Kusembunyikan Kekayaanku Dari Suami dan Mertua Zalim (8)
Ditanya begitu, Azmi salah tingkah. Ia tak biasa berbohong pada ibunya tetapi untuk jujur berkata iya, ia juga ragu.
"Maaf, Bu ... aku ...." Azmi tergagap. Ia takut ibunya bakal marah jika ia berkata jujur, itu sebabnya ia tak mampu meneruskan kata-katanya dan bicara jujur tentang perselingkuhannya bersama gadis bernama Mizka itu.
"Nggak papa, kalau memang kamu menyukai perempuan ini dan perempuan ini juga menyukai kamu, ibu dukung kok. Sepertinya dia bahkan jauh lebih baik daripada istrimu ini. Jadi, lanjutkan saja hubungan kalian. Ibu merestui. Jujur, ibu lebih suka kamu menikahi perempuan ini daripada istrimu yang sekarang ini. Kamu dengar Mia, biar saja mereka melanjutkan hubungan. Kalau kamu ikhlas, biarkan Azmi menikah lagi, tapi kalau kamu nggak rela, silahkan kamu pergi dari rumah ini!"
"Ibu!" pekik Mia kencang.
Bagaimana bisa ibu mertuanya bukannya melarang perbuatan buruk anak lelakinya, malahan justru mendukungnya. Ibu seperti apa yang bisa seburuk itu akhlaknya. Sungguh tak habis pikir Mia dibuatnya.
"Kenapa? Kamu mau protes? Denger ya, kalau memang perempuan ini menyukai Azmi, ibu justru bersyukur banget. Dia ini pengusaha salon, nggak kayak kamu yang pengangguran dan cuma bisa minta makan sama suami! Lebih baik Azmi menikah dengannya daripada sama kamu!" sergah mertuanya dengan kasar dan angkuh, membuat Mia rasanya tak sanggup berkata-kata. Kaget dan shock mendengar perkataan wanita di hadapannya.
"Ibu beneran merestui hubunganku dengan Mizka?"
Senada dengannya, Azmi pun bertanya pada sang ibu dengan nada tidak percaya. Mungkin tak menyangka ibunya akan mendukungnya bukan melarang mengingat saat ini ia masih memiliki istri. Sementara tak satu pun anak lelaki di keluarga mereka hidup dengan lebih dari satu istri.
"Iya dong, kenapa? Kamu kan tahu dari dulu ibu nggak pernah suka sama istrimu ini. Dari tiga menantu ibu, cuma dia yang nggak punya apa-apa. Bagus kamu ganti aja dengan perempuan lain, apalagi pemilik salon begini. Paling enggak dia punya punya penghasilan sendiri dan bisa ngasih ibu uang seperti Dini dan Sri, nggak seperti Mia yang nggak bisa ngasih apa-apa!" ucap mertuanya kembali dengan ketus, membuat Mia berkali-kali harus menghela nafas dan mengucapkan istighfar di dalam hati.
"Ibu serius?" ulang Azmi kembali.
"Ya, serius lah! Ngapain ibu main-main? Dari dulu ibu juga nggak setuju kamu nikahin Mia, kamu aja yang ngeyel. Sekarang baru kamu nyesel kan?" Bu Rina menatap anaknya dengan pandangan tajam, membuat Azmi makin salah tingkah.
"Tapi Bu. Nggak mungkin aku menceraikan Mia, dia sedang hamil, Bu. Gimana anaknya nanti kalau kami bercerai?"
"Gimana apanya? Nggak gimana-gimana dong, ibu bapaknya kan masih ada. Pasti maulah ngurusin cucunya. Cucu pertama kan calon anakmu di keluarga Mia? Biar aja mereka yang ngurus, kamu nikah lagi aja!"
"Cukup! Kalian nggak perlu lagi bertengkar seperti ini! Baik, kalau itu yang ibu mau, aku bercerai dari Mas Azmi. Besok pagi-pagi aku akan pergi dari rumah ini. Susah payah aku mencoba bertahan menjadi istri Mas Azmi. Nggak pernah dinafkahi, nggak pernah diperlakukan baik, tapi bukannya Ibu kasihan, justru selalu memusuhiku. Tapi tenang aja, besok pagi aku akan pergi kalau itu yang Ibu mau. Sekarang hari sudah larut, Bu. Izinkan aku istirahat. Permisi!"
Mia memotong jalan di antara sosok ibu mertua dan suaminya. Rasanya hati dan benaknya sudah teramat lelah. Selalu dimusuhi dan dihina seperti sekarang ini.
Mungkin ini batas kesabarannya menghadapi sang mertua yang sedari awal memang tak pernah menyukai dan merestui hubungannya dengan Azmi. Besok pagi ia akan pulang saja ke rumah orang tuanya karena kehadirannya tak dikehendaki lagi di rumah ini.
