itu konyol. Jelas-jelas aku ibunya dan mbah Sum hanya orang lain yang anakku datangi ketika bosan berada dirumah. Lama-lama rasanya lelah juga, percuma dan aku rasa sikapku terlalu kekanak-kanakan. Rasanya juga tak sampai hatiku untuk terlalu lama abai dengan wanita tua yang malang itu.
Mbah Sum wanita tua yang malang itu tidak memiliki siapapun untuk bersandar. Dia hidup sebatang kara dihari tuanya.
Untuk makan sehari-hari mbah Sum mengandalkan kiriman dari anak tirinya yang tinggal didesa sebelah, itupun datangnya tak tentu waktu. Terkadang dipagi hari, namun lebih sering ketika matahari sudah tinggi. Dikirim satu kali untuk jatah makan satu hari.
Dalam pernikahannya, mbah Sum tidak memiliki anak kandung. Setahuku dulu mbah Sum menikah dengan lelaki yang sudah memiliki dua anak, sehingga salah satu anak tirinya itulah yang kini memperhatikan kebutuhan mbah Sum. Walaupun rasanya semua itu dilakukan hanya sekedarnya, bukan sepenuh hati layaknya anak yang ingin berbakti kepada ibunya.
Bagiku, mbah Sum adalah gambaran kesepian dihari tua yang nyata.
Mbah Sum sebenarnya termasuk orang yang cukup berada dimasanya, mbah Sum bukan orang miskin. Dia memiliki sawah yang luas, dari hasil panennya dia bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dengan sangat layak. Namun sayang 5tahun yang lalu tiba-tiba kakinya tak bisa lagi menopang tubuh tuanya, mbah Sum mengalami kelumpuhan,sejak saat itu dengan berat hati dia merelakan sawahnya untuk digarap orang lain sepenuhnya, dan dia hanya mendapat sedikit bagian.
“Masak apa nduk hari ini? Sudah mateng belum kok malah nglamun. Bapak sudah lapar lo.”
Tiba-tiba bapak datang mengagetkanku sekaligus membuyarkan lamunanku tentang mbah Sum.
“Masak sayur lodeh sama ayam goreng pak, baru saja Alin pindahin ke mangkok. Bapak mau makan sekarang? Sudah lapar to? “
“Ya iya nduk, wong sudah siang, cacing diperut bapak ini sudah teriak-teriak dari tadi minta jatahnya.”
Bapak memang suka bercanda, dan kami tertawa bersama.
“Alin ambilin nggeh pak?”
“Wes nduk, bapak bisa ngambil sendiri, mbah Sum aja tolong ambilin, kasian sudah siang belum sarapan, sama lihaten masih punya air minum apa enggak, kalau botolnya sudah kosong, tolong kamu isiin ya.”
“Ngeh pak.”
Bapak memang sangat perhatian dengan mbah Sum. Kasian kata bapak.
Harus hidup sendiri dihari tuanya.
Walaupun memang mbah Sum seringkali jahat dengan ibuku.
Seringkali ucapannya begitu tajam dan melukai, namun lagi-lagi kita hanya bisa memaklumi.
☘️☘️☘️☘️☘️
Siang itu ketika aku akan menidurkan Nella putriku, aku mendengar mbah Sum teriak-teriak memanggil bapak.
Aku mencoba mengabaikannya dengan berusaha memejamkan mata supaya segera tertidur, palingan juga cari perhatian seperti biasa batinku. Karena mbah Sum memang mempunyai kebiasaan seperti itu, suka teriak memanggil orang yang lewat agar mampir dan duduk di sampingnya hanya untuk menemani dia ngobrol, dan mendengarkan semua keluh kesahnya. Namun jika diabaikan, dia akan terus mengomel mengatai tidak punya etika kepada orangtua, tidak sopan atau apalah yang melegakan hatinya. Aku sadar, terkadang orang yang sudah sepuh memang kembali menjadi seperti anak-anak, sama seperti mbah Sum yang ingin perhatian lebih, ingin didengar atau hanya sekedar butuh teman bicara. Namun, yang tidak dia pahami adalah tidak semua orang benar-benar memiliki waktu luang atau sengaja meluangkan waktu untuknya. Seperti aku misalnya, walaupun aku hanya seorang ibu rumahtangga, bukan berarti aku menganggur. Justru begitu banyaknya pekerjaan rumahtangga yang menungguku dirumah.
