Share

Bab 6. Mantan Istri Suamiku

Aku menceritakan kejadian tadi siang pada bang Arman. Kejadian saat Elisa datang dengan membawa satu kardigan tanpa meminta izin padanya.

Wajah bang Arman langsung berubah masam setelah mendengar penuturanku.

"Kenapa kamu tidak bilang dulu sama Abang sebelum memberinya kardigan itu?" tanya bang Arman. Ia seakan menyalahkan aku atas perbuatan yang dilakukan putrinya.

"Aku tidak tahu, bang. Kata Rindi, dia memang biasa melakukannya," aku mencoba membela diri.

"Ya, meskipun dia biasa melakukannya, bukan berarti kamu membiarkannya, dek! Kita bisa rugi jika dia terus melakukan itu!" tukas bang Arman menyalahkan aku.

Keningku bertaut menatapnya. Aku jadi tidak mengerti. Kenapa sekarang seakan-akan aku yang mengambil kardigan itu?

"Bang, bukan aku yang mengambil kardigan itu. Tapi anak Abang!" ucapku berusaha selembut mungkin untuk meredakan emosinya.

"Abang tahu. Setidaknya kamu bisa mencegahnya. Jangan cuma diam seperti patung!" suara bang Arman mulai meninggi.

Aku terperangah dan tidak menyangka jika dia bisa membentakku seperti ini. Itu pun atas kesalahan yang sama sekali tidak aku lakukan.

Aku akhirnya memilih untuk diam agar perdebatan yang tidak ada ujung pangkalnya ini bisa berakhir. Bang Arman masih bersungut-sungut.

Aku heran, apakah bang Arman memang sepelit itu, atau memang dia sudah bosan melihat sikap anaknya yang lancang mengambil barang toko? Tapi, bukankah ini bukan salahku? Aku bahkan tidak mengenal anak-anaknya.

Bang Arman masuk ke kamar dengan wajah kesal. Aku hanya bisa menghela nafas berat. Ini pertama kali aku melihat wajah marahnya. Biasanya dia selalu tersenyum dan bersikap lembut padaku.

Aku sudah menyelesaikan masak makan malam. Aku berjalan ke kamar untuk mengajak bang Arman makan. Ia terlihat berbaring di ranjang sambil memainkan handphonenya.

"Bang, makan malam sudah siap. Abang mau makan sekarang?" tanyaku.

Bang Arman tidak menjawab pertanyaanku dengan kata. Dia hanya mengangguk dan berjalan keluar menuju meja makan. Dia masih mengacuhkan ku.

Aku menyendokkan nasi ke piringnya.

"Abang mau ikan goreng?" tanyaku.

Bang Arman mengangguk. Aku memasukkan sepotong ikan goreng ke piringnya. Aku juga memasukkan sesendok sayur bayam.

"Minta sambalnya, dek!" pintanya. Aku menoleh padanya. Dengan tersenyum lega aku menyendokkan sambal ke piringnya.

"Ini, bang!" ucapku lembut seraya menyerahkan piring yang berisi nasi dan lauk pauk kepadanya. Ia pun menerimanya.

"Terima kasih, dek!" ucapnya.

Aku sangat senang. Bang Arman sudah mau bicara denganku. Ternyata, bang Arman tidak bisa lama-lama merajuk dan marah padaku.

"Bang, aku minta maaf karena tadi aku tidak mencegah Elisa mengambil barang toko," ucapku setelah bang Arman menyelesaikan makannya meskipun kami sama-sama masih duduk di meja makan.

Bang Arman diam. Hatiku berdebar kencang. Apakah dia masih marah?

Bang Arman menghela nafas berat. "Iya, dek. Sebenarnya Abang juga tahu, jika ini tidak sepenuhnya salah adek. Tapi Abang sedikit kecewa, karena adek tidak bisa bersikap tegas pada Elisa. Ya, meskipun Elisa tidak terlahir dari rahim adek, dia tetap anak adek. Adek berhak mengajarinya sopan santun," tutur bang Arman.

"Iya, bang. Aku mengerti. Lain kali aku akan bersikap lebih tegas padanya," ucapku berusaha mengalah. Karena bersikeras pada suami yang keras kepala, memang tidak ada gunanya.

"Dek, kita sudah menikah. Berarti harta Abang harta adek juga. Jadi, sudah kewajiban adek untuk menjaganya dari orang lain," ucap bang Arman lagi.

Orang lain? bukankah Elisa itu anak kandungnya sendiri. Kenapa dia mengatakan orang lain? Aku menatap bingung padanya. Namun aku tidak berani membantahnya lagi.

Aku cuma diam.

"Dek, karena kedisiplinan Abang mengatur keuangan lah yang membuat Abang bisa memiliki dua toko di Tanah Abang. Jika Abang boros dan tidak tegas, pastilah sudah lama Abang bangkrut," bang Arman melanjutkan ceritanya.

