Dia Ibumu bukan Ibuku
POV Author
'Apa yang harus aku lakukan? Ya Allah beri aku petunjuk.' Rendi berbicara dalam hati. Mendengar Clara meminta sertifikat rumah ini. Dia pasti akan menghabiskannya untuk bersenang-senang dengan lelaki tua itu. Padahal, semua aset yang Rendi miliki adalah hasil dari kerja kerasnya dahulu. Dia tidak akan membiarkan mereka mengambilnya begitu saja.
"Kamu bisa memilih, Clara. Tinggal disini bersamaku atau keluar dari rumah ini bersama Ibu."
"Maksud kamu apa, Mas? Dia ini Ibuku lho. Kamu tidak bisa mengusir dia dengan mudah, sedangkan aku ini anak kandungnya."
"Dia Itu Ibumu tapi bukan Ibuku."
"Eh, Rendi. Jangan sombong ya, kamu itu lumpuh kalau bukan karena anakku mana bisa kamu hidup enak seperti ini! Sekarang malah sok-sokan mengusirku dari rumah ini. Jangan mimpi, aku tidak akan pergi, seharusnya yang pergi itu kamu!" Suara Ana begitu lantang. Dia sangat marah ketika Rendi mengatakan itu. Dia harus pergi dari rumah ini. Agar rumah tangga Rendi masih bisa diselamatkan.
Tapi wanita itu benar-benar tak punya hati. Dia melihat Rendi dengan susah payah berdiri dari tempatnya jatuh. Tapi hanya melihat saja tanpa mau membantu. Dengan kekuatan seadanya Rendi kembali duduk di kursi roda. Meskipun dengan keringat bercucuran dan dengan susah payah.
"Ini rumahku, saya berhak siapa saja yang boleh tinggal disini. Kalau kamu tidak suka, kamu bisa ikut pergi dari sini." Rendi memutar roda menuju kamar. Disanalah Rendi menata hati dan juga pikiran. Jantungnya berdetak tak karuan. Dia harus mengumpulkan keberanian menghadapi istri dan juga Ibu mertuanya. Kali ini dia tidak akan mengalah, satu langkah pun tidak.
Rendi membuka laptop yang ada disampingnya. Selama ini dia masih bekerja, meskipun dirumah. Sebenarnya Rendi ingin mengatakan kepada istrinya. Namun sayang, Tuhan lebih sayang Rendi sepertinya. Memperlihatkan keburukan mereka sebelum semua penghasilan ia berikan pada Clara.
"Aku harus bisa mendapatkan semuanya kembali, lalu membuat Clara benar-benar minta maaf kepadaku." gumam Rendi pelan.
"Mas, tidak bisa gini dong. Masak Ibu pergi dari rumah ini?" Tiba-tiba Clara masuk kedalam kamar.
"Tinggalkan lelaki itu atau kita bercerai!" Rendi masih menatap jauh ke depan.
"Ow, jadi kamu mulai melawan ya? Siapa yang bakal ngurusin kamu? Kamu mau dirumah besar ini sendiri?" Clara menantang.
"Bukannya selama ini aku sendiri? Bukannya selama ini aku lakukan semuanya sendiri?" Clara hanya diam lalu melempar pandangannya ke sembarang arah. Dia tidak pernah menyangka jika Rendi akan seperti ini.
"Oke, sekarang mau kamu apa sih, Mas?"
"Tinggalkan lelaki tua itu! Atau karir kamu akan hancur?"
"Hancur? Hahaha, bisa apa kamu, Mas. Orang Caca* ke kamu bisa lakukan apa?" Clara tertawa meremehkan, dia tidak percaya dengan Rendi. Sedangkan Rendi hanya diam dia tidak mau menjawab dia hanya tersenyum kecut lalu menatap netra wanita yang sudah berkhianat itu.
"Kau pilih karir atau tua bangk* itu?!"
Clara pergi meninggalkan Rendi. Dia tidak tahu bahwa lelaki tua itu adalah tambang emas bagi Clara. Tidak akan pernah Clara melepas tambang emasnya begitu saja.
Sedangkan karier, dia percaya bahwa Rendi tidak akan pernah tega membiarkan dia jatuh terpuruk.
***
Pagi ini Clara sudah begitu rapi dia berniat berangkat kerja. Tapi langkahnya terhenti kala benda pipih di tangannya terus saja berdering.
"Apa sih pagi-pagi telepon Mulu, berisik tau!" Teriak Clara pada orang yang ada di seberang telepon.
"Kamu dipanggil Pak Bos. Buruan berangkat!"
"Kenapa? Mau dapet bonus ya? Secara kemarin kan aku dah bantuin banyak hal yang bikin tender kita menang."