“So darso, tulong soooo “
Aku langsung bergegas bangun ketika ku dengar lagi teriakan mbah Sum dari dalam kamarku, yang terdengar semakin lemah namun masih cukup jelas.
Tak ku hiraukan anakku yang belum tidur, dan masih asik bermain dengan mainannya,
Kutinggalkan Nella sendiri dan segera berlari kerumah mbah Sum.
Saat memasuki rumah mbah Sum, kulihat mbah Sum sudah berada dilantai dengan kursi roda yang terbalik.
“Ya allah mbah, kenapa?”
“Nduk tulong, aku jatuh, kursiku nggoleng.”
Ucapnya yang terlihat meringis sambil memegangi bokongnya .
“Ya allah mbah, kok bisa jatuh?”
Tanyaku sambil membopong tubuh rentanya .
Mbah Sum ini lumpuh, kakinya sama sekali tidak bisa digerakkan, jadi terasa begitu berat saat aku mengangkatnya seorang diri.
“Aku haus nduk, mau ngambil air dimeja depan.eh pas mau pindah ke kursi roda lakok malah nggoleng, bapakmu tak panggili dari tadi yo gak nyaut-nyaut.”
Mbah Sum menjelaskan sambil terus meringis, membuat perasaan bersalah menggelayut didalam hatiku. Seandainya tadi aku lebih peka, seandainya aku tidak suudzon lebih dulu kepada mbah Sum. Bagaimanapun mbah Sum adalah orang yang sudah renta dengan keterbatasan fisiknya, dan bagaimanapun keluarga kamilah yang paling dekat dengannya.
“Enggeh mbah bapak gak ada dirumah, tadi pamit pergi disawah dan belum pulang, sekarang njenengan apanya yang sakit mbah?”
“Bokongku nduk, tolong carikan minyakku, dimana ya aku naruhnya?”
Aku mulai mencari minyak urut mbah Sum diruangan yang tak seberapa besar ini .
Hanya ada tempat tidur, lemari kayu jati tua, dan satu ruangan lagi, dulu adalah dapur yang sekarang sudah dialih fungsikan sebagai kamar mandi.
Iya, karena dulu kamar mandinya mbah sum terletak jauh dibelakang rumah, khas rumah dipedesaan jaman dulu.
Namun semenjak lumpuh, karena dapur yang tidak lagi digunakan, anak-anak mbah Sum membangunkan sebuah kamar mandi didalam rumah ini agar lebih memudahkan mbah Sum untuk mandi dan buang hajat. Walaupun aku tahu, mbah Sum pasti masih sangat kesulitan untuk beraktifitas dikamar mandi dengan kondisinya yang seperti saat ini.
Ah ketemu juga akhirnya, minyak urut yang nyempil diantara tumpukan baju-baju mbah Sum yang warnanya sudah pudar.
Saat akan membantu mbah Sum membalur bokong dan kakinya yang terlihat mulai membiru memar, ku dengar Nella anakku menangis.
Bagaimana bisa aku sampai lupa membiarkan anak berusia tiga tahun itu sendirian dikamar sedang dia belum tidur.
“Mbah aku pulang ya, Nella nangis e mbah, takut kenapa-kenapa dirumah sendiri , mbahnya sedang ada urusan diluar tadi.”
Ucapku sambil berjalan terburu-buru menuju pintu.
Seperti biasa, saat berpamitan pulang akan dijawab dengan rentetan keluh kesah yang engan untuk ditinggalkan.
“Ibumu emange kemana? Peh sehat kok ngluyur ae, dholan terus gak ngerti wayah, ditinggal bojone kerjo malah dholan dewe.”
