“Badan kamu sehat ‘kan?”
Tampak kecemasan membayang di wajah Harso. Apalagi pekerjaannya sebagai sopir pribadi sering mengharuskan dirinya keluar kota.
“Raisa sehat, Pak. Bapak berangkat aja. Nanti bosnya marah-marah lagi.”
“Jaga adik kamu ya, Raisa. Jangan keluyuran malam-malam!”
“Iya, Pak.”
Setelah berpamitan, Harso masuk ke dalam mobil. Dia harus sampai jam enam pagi di rumah sang bos.
“Assalamualaikum!” ucap Harso sembari melambaikan tangan pada anak-anaknya.
“Waalaikumsalam!” jawab mereka berdua serempak.
“Dadadaaa, Paaaak!” teriak Momoy, yang terus mengikuti laju mobil sang Bapak sampai menghilang.
Tampak Raisa masih menunggu Momoy. Terdengar derap langkah adiknya berlari mendekat. Membuat napasnya tersengal-sengal.
“Ayo masuk!”
“Aku lapar, Mbak.”
“Beli, apa bikin?”
“Ehmmmm … apa ya?”
“Cepetan, nanti Mbak mau ke rumah Bu Marto.”
“Aku ikut!”
“Kamu ‘kan sekolah.”
Bocah kecil itu tertunduk lesu.
“Udah mandi sana dulu! Mbak buatin nasi goreng sama telur ceplok.”
Momoy pun berlari kegirangan.
“Horeeee … nasi goreng!”
Setelah adiknya masuk kamar mandi. Raisa masuk kamarnya. Dia mencari plastik yang tadi dilempar.
“Ini dia!”
Saat Raisa memperhatikan kembali. Matanya semakin terbalalak. Dengan mulut yang terbuka lebar.
“Haaaahhhh! Darah …?” Suara Raisa terdengar aneh dan jarang terekspose. Tapi, menyedihkan."
Tampak raut wajah Raisa memerah.
“Bagimana bisa? Hanya potongan kuku bisa sampai berdarah?”
Cukup lama Raisa memperhatikan kuku yang berada dalam bungkusan plastik itu. Segala tanya langsung melesak dlam pikirannya saat ini. Yang tak mungkin ada jawaban.
Hingga sebuah tepukan lembut bersarang di pinggulnya.
“Haaaahhh!”
Sontak gadis itu menoleh. Dia melihat Momoy yang sudah berpakaian lengkap seragam sekolah.
"Kamu jangan pernah sekali lagi bikin Mbak Kaget seperti tadi!" hardik Raisa kesal.
"Maaf, Mbak," ucap mOmoy dengan wajah memelas.
Kemudian, Raisa memeluk adiknya.
“Haaahhh, maafkan Mbak. Aku juga lupa belum bikin nasi gorengnya.”
Buru-buru, dia meletakkan kembali bungkusan plastik, ke atas lemari. Lalu berlari ke dapur. Momoy terus memperhatikan, dan penasaran.
“Apa ini?” ucap Momoy lirih.
Bocah kecil itu, naik ke atas kasur. Dia mencoba untuk meraih bungkusan tadi. Rasa penasaran terus membuat dia berusaha untuk mengambilnya.
“Ehhh! Kok sulit?” ucap Momoy lirih.
Bersamaan dengan itu. Terdengar seseorang mengucap salam.
“Assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam. Momoy, lihat siapa di depan!” teriak Raisa.
“Iya, Mbak!”
Bocah lelaki itu berlari menuju pintu rumah. Saat pintu terbuka lebar. Muncul sosok Bu Marto.
“Mana Mbak Raisa?”
Momoy hanya menunjuk ke arah dapur.
“Ibu masuk ya?”
Momoy hanya menjawab dengan anggukan.
“Raisaaa …!” Terdengar suara Bu Marto yang berteriak.
Gadis itu hanya melongok keluar.
“Bu Marto,” ucapnya dengan kedua mata yang berbinar.
“Kamu enggak usah masak! Ibu bawakan kamu nasi goreng kesukaan Momoy.”
“Serius ini, Bu Marto?”
“Ya, serius lah. Gimana sih kamu ini!”
Bergegas Raisa langsung mengganti di tempat makanan milik Momoy.
“Bu, sebentar. Saya urus si Momoy dulu.”
“Urus aja dia dulu.”
Setelah itu, Raisa memasukkan tempat makanan ke dalam tas.
“Ingat! Pulang sekolah langsung pulang!”
Bocah sepuluh tahun itu hanya mengangguk.
Kemudian, Momoy pergi mengayuh sepedanya, menuju ke sekolah. Meninggalkan Raisa dan Bu Marto.
“Tumben anak itu, kok aneh? Enggak ada bawelnya?”