"Kagak tahu. Udah buruan!"
Clara mematikan sambungan telepon lalu mencari keberadaan kunci mobil. Mencari kesana-kemari tapi tak juga ia temukan.
"Mas, kamu taruh dimana kunci mobil aku?"
"Itu bukan mobil kamu!"
"Ok, itu mobil kamu. Udah deh pagi-pagi nggak usah ribet. Mana kuncinya, buru-buru nih!"
"Nggak ada, kamu naik ojek online saja. Mulai sekarang jangan pernah pakai mobil itu lagi!"
"Ya Allah, Mas. Kamu beneran marah? Eh, asal kamu tahu ya, aku bisa beli mobil kek punyamu itu sepuluh sekaligus. Kalau mau mobilmu itu bisa aku beli. Jangan sok nggak butuh bantuan, kalau aku sama Ibu benar-benar pergi dari rumah ini. Kamu baru tau rasa!"
"Apa sih ribut-ribut? Pagi-pagi dah bikin kepala pusing dengernya."
"Mas Rendi ini lho, Bu. Ngelarang aku pake mobil punya dia. Padahal aku buru-buru mau pergi kekantor."
"Udah nggak usah ngurusi dia. Mending kita pergi, Ibu nggak betah dirumah sama dia, biar dia kelaparan terus koit kita nggak perlu repot-repot ngurusin lagi."
Clara dan juga Ana pergi begitu saja meninggalkan Rendi. Tanpa menyiapkan makanan terlebih dahulu. Mereka benar-benar menginginkan Rendi pergi. Tapi kali ini Rendi lebih bersikap berani. Dia berani mengambil resiko ditinggalkan Clara, istrinya.
Karena Rendi selama ini mengurus keperluannya sendiri. Jadi tak ada bedanya ada atau tidak Clara disisinya. Jika hanya sekedar makan saja, dia bisa pergi ke warung yang tak jauh dari rumahnya.
Kali ini Rendi memutuskan pergi ke warung. Membeli kebutuhannya dan juga makan untuknya sendiri. Roda itu terus berputar di jalanan komplek yang lumayan sepi.
"Eh, Mas Rendi? Mau beli apa?" tanya penjaga warung.
"Mau makan, Bu. Makan disini saja sama minumnya teh manis. Nanti dibungkus juga dua ya Bu. Lauknya dipisah seperti biasa."
"Siap, Mas Rendi. Memangnya Mbak Clara nggak pernah masak ya, Mas? Mas Rendi jajan Mulu?!"
Rendi hanya tersenyum tanpa menjawab sepatah katapun. Dia tidak mau Masalah rumah tangganya diketahui banyak orang.
"Eh, mau apa lagi kamu kesini? Mau ngutang? Nggak ada, utangmu yang kemarin belum dibayar, jadi kamu nggak bisa ngutang disini!" Teriak pemilik warung itu pada seorang wanita berjilbab.
"Tapi Bu, saya sudah nggak punya beras untuk dimasak. Kasihan, Salsa belum makan," ucap wanita itu dengan lemah. Antara menahan malu dan juga menahan lapar.
"Memangnya saya ini Ibumu, utang-utang kamu aja belum lunas. Masih banyak, sudah mau ngutang lagi! Bisa-bisa aku bangkrut! Sudah pergi sana!"
Rendi hanya melihat pemandangan memilukan itu. Menatap wanita berjilbab itu pergi dengan kekecewaan. Bersedih atas anak yang tidak bisa makan hari ini.
Setelah selesai makan Rendi segera pulang kerumah. Membersihkan tubuh lalu kembali menghadap laptop. Matanya hanya tertuju pada layar hingga tak disadari jam menunjukan pukul tiga dua tepat.
Tok … tok ...tok
Suara ketukan pintu dari luar terdengar hingga ke dalam rumah. Rendi melihat jam yang melingkar di dinding. Bukan jam Clara pulang, lantas siapa yang bertamu. Pasti Ana, ibu mertuanya. Itu yang terbesit dalam pikiran Rendi.
Rendi segera membuka pintu dengan memutar kursi rodanya perlahan.
"Siapa ya?" tanya Rendi pada tamu yang baru saja datang.