Tak ku hiraukan, aku sudah biasa mendengar itu darinya. Anakku sedang mencari ibunya, sedang mbah Sum sudah kupastikan baik-baik saja.
Saat aku membuka pintu, ternyata Nella sudah berada digendongan ibu .
“Pinter, anak ditinggal ngurusin orang , nangis kejer dibiarin. Kalau anakmu mainan yang bahayain gimana? Kalau anakmu dibawa orang gimana? Wong pintu ya kamu biarkan terbuka lebar. Anakmu ini masih belum ngerti Lin!”
Ibuku mulai drama.
“Ya ampun ibuk, aku habis nolong mbah Sum jatuh, kursinya lo nggoleng nggak ada yang bantuin. Apa sampean ndak kasian? Kita tetangga terdekatnya lo buk, kalau ada apa-apa apa ibuk nggak merasa bersalah? Apa ibu nggak iba?”
Aku hanya dijawab dengan dengusan kesal, ibu pergi melengos begitu saja .
Sejak dulu ibuku memang tidak akur dengan mbah Sum .
Entah kenapa, mbah Sum dari dulu selalu mencari gara-gara dengan ibuku . Kata-katanya selalu berhasil melukai hati.
Dulu aku fikir mbah Sum seperti itu karena cemburu, ibuku lebih beruntung darinya, punya suami seperti bapak, lelaki yang selalu memanjakan istrinya. Sejak aku kecil bapak selalu membantu pekerjaan rumah, apapun itu bahkan termasuk masak. Bapak tidak pernah mau membiarkan ibu capek, selalu ada untuk ibukku dan selalu memanjakannya. Hubungan ibu dan bapak sangat harmonis dan romantis.
Ibu juga mempunyai anak dan cucu yang membuatnya tak pernah kesepian dan selalu diperhatikan, sedang mbah Sum tak mempunyai semua itu.
Dia hanya hidup sendiri dihari tuanya.
Dulu aku berfikir mbah Sum cemburu dengan keharmonisan keluarga kami , karena rumah kami memang berdekatan, satu pelataran rumah khas perdesaan yang tidak berpagar.
Dapur kami berhadapan, rumah kami hanya dipisahkan jalan setapak selebar satu meter , sehingga apapun yang kami lakukan sangat mudah dia lihat dan dengar.
Namun aku salah, bukan hanya itu alasan mbah Sum selalu bersikap buruk kepada ibu.
Ibu adalah keponakan kesayangan dari wanita yang dia ambil suaminya, Mbah Sum kuasai harta dan anak-anaknya lalu di usir jauh-jauh dengan cara yang begitu licik dan hina.
Namun ternyata dunia tetap berpihak kepadanya , tak pernah dia temui kemalangan dalam hidup , kecuali suami yang terenggut.