Tanpa banyak bicara lagi. Raisa menarik pergelangan tangan Bu Marto. Mengajak dia masuk ke dalam kamar.
“A-ada apa, Raisa?”
Dengan cepat, dia mengambil bungkusan yang berada di atas lemari. Dan naik ke atas kasur.
“Kok enggak ada?”
“Apanya?” tanya Bu Marto heran.
Tampak Raisa kebingungan, dan mencari di semua lantai. Sampai di bawah kolong ranjang. Tetap bungkusan itu tak bisa ditemukan.
“Kamu ini cari apa sih, Raisa?”
“Kukunya, Bu!”
“Maksud kamu kukunya hilang lagi?”
“Tadi baru saja aku taruh di atas lemari ini, Bu. Enggak mungkin hilang.”
“Coba kamu ingat lagi Raisa!Jangan sampai hal ini nanti membawa balak ke rumah kamu!”
“Raisa tahu, Bu. Tapi—“
Gadis itu dibantu oleh Bu Marto mencari ke seluruh kamar. Raisa sampai mengacak rambutnya yang panjang. Tampak dia sangat kesal.
“Sebaiknya kamu tenang dulu. Sebenarnya ada apa dengan kuku itu?”
“Saya sepanjang malam di hantui terus, Bu.”
Wanita itu, memperhatikan wajah Raisa yang pias. Terlihat dia marah, kecewa, dan kesal pada dirinya sendiri.
“Bukan cuman kamu aja, Raisa. Yang dihantui.”
Ucapan Bu Marto membuat Raisa, terbengong.
“Memang siapa saja?”
“Kalian berlima. Para pemandi jenazah.”
Deg!
“Kami berlima?”
“Kamu ingat ‘kan siapa aja mereka?”
“Saya masih ingat, Bu. Tapi, Ibu tau dari mana?”
“Bu Tyas yang bilang. Karena dia juga di datangi penampakan Bu Sapto.”
“Bu Tyas, kampung sebelah?”
Terlihat Bu Marto manggut-manggut.
“Lalu, saya harus ngapain, Bu? Padahal rencana saya hari ini, mau kuburkan kuku itu.”
“Coba kamu ke rumah Bu Tyas, Raisa. Sepertinya enggak hanya dia yang dihantui.”
“Nanti mereka marah sama saya, Bu?”
“Mereka ‘kan enggak ada yang tau mengenai kuku ini?”
Raisa langsung tepuk jidat
“Saya benar-benar lupa. Terus saya ke sana ngapain?”
“Tanyakan lah dihantuinya seperti apa?”
“Baik-baik, Bu. Sekarang juga saya ke rumah Bu Tyas.”
Raisa langsung menyambar jilbab yang tergantung di balik pintu.
“Ayo, Bu!”
Setelah mengunci pintu rumah. Raisa mengambil sepeda roda dua, dari garasi.
“Aku pulang dulu. Ingat! Kalau kuku sudah ketemu, segera sucikan. Dan, beri kain kafan, setelah itu kuburkan.”
“Baik, Bu Marto. Saya jalan ke Bu Tyas dulu!”
Gadis itu dengan cepat mengayuh sepedanya. Menuju kampung sebelah, yang jaraknya tak terlalu jauh.
Sekitar sepuluh menit. Raisa sudah sampai di depan rumahnya.
“Kok Sepi rumahnya.”
Langkahnya tergesa-gesa menuju halaman samping rumah.Terlihat pintu dapur sedikit terbuka.
Tok tok tok!
“Bu Tyas … Bu Tyas!”
Tak ada jawaban.Rumah ini benar-benar sunyi. Terlihat Raisa memperhatikan rumah di sekitar tempat ini.
Saat Raisa hendak beralih dari tempat itu. Dia seperti mendengar suara, yang mengerang. Erangan kesakitan.
“Eeeerggh!”
Suara itu terdengar semakin kencang. Membuat Raisa penasaran. Dia masih berdiri di depan pintu dapur yang terbuka.
“A-apa aku langsung masuk?”
Sejenak Raisa bergelut dengan hatinya. Lalu dia memutuskan untuk masuk ke dalam.Langkahnya bergerak pelan.
Sampai pandangan matanya, melihat seseorang dari arah belakang.
“Bu Tyaaas!”
Namun, sosok wanita itu hanya diam.
“Assalamualaikum, Bu Tyas!”
Tetap saja wanita itu diam. Membuat Raisa mengernyitkan dahi.
“Apa dia enggak dengar?”
Dengan memberanikan diri. Raisa melangkah masuk, menghampiri wanita yang duduk di kursi rotan.
“Permisi, Bu! Apa Ibu Tyas ada?”