#Rania"Saya Rania, wanita yang tadi Anda bantu." Rendi mengangguk dia ingat. Setelah kepergian wanita itu dia membayar semua hutang-hutangnya dan meminta pemilik warung memberinya beras. Penampilan wanita tadi berbeda, sangat berbeda hingga Rendi tak bisa mengingatnya. "Oh," jawab Rendi singkat."Saya mau mengucapkan terima kasih banyak, tapi maaf saya belum bisa mengembalikan uang Anda.""Ndak perlu, saya ikhlas.""Tapi maaf, saya Tidak terbiasa mendapat bantuan secara cuma-cuma.""Tidak apa-apa, anggap saja saya bersedekah." Rendi masih bersikap biasa saja. Wanita itu memang tidak ada yang spesial jika dilihat. Mereka memang tetangga, tapi tak saling kenal. Jarak rumah antara keduanya bisa dibilang cukup jauh. Jadi wajar jika mereka tidak saling mengenal."Dengan Bapak siapa ya kalau boleh tahu?""Rendi," jawab Rendi biasa saja.Deru mobil terdengar berhenti tepat di depan rumah Rendi. Lelaki itu tahu siapa yang datang. Netra kedua insan yang tengah berhadapan itu saling menatap k
Bab 5 Talak Teriakkan Clara begitu memekikkan telinga. Dia begitu histeris ketika melihat koper miliknya sudah siap. Dia juga melihat apakah koper itu benar- benar berisi pakaian miliknya. Jika itu terjadi berarti Rendi sudah kehilangan akal. "Apa sih Clara teriak-teriak kek orang kesurupan gitu?" tanya Ana, Ibu Clara. "Ini, Bu. Lihat Mas Rendi benar-benar mengusir Clara." "Laki-laki cac*t itu benar-benar keterlaluan. Jika tidak ada kita memangnya dia mau hidup dengan siapa? Dia benar-benar cari masalah," ucap Ana sambil berkacak pinggang. Lalu pergi ke kamarnya memastikan apakah dia juga ikut diusir oleh Rendi dari rumah itu. "Allahuakbar, Rendi kamu bener-bener ya!" Teriakan Ana juga terdengar dari kamarnya. Clara yakin bahwa pakaian Ana sudah rapi dalam koper. Mereka tidak pernah menyangka Rendi akan berbuat senekat ini. "Mas, aku ini istrimu lho. Mau tinggal dimana aku? Lagian siapa yang akan mengurusmu nanti?" "Aku bisa lakukan semuanya sendiri. Nggak perlu khawatir!"
Kehilangan arahRendi tertunduk. Matanya mengembun, dia tidak pernah mengira jika kata talak benar-benar sudah diucapkan. Dia harus bisa menerima semuanya. Hidup sendiri tanpa ada orang yang menemani. Meskipun pernikahan yang ia bangun masih seumur jagung. Namun dia harus bisa menerima. Jika Clara bersamanya terus bukan hanya Rendi yang akan terluka tapi Clara juga akan terluka. Dia butuh sentuhan butuh nafkah batin. Sedangkan Rendi, dia tidak bisa memberikannya. Rendi sudah memikirkan matang-matang keputusannya ini. Selama ini dia cukup pandai mengurus hidupnya sendiri. Jadi jika tidak ada lagi Clara dia sudah bisa menjalani hidupnya seperti biasa.Meskipun tak pernah ia pungkiri. Dia masih menyimpan cinta itu untuk Clara. Tapi luka yang diberikan wanita itu juga terlalu dalam. Cukup untuk mengubur rasa itu dalam-dalam.****"Bu, kamu itu jangan tertipu dengan muka Rendi yang sok lugu itu. Dia memang begitu kok!" ucap Ana sembari memberikan kode pada Clara.Clara hanya diam dia me
Putus AsaIni malam pertama bagi Rendi tanpa Clara tanpa Ana. Dia benar-benar sendiri. Benar-benar merasakan sepi. Rendi kembali menatap kakinya. Dia benar-benar putus asa. Tanpa ada satu orang pun yang menguatkannya. Lelaki itu malam ini begitu lemah. Hingga dia berpasrah kepada Allah. Mencurahkan segala gundah dalam hati. Meminta diberikan kekuatan dan juga kesabaran.Rendi duduk termenung di sisi Ranjang. Dia benar-benar berusaha keras melakukan semuanya sendiri. Meskipun baginya begitu luar biasa sulitnya.Bayangan Clara sekelebat terbesit dalam pikirannya. Clara yang cantik, anggun dan juga cerdas. Dia wanita yang mengagumkan. Hingga akhirnya Rendi jatuh hati pada wanita itu.Dulu dia berharap Clara adalah wanita terakhir untuknya. Wanita terbaik dan juga wanita tercantik yang ia miliki. Namun sayang, takdir membuat Clara berkhianat. Ketika Rendi tak lagi bisa memberi nafkah batin.Kini takdir benar-benar berjalan. Takdir yang akan memisahkan mereka. Tak pernah ada rencana maupun