Aku hanya menyimak saja. Biarlah bang Arman bercerita panjang lebar tentang perjalanan hidupnya dari hanya seorang pedagang kaki lima hingga menjadi pemilik dua toko di Tanah Abang. Itu lebih baik dari pada dia mendiamkan aku.

***

Masalah Elisa sudah berakhir dengan permintaan maaf ku. Meskipun aku sendiri bingung, dimana letak salahku. Aku hanya berharap rumah tangga kami berjalan lancar tanpa adanya pertengkaran berlarut-larut.

Namun, masalah kembali muncul. Kali ini lebih besar. Ini masih tentang Elisa. Ia kembali datang ke toko ketika bang Arman tidak berada di tempat. Seakan ia sengaja melakukan itu. Kali ini dia juga membawa ibunya. Wanita dengan dandanan menor dan memiliki rambut yang di rebonding. Ia menatapku dengan sinis. Setelah itu mengacuhkan ku.

Aku berbisik pada Rindi. "Rin, itu mantan istri bang Arman?" tanyaku.

"Iya, kak. Tengoklah! Dia pasti ke sini mau merampok barang-barang toko," kata Rindi kesal. Namun Rindi tidak bisa berbuat apa-apa, dia sadar jika dia hanya karyawan toko yang di gaji bang Arman. Tapi, aku istri bang Arman. Tentu aku berhak melarang mereka, pikirku. Apalagi tempo hari bang Arman marah padaku karena Elisa mengambil barang toko tanpa seizinnya.

Aku melihat saja, saat ibu dan anak itu memilih-milih barang di toko. Mereka tertawa-tawa seraya berbisik-bisik sambil menatap sinis padaku.

Ya, aku memang tersinggung dan merasa tidak nyaman. Namun aku harus bersabar.

"Rindi, mana kantongnya?" tanya mantan istri bang Arman. "Bungkusin, dong!"

Rindi tampak kebingungan. Ia menatap padaku.

"Coba dihitung dulu, Rin!" perintahku.

Ibu dan anak itu menatapku dengan mata terbelalak. Dengan langkah lebar, mereka datang menghampiriku. Wajah mereka memerah menandakan betapa marahnya mereka padaku.

"Eh, perempuan kampung! kamu tahu siapa aku? Hah?!" Mantan istri bang Arman melotot menatapku seraya berkacak pinggang.

Aku terkejut. Betapa kasarnya kata-kata yang keluar dari mulut wanita kota ini, pikirku. Aku menarik nafas panjang berusaha untuk bersikap tenang.

"Maaf, Bu. Saya memang tidak mengenal ibu. Ibu siapa, ya?" tanyaku tanpa terpancing oleh sikap kasarnya.

Mata wanita itu semakin melotot menatapku. Nafasnya sudah memburu.

"Dasar wanita g*bl*k!!" makinya padaku.

Aku kembali terkejut. Aku geleng-geleng kepala.

"Eh, dengar baik-baik! Aku ini ibu Elisa, anak suami kamu! Pemilik toko ini. Jadi, aku dan anakku berhak mengambil apa saja di toko ini. Ngerti kamu?!" Matanya mendelik menatapku. Seandainya aku tidak mempersiapkan diri, pastilah aku menangis saat ini karena dipermalukan. Apalagi banyak yang melihat keributan yang dibuatnya.

"Oh, jadi ibu mantan istri suami aku?!" Aku tersenyum. "Sekarang, ibu yang dengar aku. Aku saja yang jadi istrinya bang Arman, tidak merasa berhak mengambil barang toko seenak hatiku saja. Apalagi ibu yang hanya seorang mantan istri!" ucapku tenang tapi langsung mengena ke sasarannya. Ini terbukti dengan wajahnya yang merah padam. Apalagi banyak pengunjung yang mengikuti pertengkaran kami, malah mencibir padanya.

"Idih, mantan istri saja, songongnya minta ampun. Pantas saja dulu di cerai!" komentar seorang pengunjung. Meski ia berbisik dengan temannya tapi cukup jelas tertangkap di telinga kami.

Wajah mantan istri bang Arman semakin memerah. Ia mempelototi para pengunjung yang melihatnya.

"Apa kalian lihat-lihat?! Kalian pikir ini sinetron?! Hah?! Pergi sana! Bubar! Bubar!" teriaknya memaki orang-orang yang menontonnya.

Para pengunjung malah meneriakinya. Ia semakin berwajah masam. Dengan geram ia menarik tangan putrinya dan keluar dari toko.

"Hei, jangan lupa bajunya di kembalikan, Bu!" teriakku.

Ia menoleh dan menatap bengis padaku. Kemudian melempar baju-baju yang tadi dipilihnya. Para pengunjung kembali meneriaki pasangan ibu dan anak itu. Mereka kemudian berlari terbirit-birit. Aku tersenyum penuh kemenangan.

"Sabar ya, mbak!" Seorang pengunjung menghiburku.

Aku mengangguk. "Terima kasih, Bu!" ucapku tulus seraya tersenyum ramah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status