Tak ada suara sama sekali. Ruang tengah itu semakin sunyi, dan hening.
“Masih pagi, aku kok merinding?”
Akhirnya dia berjalan lebih mendekat. Lalu maju dua langkah, hingga sampai di hadapannya.
Raisa pun menepuk bahu kanannya.
“Bu!”
Raisa mengulangnya lagi.
“Bu! Ibu kenapa kok diam?”
Dia sedikit mengguncang tubuh wanita itu. Membuat kepalanya terjatuh miring ke kiri.
“Haaahhh!”
Raisa terkejut, dan tersentak.
***
Raisa masih berdiri di dekat Bu Tyas. Tubuh wanita itu, terkulai lemah. Saat dia memperhatikan dengan seksama. Dari ujung rambut hingga kaki. Tatap mata Raisa, tertuju pada tangan Bu Tyas yang berdarah.“Kenapa kukunya?” tanya Raisa berbisik.Kemudian, dia melihat di bagian kuku jempol kiri. Kukunya seperti terkelupas. Dengan darah yang terus menetes.Saat Raisa tersadar. Dia langsung berlari keluar rumah.“Kuku …?” bisiknya sambil berlari.Pandangannya melihat ke kanan dan kiri. Lalu mengarah pada rumah tetangga.Dari kejauhan terlihat seorang laki-laki mengendarai motor. Raisa berlari kencang mengejar.“Paaak … Pak!”Motor itu langsung berhenti. Raisa berlari mendekat.“Pak, tolong saya!”“Memangnya ada apa?”“Tolong tetangga saya!”Dua orang lelaki itu terhenyak.“Lah RTnya ke mana Mbak?”
Mereka berdua mencari kuku itu di sekitaran mobil. Lelaki tampan itu, seperti melihat sesuatu di bawah ban mobilnya.“Ini, yang kamu cari?” Sembari enunjuk ke arah ban mobil.“Iya!” Raisa hampir berteriak. Rona kemerahan di pipinya menghiasi. Wajahnya yang kesal berubah senang. Dia pun menghampiri lelaki tampan itu.“Tolong mobil kamu majukan sedikit.”“Oke. Aku pinggirin sepeda kamu dulu!”Setelah itu, dia masuk ke dalam mobil. Hanya sekian detik. Mobil berpindah tempat. Raisa segera mengambil bungkusan plastik itu.“Syukur Alhamdulillah.”Saat melihat sepedanya. Raisa langsung berteriak.“Sepedakuuu! Gimana aku bisa pulang, dan ke kuburan?”Lelaki itu berjalan menghampiri Raisa. Wajahnya terlihat masam“Bukannya tadi aku sudah bilang Non. Sepeda aku perbaiki, atau kamu yang perbaiki. Nanti aku kasih duit.”Raisa berpaling,
“Ini kuburannya?”Raisa mengangguk.“Mas Delon tunggu di mobil aja.”“Aku ingin ikut kamu!”“Enggak usah! Tunggu aja di mobil!”Delon semakin heran melihat tingkah laku Raisa. Setelah Raisa berjalan cukup jauh. Dia pun turun dari mobil.“Aku ingin tau, apa yang sebenarnya dilakukan di kuburan? Anak Pak Harso ini, semakin aneh.”Delon pun mulai memasuki kuburan. Dari jauh dia bisa melihat Raisa yang sedang berjongkok, di depan sebuah makam. Terlihat dia seperti, sedang menggali tanah.“Apa yang dia lakukan? Ke-kenapa dia menggali tanah kuburan dengan tangannya? Ini sudah aneh sekali. Pak Harso apa main guna-guna, atau dukun ya?”Bersamaan dengan itu. Peluh mulai membasahi wajah dan tubuh Raisa. Berulang kali dia mengusap keringat yang menetes dari dahinya.Setelah membacakan sholawat, dan kalimat tauhid. Raisa memendam kuku Bu Sapto.&ld
“Da-darah?”Momoy mengangguk pelan. Lalu bocah kecil itu, menunjuk sesuatu.“Apa lagi?”“Mbak lihat sendiri ke atas lemari!”Perasaan Raisa semakin tidak tenang. Bulu kuduknya langusng berdiri, merinding. Belum pernah selama hidupnya, dia merasa merinding seperti ini.Momoy menggoyang jari-jari tangan kakaknya. Sembari menunjuk ke atas lemari.“I-iya, sebentar.”Lalu, Raisa naik ke atas kursi. Mencoba melihat apa yang ada di atas lemari.Deg!Sontak raut wajahnya memucat. Kedua matanya terbelalak, dengan mulut yang terbuka lebar.“Ke-kenapa … jadi ada di sini lagi?” Suara Raisa hampir berteriak.Membuat Delon yang semula duduk tenang di ruang tamu. Beranjak dari tempatnya. Dia berdiri di depan pintu kamar.Hidungnya terlihat bergerak-gerak.“Bau apa ini, Sa?”Tanpa menjawab, Momoy menunjuk ke atas lemari. Rai