Rania menyelesaikan tugasnya di depan rumah. Kini dia berniat mencuci baju di halaman belakang. Satu persatu baju dia pisah lalu ia masukan dalam mesin cuci. Sesekali matanya melirik di celah-celah pagar besi yang menjadi pembatas antara rumah Bu Husen dengan Rendi. Entah mengapa perasaannya selalu tertuju pada rumah orang baik yang sudah membantunya tempo hari. Matanya membulat sempurna karena mendapati sosok yang ia cari sedang menangis sesenggukan. Rania kembali menajamkan indera penglihatannya agar bisa jelas melihat Rendi sedang melakukan apa? Mata Rania memindai, melihat tangan Rendi sedang memegang sebotol obat nyamuk. "Astagfirullahaladzim, Mas … Mas Rendi, mau ngapain?" Rania menggedor-gedor pagar besi. Berharap Rendi mau merespon panggilannya. Namun sayang, Rendi masih fokus dengan barang ditangan. Seperti kehilangan arah, lelaki itu kembali menangis tersedu-sedu. Padahal semalam dia sudah mencurahkan isi hatinya pada Tuhan. "Ya Allah, Mas Rendi. Istighfar," teriak
Kejutan besar"Lihat, Pak RT. Mereka sedang berzina. Jangan buang-buang waktu. Kita arak saja, seperti kebanyakan pelaku zina yang sudah tertangkap basah. Daripada nanti mereka kabur!" tutur Clara dengan nada bicara menggebu-gebu. Wanita itu benar-benar lupa, lelaki yang dia fitnah baru saja adalah suaminya sendiri. "Sabar … sabar, Mbak Clara. Semua bisa dibicarakan baik-baik, kita akan mengambil keputusan jika semua sudah jelas.""Lho Pak RT ini bagaimana? Mereka ini jelas-jelas berzina, nggak bisa dimaafkan. Menjijikan!" sahut Ana dengan lantang. Wanita tua itu berusaha mengompori warga. Namun sayang, tak ada satupun yang mengucapkan sepatah kata. Mereka hanya terdengar saling kasak-kusuk dari belakang."Ayo kita duduk dulu, tolong Pak, Mas Rendi di bantu ke ruang tamu. Kita bicara baik-baik disana." jawab Pak RT dengan penuh ketenangan. Beruntung tadi Pak RT sedang berada di rumah, jika tidak mungkin akan berbeda cerita."Sekarang Mbak Clara silahkan menjelaskan kronologinya. Baga
POV RendiAku masih tidak percaya dengan apa yang akan aku lakukan. Sepertinya aku sudah kehilangan akal. Hingga berniat mengakhiri hidup.Tapi niatku itu urung kulakukan ketika Rania, wanita yang pernah aku tolong malah menghentikannya.Entah dari mana hati wanita itu? Dia rela difitnah untuk menyelamatkan hidupku. Kini kami di sidang oleh Bapak RT maupun warga terdekat. Banyak yang menyayangkan perbuatanku. Tapi mereka tidak tahu apa yang aku rasakan. Mereka hanya melihat sisi dimana aku begitu putus asa.Beruntung para tetangga dan juga Pak RT yakin jika kami tidak melakukan zina. Seperti apa yang dituduhkan Clara pada kami. Dia hanya menuduh tanpa memberi barang bukti. Aku bernafas lega, akhirnya semua pergi dari rumahku. Tapi tidak dengan Clara dan ibu mertua. Mereka masih disini. Mencibir dan juga terus saja menjatuhkan mental. Bayangkan, aku seorang laki-laki yang semula normal menjadi lumpuh alias cacat karena sebuah kecelakaan. Apa kalian tidak bisa merasakan apa yang aku
POV Author"Sah," ucap para saksi lantang dan keras. Pernikahan yang digelar Rendi dan juga Rania begitu sederhana. Hanya ada beberapa warga dan juga kerabat. Itu pun bisa dihitung dengan jari."Ih, paling ini cuma akal-akalan si Rania. Dia kan janda, mana mungkin ada wanita yang mau menikah dengan pria Caca* kek dia," ucap para tetangga dengan sedikit berbisik. Meskipun demikian indera pendengaran Rania masih bisa mendengar dengan jelas."Iya, lagian nggak mungkin kalau dia mau menikah tanpa ehem-ehem. Ye kan?""Ehem-ehem apaan sih, Jeng?""Itu belah duren.""Ow, itu. Kan yang penting dapet duit. Model-model kek Rania kagak tahu aja!"Kasak-kusuk omongan para tetangga terdengar juga di telinga Rendi. Dia masih diam, dia menerima permintaan Rania. Entah karena apa? "Lagian, Jeng. Surat perceraian sama si Mbak Clara kan belum turun. Eh, dah kawin lagi, doyan banget nikah. Emangnya nggak takut kalau dikhianati lagi?" "Namanya juga laki, Jeng. Kayak gak pernah aja! Hahaha." Suara itu t