Biarlah suaminya menceraikannya dan menikah lagi dengan perempuan lain. Ia tak peduli lagi. Sudah cukup kesabarannya menghadapi sikap mertua dan saudara-saudara iparnya. Ia tak mungkin lagi bertahan. Meski pun janin dalam kandungannya saat ini akan menjadi korban dari perceraian kedua orang tuanya, tetapi ia tak punya jalan lain lagi untuk bertahan. Mungkin ini yang terbaik, ia mundur saja dari kehidupan seorang Azmi dan keluar dari rumah ini. Ya, mungkin itu yang terbaik yang harus ia lakukan.
Melihatnya memotong jalan, Bu Rina hanya mampu mendengkus kesal. Tetapi perempuan paruh baya itu akhirnya berlalu juga dari kamar menantunya itu, toh Mia sudah setuju untuk keluar dari rumah ini pagi-pagi sekali. Itu yang penting. Sebentar lagi ia akan menerima kehadiran menantu baru, seorang pengusaha salon kecantikan bernama Mizka.*****Pagi-pagi sekali, usai melaksanakan salat subuh, Mia langsung beres-beres, mengepak pakaian.Meski rasa sedih masih sedikit menggelayutinya mengingat perkawinan seumur jagungnya yang tampaknya harus segera berakhir, tetapi Mia tak punya pilihan lain. Ia harus segera meninggalkan rumah ini demi memenuhi kehendak ibu mertua yang tak menginginkan lagi keberadaannya di rumah ini.Usai mengepak pakaian, Mia bergegas keluar kamar. Hendak berpamitan pada sang mertua. Sementara pada Azmi, suaminya, malam tadi ia sudah menegaskan jika pagi-pagi sekali ia akan pulang ke rumah orang tuanya, sesuai permintaan ibunya.A
"Azmi! Bangun! Sudah siang! Berangkat kerja sana, hari sudah jam tujuh!" teriak Bu Rina selepas kepergian Mia sembari membuka pintu kamar Azmi dan mendengkus kesal saat melihat putranya itu masih asyik menggelung di bawah selimut.Bu Rina menyentak selimut yang membungkus tubuh anak lelakinya itu lalu menepuk bahu Azmi sedikit keras."Bangun!" bentaknya lagi."Iya Bu. Sabar. Aku udah bangun kok." Azmi mengucek mata lalu bangun dari tempat tidur dengan gerakan malas. Setelah kesadarannya pulih, lelaki itu menoleh ke kanan dan ke kiri."Mia mana, Bu? Biasanya pagi-pagi udah bangun dan bikinin kopi? Kok ini belum ada?" tanyanya sembari menyapu meja kecil di sudut tempat tidur, tempat biasanya setiap pagi Mia meletakkan secangkir kopi di sana. Tapi pagi ini meja itu kosong."Mia kan udah pulang barusan! Ngapain ditanyain lagi? Sudah! Buruan bangun terus siap-siap berangkat! Hari sudah siang!" hardik Bu Rina sembari mendorong punggung anaknya supaya lek
"Kamu benar, Rik. Makanya aku nggak mau pulang ke kampung dulu. Aku mau buktikan ke mereka dulu kalau aku juga bisa sukses seperti menantu-menantu kebanggaan Bu Rina yang lain. Aku pengen buat mereka menyesali habis-habisan penghinaan mereka terhadapku selama ini. Alhamdulillah sekarang aku sudah punya penghasilan sendiri, Rik. Baru mulai sih, tapi insyaallah mau aku seriusin supaya terus bisa menghasilkan uang. Jadi, sementara aku nggak akan cari pekerjaan dulu, lagipula sebentar lagi kandunganku besar, bakalan susah juga dibawa kerja. Aku numpang tinggal di kosan kamu aja ya kalau kamu nggak keberatan. Nanti kalau ada kosan baru yang kosong, baru aku pindah. Makasih ya buat semua pertolongan kamu, Rik. Kalau nggak ada kamu, nggak tahu deh, bakal gimana aku sekarang ini. Kamu emang sahabat terbaik yang aku punya sedari dulu," ucap Mia panjang lebar pada sahabatnya dengan rasa haru membuncah di dadanya. Dari dulu, memang hanya Rika satu-satunya sahabat yang selalu siap sedia mendeng
Sementara mendengar ucapan Mizka, Azmi hanya mampu menelan ludah. Pesan sang ibu agar ia jujur dan berterus terang soal persyaratan tersebut tampaknya telah membuat Mizka semakin ragu menerima pinangannya.Tapi apa mau dikata, nasi sudah jadi bubur. Persyaratan sang ibu sudah ia jelaskan dengan jujur pada Mizka. Namun, ia tak pernah mengira jika itu membuat gadis tersebut jadi ragu menerima lamarannya.*****Sementara di tempat lain, di sebuah rumah cukup mewah di kompleks perumahan lumayan elit, dua orang wanita yang tampak seumuran, sedang berbincang-bincang dengan serius. Mereka adalah Dina dan Sri, kedua menantu Bu Rina yang memang hubungan keduanya sebagai sesama menantu cukup dekat bahkan sangat dekat. Keduanya bahkan tak punya rahasia-rahasia lagi yang harus ditutupi satu sama lain.Dina dan Sri memang menikah di waktu dan hari yang sama. Kata Bu Rina demi menghemat waktu dan biaya, apalagi jodoh keduanya sudah sama-sama datang, maka beliau p