Tampak dia mendahului berjalan keluar. Dengan cepat Delon mengikuti langkahnya.Lalu membuka pintu mobil. Diikuti oleh Raisa dan adiknya.“Raisa, jalannya ke mana ini?” tanya Delon.“Biar saya pandu, Mas.”“Makasih, Pak.”Mobil mulai melaju menuju pemakaman desa sebelah. Tak lama kemudian. Mobil sudah berhenti di depan pagar makam.“Ayo, kita turun!” ajak Pak Yasin.Mereka berjalan mengikutinya.“Mbak Raisa, di mana makamnya?”“Itu, Pak. Jalan lurus aja!”Tak lama mereka berjalan. Akhirnya sampai di makam Bu Sapto. Tampak Pak Yasin berjongkok.“Mana bekas Mbak Raisa menguburkan kuku tadi?”“Ini, Pak!”Kemudian, lelaki itu menggali bekas Raisa. Cukup lama dia menggali tanah dengan sebuah ranting pohon.“Apa Mbak Raisa menguburnya cukup dalam?”“Enggak kok, Pak. Saya me
Mereka semakin kebingungan. Raisa pun sudah tak bisa berpikir lagi. Kemudian, Momoy yang kelelahan terbatuk-batuk.“Mbak, berhenti dulu. Perutku sakit!”“Iya, Moy.”Napas ke-duanya sampai terdengar ngos-ngosan. Lalu spontan mereka menoleh ke belakang. Seseorang yang tadi seolah mengikuti, sudah tak terlihat.“Haaahhh!”Terdengar napas lega pada keduanya. Mereka pun membalikkan badan, untuk melanjutkan jalan pulang.Tapi ….Seorang wanita sudah berdiri tepat di hadapan Raisa, dan Momoy. Hanya berjarak sejengkal. Sesaat mereka hanya bisa terbelalak. Dengan mulut yang terperangah.“Raisaaa … mana kuku-ku?”“Haaaaarghhh!”Sontak keduanya berbalik arah, dan berlari kencang.“Lari, Moy!”Mereka terus berlari. Hingga tubuh mereka membentur seorang laki-laki yang berdiri di tengah jalan. Sampai Momoy jatuh terguling, dan me
Raisa semakin menekuk wajahnya. Dia tak sanggup untuk berkata-kata lagi.“Sebaiknya besok, kita ke rumah keluarga Bu Sapto. Bagaimana?”“I-iya, Bu. Tolong temani saya! Saya takut, apalagi kalau Bapak pulang, dan tau cerita ini.”“Bapak kamu luar kota lagi?”Raisa hanya mengangguk.“Ya sudah. Ibu tinggal pulang dulu. Kalau ada apa-apa, kamu kan bisa telpon Ibu?”“Tapi HP Raisa masih rusak Bu.”“Pake telpon rumah. Masih nyalakan?”“Masih.”“Aku pulang dulu! Besok kita temui keluarganya.”Gadis itu mengangguk berulang-ulang. Lalu mengantar Bu Marto sampai pagar.“Jangan lupa ditutup pagarnya.”“Iya, Bu!”Setelah Bu Marto meninggalkan dirinya. Raisa bergegas mengunci pagar, dan masuk rumah.Dia masih bergidik mendengar cerita tetangganya itu.“Haaahhh!”
Kedua mata Delon membulat lebar. Dengan ternganga. Pandangan matanya nanar. Dengan seluruh tubuh yang tak bisa bergerak sama sekali.Raut wajah itu begitu mengerikan. Kedua telapak tangannya menempel. Dengan jari-jari yang mengeruk kaca jendela. Bibirnya menempel hingga lipstiknya yang merah, membekas di jendela.Membuat Delon semakin tak bisa bernapas. Tarikan napasnya bagai tertahan.Kedua manik matanya serasa terus menatapnya tanpa jeda. Seperti sednag dikendalikan oleh sosok wanita itu.“Mana kuku-ku … mana?”Suaranya terdengar jelas di telinga Delon. Dengan gerak cepat dia menutup korden jendela. Lalu berlari ke atas kasur.“Gilaaa! Kenapa wanita itu minta kukunya ke aku?”Delon pun menutup wajahnya dengan bantal. Dia masih belum bisa melupakan sorot matanya yang menghitam. Di sekeliling mata sosok itu, terdapat lingkaran keputihan. Yang ternyata nanah. Bercampur dengan darah yang terus menetes.