Kusembunyikan Kekayaanku Dari Suami dan Mertua Zalim (4) Mia memarkir motornya di depan sebuah anjungan tunai mandiri. Antrian tidak terlalu ramai sehingga ia bisa cepat-cepat masuk dan melakukan transaksi di dalamnya. Tak sabar, wanita itu memasukkan kartu ATM dan mulai melakukan transaksi. Ini gajian pertamanya dari sebuah aplikasi kepenulisan yang meskipun baru dirilis, tetapi ternyata cukup bisa mewujudkan mimpinya sebagai seorang penulis selama ini. Ia sendiri sebenarnya bukan baru-baru ini saja kenal dunia tulis-menulis. Jauh sebelum ini, ia sudah sering menulis di platform kepenulisan, tetapi ia tak terlalu menekuni hingga hobinya itu belum menghasilkan apa-apa, kecuali hanya nama saja. Tetapi berkat informasi dari teman-teman sesama penulis akhirnya ia menjadi tahu bahwa ternyata ada beberapa platform menulis yang saat ini memberikan royalti pada penulisnya. Mereka menyarankannya untuk ikut gabung dan mendaftar di sana. Dan ternyata semua itu tidak sia-sia. Buktinya so
Kusembunyikan Kekayaanku Dari Suami dan Mertua Zalim (5)Mia masuk ke dalam kamar, mengunci pintu lalu melepaskan jaket tebal yang membungkus tubuhnya.Dikeluarkannya makanan kering yang barusan ia beli tadi lalu menyimpannya ke dalam tas pakaian berukuran besar di atas lemari.Saat ini perutnya masih kenyang. Nanti jika sewaktu-waktu lapar, ia bisa mengganjalnya dengan makanan kering yang barusan ia beli tadi.Mia mengambil ponsel lalu membuka menu catatan, hendak melanjutkan cerita bersambung yang sedang ia tulis dan berencana akan mempostingnya di aplikasi kepenulisan yang sedang ia ikuti tersebut.Namun, baru saja hendak melakukan aktivitasnya, tiba-tiba benda di tangannya berdering. Sebuah nama tampak berkedip-kedip di layar. Rika, sahabat karibnya.Wanita itu mengusap tombol jawab lalu menyapa sang sahabat di seberang sana."Assalamualaikum, Rik, tumben nelpon sore-sore, ada apa?" sapanya di telepon."Waalaikum salam ...
Kusembunyikan Kekayaanku Dari Suami dan Mertua Zalim (6)Azmi pulang saat jarum jam sudah menunjukkan angka dua belas malam. Penampilan lelaki itu tampak kusut dengan rambut dan kemeja yang berantakan.Bukan kebiasaan baru sebenarnya bagi lelaki itu pulang malam seperti ini, tetapi tetap saja batin Mia merasa sakit setiap kali menyambut suaminya pulang dalam keadaan lelah dan tidak berstamina lagi seperti sekarang ini.Entah dihabiskan di mana waktu suaminya itu setiap malam. Apakah dihabiskan di coffe shop bersama teman-temannya seperti yang sudah-sudah atau sekarang ganti bersama Mizka seperti laporan Rika, sahabatnya tadi? Ya, bisa saja kebiasaan nongkrong suaminya berubah sejak kenal Mizka."Mas, kamu dari mana?" tak tahan memendam rasa ingin tahu, akhirnya keluar juga pertanyaan itu dari bibir Mia.Azmi mendengkus keras mendengar pertanyaannya, "ngapain kamu tanya-tanya? Mau ke mana dan ngapain aja aku di luar, apa hakmu in
Kusembunyikan Kekayaanku Dari Suami dan Mertua Zalim (7)"Apa! Main perempuan? Jadi kamu menuduh aku sudah main perempuan? Lancang benar kamu! Tahu dari mana aku main perempuan! Hati-hati kamu bicara!" Azmi tampak kesal mendengar tuduhan Mia. Lelaki itu mengibaskan tangan lalu melempar jaket yang ia pakai dengan kasar ke atas tempat tidur. Mendengar tuduhan Mia, hatinya kesal bukan main."Firasatku yang mengatakan itu, Mas! Lihat penampilan kamu sekarang, baju kamu, rambut kamu, semua acak-acakan. Dan ini ... ada bekas lipstik dan parfum wanita di sini. Kamu masih mau bilang nggak main-main dengan perempuan di luaran?" Telunjuk Mia terarah pada kerah kemeja Azmi yang dinodai warna merah bekas noda lipstik perempuan, juga wangi bau parfum khas wanita yang menguar dari kemeja sang suami. Kedua hal itu rasanya cukup masuk akal untuk membuat ia menarik kesimpulan seperti itu."Kamu jangan nuduh sembarangan tanpa bukti ya, Mia! Ini cuma noda kotoran, bukan lipstik! J