Hari ini aku masak spesial, opor ayam kampung pedes, sama soto ayam kampung untuk Nella.Ayam peliharaan bapak memang cukup banyak, itu pun dilepas begitu saja tanpa kawatir diambil orang, mereka mencari makanananya sendiri, sehingga tidak perlu memberi pakan terlalu banyak kalau sore ayam-ayam itu biasanya pulang sendiri, seolah sudah hafal jalan pulangnya.Aku melihat kearah jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Nella kebetulan ikut ibu ke pasar. Aku tidak perlu kawatir mereka sudah makan apa belum, karena kalau kepasar, ibu pasti akan mengajak Nella mampir ke warung langganan kita. Dari dulu sejak aku masih sekecil Nella, setiap kali kepasar ibu akan mengajak mampir ke warung itu, namanya warung Lumintu, dengan menu andalah iwak srondengnya. Iwak srondeng sendiri adalah dendeng daging yang dikasih srondeng kelapa. Sekarang sudah generasi kedua, namun rasa masakannya masih tetap sama, sama sekali tak berubah.Makanan sudah siap, rumah sudah
Matahari sudah sangat tinggi, tak seperti biasa, kulihat Rumah mbah Sum masih tertutup rapat.Padahal biasanya jam segini mbah Sum berjemur didepan rumah sambil menunggu orang lewat.Bahkan tadi, ketika pembantu anaknya mengantarkan makanan pun tak terdengar suara keluh kesah mbah Sum seperti biasa, orang itupun langsung pulang.Sebenarnya, orang kepercayaan anaknya yang selalu disuruh mengurus makan dan kebutuhan mbah Sum lainnya itu, memang tak pernah berlama-lama dirumah mbah Sum, setelah menaruh makanan, pasti langsung pulang, tanpa perduli dengan kondisi dan juga keluh kesah yang terdengar. Entah mungkin karena jijik melihat kondisi mbah Sum yang terkadang bau pesing karena pipis yang berceceran sebelum berhasil mencapai kamar mandi, atau karena jengah mendengar keluh kesah wanita tua itu.Semua dilakukan sekedarnya, mungkin merasa tak ada ikatan, tak punya kewajiban, atau hanya menghindari gunjingan tetangga karena tuduha
Flasback.Sumber bening adalah sebuah desa yang masih sangat asri, sumber airnya tak pernah kering walau dimusim kemarau. Mungkin karena itu desa ini diberi nama Sumber bening. Desa yang tenang dan nyaman, serta sumber alamnya yang melimpah.Masyarakat disini sebagian besar bekerja sebagai buruh diperkebunan kopi milik ki dhemang Raharjo, atau biasa juga dipanggil ki Harjo.Saking luasnya perkebunan tersebut, membuat kampung ini dijuluki sebagai kampung kopi.Masyarakatnya ramah-ramah, hidup dengan rukun dan saling gotong royong.Ki Harjo adalah sosok lelaki yang tegas, namun baik, terlihat keras namun berhati lembut. Pekerjakeras dan memiliki disiplin yang tinggi.Namun demikian, ki Harjo dikelilingi orang-orang yang tamak.Ki harjo memiliki keponakan sekaligus orang kepercayaan untuk membantu menjalankan perkebunan kopi tersebut, namanya Tukiman, lelaki lugu namun cerdas.Kerjanya bagus, cekatan, d
Sudah dua hari, Sumini dan ibunya, Mursiyem berada di desa Sumber bening.Sumini dan ibunya tinggal di rumah belakang ki Harjo.Rumah yang memang diperuntukan untuk para pekerja dirumah utama.Hari ini Sumini akan mulai bekerja di perkebunan, sedang ibunya akan membantu pekerjaan dirumah utama.Sekaligus menemani nyi Saminah yang selalu merasa kesepian karena anak dan cucunya yang tinggal jauh di luar kota.Hari masih sangat pagi, namun Sumini sudah terlihat cantik dan rapi. Rambutnya disanggul sederhana, ditambah perbaduan baju yang pas untuk tubuh sintalnya, membuatnya semakin sedap dipandang mata. Kalau sudah begini, lelaki mana yang tidak tertarik dengannya?"Walah Sum, ini masih jam berapa? kamu kok sudah cantik, rapi begini?""Hari ini kan hari pertama Sumi kerja mak, masak harus telat sih? setidaknya kan Sumu harus memberikan kesan pertama yang baik.""Ya tapi kamu ini kerjanya dikebun nduk, bukan dikantor desa, atau dis