"Nggak tahu, Sri. Kalau menurut Aris gimana? Mbak juga bingung. Mas Heru juga nyalahin mbak, katanya mbak yang bikin masalah ini. Andai mbak nggak mengusulkan supaya sertifikat itu dipinjam, pasti kejadian ini tidak perlu terjadi. Gitu kata Mas Heru." Senada dengan Sri, Dina pun menghembuskan nafas dengan gundah."Terus gimana dong, Mbak? Aku bingung nih," keluh Sri lagi dengan ekspresi semakin tak tenang.Bagaimana ia bisa tenang, jika Dina yang lebih tua dan lebih berpembawaan diri tenang itu, saat ini justru terlihat sedang gelisah."Gini, kita tenang dulu. Urusan pinjam bank ini kan kesepakatan kita bersama. Jadi nggak bisa dong Mas Heru dan Aris mau nyalahin kita begitu aja. Orang yang make duitnya juga mereka sendiri. Kita cuma dikasih uang buat belanja tiap bulan. Itu pun jumlahnya nggak banyak. Pokoknya kita kompak aja Sri, kalau mereka mau menyalahkan kita, kita buka lagi perjanjian sebelum buka usaha dulu, bahwa apa pun yang terjadi mereka tidak akan m
Mendengar ucapan ibunya itu, Azmi hanya menelan ludah. Ia merasa tak ada gunanya lagi membantah kemauan ibunya. Lebih baik sekarang ia diam saja menerima keputusan ibunya itu daripada harus mengulangi lagi peristiwa kemarin, menikah dengan perempuan yang tak disetujui ibunya hingga akhirnya hidupnya tak pernah tenang karena perseteruan yang selalu terjadi antara mertua dan menantu. Antara Bu Rina dan Mia.Sedang kedua ibu dan anak tersebut diam dan tenggelam dalam pikirannya masing-masing, lamat-lamat terdengar ketukan beruntun pada daun pintu utama.Bergegas Azmi bangkit dari tempat duduk dan menuju pintu untuk membukanya. Di belakangnya, sang ibu mengikuti.Pintu ia buka dengan sekali kuak. Begitu pintu terkuak, di depannya berdiri dua sosok laki-laki bertubuh tinggi kekar dan berotot yang tampak menatap keduanya dengan sorot mata tajam dan penuh selidik."Bu Rina, orang tua dari Bapak Heru, benar?" salah seorang dari dua lelaki di hadapan mereka bertan
Sekarang rumah dan aset yang ia miliki telah berada dalam penguasaan bank tempat mereka meminjam uang, sementara Heru dan Aris mengaku belum memiliki kemampuan untuk membayar cicilan yang sudah menunggak. Itu artinya tak lama lagi, aset yang mereka jadikan agunan akan menjadi milik bank dan akan dilelang untuk menutupi dan membayar sisa hutang mereka.Lalu jika itu benar-benar terjadi, ia akan tinggal di mana dan bersama siapa? Arrgh, Bu Rina merasa emosi sekali dibuatnya."Dasar menantu kurang ajar! Nggak punya otak! Bagaimana bisa kalian yang ibu banggakan dan ibu percaya selama ini bisa mengkhianati ibu seperti ini? Coba bilang sama ibu, alasan apa yang membuat kalian tega membohongi dan menipu ibu seperti ini!" sembur Bu Rina sembari menatap kedua menantunya dengan pandangan penuh kebencian dan rasa kecewa."Selama ini ibu selalu menyanjung dan bangga pada kalian. Ibu bersyukur punya menantu yang ibu kira sangat patuh dan sayang pada mertua tetapi ternyata h
Sri sadar mertuanya itu saat ini pasti sedang dalam keadaan stress berat memikirkan harta kekayaan yang disita bank. Itu sebabnya ia berusaha untuk meredakannya dengan menunjukkan penyesalan dan rasa bersalah yang tinggi meskipun dalam hati ia tetap tak mau rugi jika seperti pendapat Azmi tadi, aset berupa rumah yang ia dan Dina miliki, dijual demi membayar hutang dan menebus jaminan. Toh, uang itu dinikmati juga oleh ibu mertuanya dari pemberiannya dan suami. Bu Rina saja yang tidak tahu dan tidak peduli dari mana uang itu berasal karena sifat serakahnya."Sri benar, Bu. Aku juga minta maaf sudah bohongin ibu selama ini. Aku menyesal, tapi disesali gimana pun rumah dan tanah itu sudah sulit kembali lagi karena hutang berikut bunga yang harus dibayar masih banyak. Dijual sekalipun belum tentu bisa membayar hutang kami," ujar Aris menimpali ucapan istrinya."Terus kalau nggak sanggup bayar, kalian mau lepas tangan begitu saja? Kalian nggak mikir ibu mau tinggal di mana