Kusembunyikan Kekayaanku Dari Suami dan Mertua Zalim (8)Ditanya begitu, Azmi salah tingkah. Ia tak biasa berbohong pada ibunya tetapi untuk jujur berkata iya, ia juga ragu."Maaf, Bu ... aku ...." Azmi tergagap. Ia takut ibunya bakal marah jika ia berkata jujur, itu sebabnya ia tak mampu meneruskan kata-katanya dan bicara jujur tentang perselingkuhannya bersama gadis bernama Mizka itu."Nggak papa, kalau memang kamu menyukai perempuan ini dan perempuan ini juga menyukai kamu, ibu dukung kok. Sepertinya dia bahkan jauh lebih baik daripada istrimu ini. Jadi, lanjutkan saja hubungan kalian. Ibu merestui. Jujur, ibu lebih suka kamu menikahi perempuan ini daripada istrimu yang sekarang ini. Kamu dengar Mia, biar saja mereka melanjutkan hubungan. Kalau kamu ikhlas, biarkan Azmi menikah lagi, tapi kalau kamu nggak rela, silahkan kamu pergi dari rumah ini!""Ibu!" pekik Mia kencang.Bagaimana bisa ibu mertuanya bukannya melarang perbuatan buruk anak lelak
Melihatnya memotong jalan, Bu Rina hanya mampu mendengkus kesal. Tetapi perempuan paruh baya itu akhirnya berlalu juga dari kamar menantunya itu, toh Mia sudah setuju untuk keluar dari rumah ini pagi-pagi sekali. Itu yang penting. Sebentar lagi ia akan menerima kehadiran menantu baru, seorang pengusaha salon kecantikan bernama Mizka.*****Pagi-pagi sekali, usai melaksanakan salat subuh, Mia langsung beres-beres, mengepak pakaian.Meski rasa sedih masih sedikit menggelayutinya mengingat perkawinan seumur jagungnya yang tampaknya harus segera berakhir, tetapi Mia tak punya pilihan lain. Ia harus segera meninggalkan rumah ini demi memenuhi kehendak ibu mertua yang tak menginginkan lagi keberadaannya di rumah ini.Usai mengepak pakaian, Mia bergegas keluar kamar. Hendak berpamitan pada sang mertua. Sementara pada Azmi, suaminya, malam tadi ia sudah menegaskan jika pagi-pagi sekali ia akan pulang ke rumah orang tuanya, sesuai permintaan ibunya.A
"Azmi! Bangun! Sudah siang! Berangkat kerja sana, hari sudah jam tujuh!" teriak Bu Rina selepas kepergian Mia sembari membuka pintu kamar Azmi dan mendengkus kesal saat melihat putranya itu masih asyik menggelung di bawah selimut.Bu Rina menyentak selimut yang membungkus tubuh anak lelakinya itu lalu menepuk bahu Azmi sedikit keras."Bangun!" bentaknya lagi."Iya Bu. Sabar. Aku udah bangun kok." Azmi mengucek mata lalu bangun dari tempat tidur dengan gerakan malas. Setelah kesadarannya pulih, lelaki itu menoleh ke kanan dan ke kiri."Mia mana, Bu? Biasanya pagi-pagi udah bangun dan bikinin kopi? Kok ini belum ada?" tanyanya sembari menyapu meja kecil di sudut tempat tidur, tempat biasanya setiap pagi Mia meletakkan secangkir kopi di sana. Tapi pagi ini meja itu kosong."Mia kan udah pulang barusan! Ngapain ditanyain lagi? Sudah! Buruan bangun terus siap-siap berangkat! Hari sudah siang!" hardik Bu Rina sembari mendorong punggung anaknya supaya lek
"Kamu benar, Rik. Makanya aku nggak mau pulang ke kampung dulu. Aku mau buktikan ke mereka dulu kalau aku juga bisa sukses seperti menantu-menantu kebanggaan Bu Rina yang lain. Aku pengen buat mereka menyesali habis-habisan penghinaan mereka terhadapku selama ini. Alhamdulillah sekarang aku sudah punya penghasilan sendiri, Rik. Baru mulai sih, tapi insyaallah mau aku seriusin supaya terus bisa menghasilkan uang. Jadi, sementara aku nggak akan cari pekerjaan dulu, lagipula sebentar lagi kandunganku besar, bakalan susah juga dibawa kerja. Aku numpang tinggal di kosan kamu aja ya kalau kamu nggak keberatan. Nanti kalau ada kosan baru yang kosong, baru aku pindah. Makasih ya buat semua pertolongan kamu, Rik. Kalau nggak ada kamu, nggak tahu deh, bakal gimana aku sekarang ini. Kamu emang sahabat terbaik yang aku punya sedari dulu," ucap Mia panjang lebar pada sahabatnya dengan rasa haru membuncah di dadanya. Dari dulu, memang hanya Rika satu-satunya sahabat yang selalu siap sedia mendeng