Sumini, gadis dengan kulit sawo matang, rambutnya ikal, namun memiliki tubuh yang sintal.Usianya sudah berada diakhir 20n, namun belum juga menikah, padahal diwaktu itu, teman seusianya rata-rata sudah memiliki anak yang beranjak remaja. Sangat tabu di masyarakat umum anak gadis yang belum menikah diusia segitu, karena umumnya, pada masa itu rata-rata perempuan menikah diusia 15-17tahun. Jika lebih dari itu dan belum juga menikah, maka harus siap jika sebutan perawan tua diberikan kepadanya.Sumini memang tidak terlalu cantik, namun memiliki lekuk tubuh yang menarik. Tuhan menganugerahi bentuk tubuh yang di idam-idamkan banyak wanita kepadanya.Sehingga sering kali digoda lelaki iseng, itu sebabnya banyak wanita yang tak menyukainya, atau mungkin juga karena sikapnya yang acuh dan tak mudah bergaul. Sumini lebih memilih untuk menyendiri dari pada bergaul. Karena sejak kecil, Sumini selalu mendapatkan perlakuan kurang baik dari sekitarnya.Sudah hampir se
Sudah hampir seminggu Sumini terbaring sakit,Semenjak dia tahu kenyataan bahwa sang pujaan hati ternyata sudah beristri,dunia Sumini tak lagi sama.Dia berubah menjadi pendiam.mengurung diri didalam kamar berhari-hari, hanya untuk menangis pedih. Harapan Sumini yang sudah terlanjur membumbung tinggi, kini hancur berserakan. Hatinya pecah, harapannya musnah.Mak Siyem pun kawatir dengan apa yang menimpa Sumini,setiap kali ditanya, Sumini hanya menjawab ingin sendiri.hingga akhirnya Dia menceritakan semua ini kepada nyi Saminah, tak sanggup rasanya dia melihat putri kesayangannya menjadi seperti ini. Seakan hilang arah, tak punya lagi semangat untuk hidup. Mak Siyem prihatin, ini adalah pertama kalinya Sumini jatuh cinta, lalu seketika harus dipatahkan oleh kenyataan. Hatinya ikut sakit, membayangkan kisah masalalunya hatus terulang kepada Sumini.Merasa kawatir dengan apa yang diceritakan mak Siyem, nyi Saminah pun megusulk
Mendengar penuturan ibunya, Sumini merasa mempunyai semangat baru. dia merasa kembali mempunyai harapan, hati yang telah layu, seakan mulai bersemi kembali.Hari ini dia kembali kerja dengan penuh semangat. seumur hidup Dia tak pernah merasakan perasaan ingin memiliki kepada seseorang sebesar ini sebelumnya, sehingga Sumini merasa harus memperjuangkan perasaan ini. Lagi pula, bukankah benar, agamanya pun tak melarang seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu?"Kalaupun memang takdirku tak bisa memilikimu seutuhnya, aku rela kang untuk berbagi, asalkan aku bisa menjadi istri sahmu. Aku berjanji akan berjuang, melakukan apapun untuk mendapatkanmu."Tekad Sumini.***Sumini rela menebalkan muka kepada Tukiman, penolakan halus yang terus dia dapatkan, tak membuat semangatnya surut. Justru tekadnya semakin kuat, rasanya cintanya semakin besar, kekagumannya kepada Tukiman, lelaki yang begitu setia itu seolah seperti pupuk yang membuat perasaanya s
"Sudah to nduk, sudah! Jangan nangis terus, emak juga ikut sedih lihat kamu seperti ini."Mak Siyem mencoba menenangkan Sumini, semenjak mengetahui kenyataan bahwa Tukiman ternyata adalah suami Menik, Sumini seolah kehilangan harapan. Kenyataan menamparnya dengan begitu keras, sehingga hatinya hancur tak berbentuk. Berkali-kali dia merutukki nasib yang tak pernah berpihak kepadanya."Selama ini mak, aku berfikir mereka itu sama-sama keponakanya ki Harjo karena saudara, ternyata mereka keponakanya ki Harjo karena suami istri, sakit hatiku mak, sakit! Kenapa sejak awal Menik tidak pernah cerita? perasaanku kepada Mas Tukiman sudah terlanjur dalam mak. Harapanku sudah terlanjur besar!"Mak Siyem hanya mampu terdiam sekaligus merasa bersalah, karena dulu dia yang membawa Menik datang kerumah ini. Seandainya saja Sumini tidak pernah mengenal Menik, mungkin rasa sakitnya tidak sesakit ini,tidak harus menanggung rasa bersalah ketika dia berjuang merebut hati Tukiman. M