“Da-darah?”
Momoy mengangguk pelan. Lalu bocah kecil itu, menunjuk sesuatu.
“Apa lagi?”
“Mbak lihat sendiri ke atas lemari!”
Perasaan Raisa semakin tidak tenang. Bulu kuduknya langusng berdiri, merinding. Belum pernah selama hidupnya, dia merasa merinding seperti ini.
Momoy menggoyang jari-jari tangan kakaknya. Sembari menunjuk ke atas lemari.
“I-iya, sebentar.”
Lalu, Raisa naik ke atas kursi. Mencoba melihat apa yang ada di atas lemari.
Deg!
Sontak raut wajahnya memucat. Kedua matanya terbelalak, dengan mulut yang terbuka lebar.
“Ke-kenapa … jadi ada di sini lagi?” Suara Raisa hampir berteriak.
Membuat Delon yang semula duduk tenang di ruang tamu. Beranjak dari tempatnya. Dia berdiri di depan pintu kamar.
Hidungnya terlihat bergerak-gerak.
“Bau apa ini, Sa?”
Tanpa menjawab, Momoy menunjuk ke atas lemari. Rai
Tampak dia mendahului berjalan keluar. Dengan cepat Delon mengikuti langkahnya.Lalu membuka pintu mobil. Diikuti oleh Raisa dan adiknya.“Raisa, jalannya ke mana ini?” tanya Delon.“Biar saya pandu, Mas.”“Makasih, Pak.”Mobil mulai melaju menuju pemakaman desa sebelah. Tak lama kemudian. Mobil sudah berhenti di depan pagar makam.“Ayo, kita turun!” ajak Pak Yasin.Mereka berjalan mengikutinya.“Mbak Raisa, di mana makamnya?”“Itu, Pak. Jalan lurus aja!”Tak lama mereka berjalan. Akhirnya sampai di makam Bu Sapto. Tampak Pak Yasin berjongkok.“Mana bekas Mbak Raisa menguburkan kuku tadi?”“Ini, Pak!”Kemudian, lelaki itu menggali bekas Raisa. Cukup lama dia menggali tanah dengan sebuah ranting pohon.“Apa Mbak Raisa menguburnya cukup dalam?”“Enggak kok, Pak. Saya me
Mereka semakin kebingungan. Raisa pun sudah tak bisa berpikir lagi. Kemudian, Momoy yang kelelahan terbatuk-batuk.“Mbak, berhenti dulu. Perutku sakit!”“Iya, Moy.”Napas ke-duanya sampai terdengar ngos-ngosan. Lalu spontan mereka menoleh ke belakang. Seseorang yang tadi seolah mengikuti, sudah tak terlihat.“Haaahhh!”Terdengar napas lega pada keduanya. Mereka pun membalikkan badan, untuk melanjutkan jalan pulang.Tapi ….Seorang wanita sudah berdiri tepat di hadapan Raisa, dan Momoy. Hanya berjarak sejengkal. Sesaat mereka hanya bisa terbelalak. Dengan mulut yang terperangah.“Raisaaa … mana kuku-ku?”“Haaaaarghhh!”Sontak keduanya berbalik arah, dan berlari kencang.“Lari, Moy!”Mereka terus berlari. Hingga tubuh mereka membentur seorang laki-laki yang berdiri di tengah jalan. Sampai Momoy jatuh terguling, dan me
Raisa semakin menekuk wajahnya. Dia tak sanggup untuk berkata-kata lagi.“Sebaiknya besok, kita ke rumah keluarga Bu Sapto. Bagaimana?”“I-iya, Bu. Tolong temani saya! Saya takut, apalagi kalau Bapak pulang, dan tau cerita ini.”“Bapak kamu luar kota lagi?”Raisa hanya mengangguk.“Ya sudah. Ibu tinggal pulang dulu. Kalau ada apa-apa, kamu kan bisa telpon Ibu?”“Tapi HP Raisa masih rusak Bu.”“Pake telpon rumah. Masih nyalakan?”“Masih.”“Aku pulang dulu! Besok kita temui keluarganya.”Gadis itu mengangguk berulang-ulang. Lalu mengantar Bu Marto sampai pagar.“Jangan lupa ditutup pagarnya.”“Iya, Bu!”Setelah Bu Marto meninggalkan dirinya. Raisa bergegas mengunci pagar, dan masuk rumah.Dia masih bergidik mendengar cerita tetangganya itu.“Haaahhh!”
Kedua mata Delon membulat lebar. Dengan ternganga. Pandangan matanya nanar. Dengan seluruh tubuh yang tak bisa bergerak sama sekali.Raut wajah itu begitu mengerikan. Kedua telapak tangannya menempel. Dengan jari-jari yang mengeruk kaca jendela. Bibirnya menempel hingga lipstiknya yang merah, membekas di jendela.Membuat Delon semakin tak bisa bernapas. Tarikan napasnya bagai tertahan.Kedua manik matanya serasa terus menatapnya tanpa jeda. Seperti sednag dikendalikan oleh sosok wanita itu.“Mana kuku-ku … mana?”Suaranya terdengar jelas di telinga Delon. Dengan gerak cepat dia menutup korden jendela. Lalu berlari ke atas kasur.“Gilaaa! Kenapa wanita itu minta kukunya ke aku?”Delon pun menutup wajahnya dengan bantal. Dia masih belum bisa melupakan sorot matanya yang menghitam. Di sekeliling mata sosok itu, terdapat lingkaran keputihan. Yang ternyata nanah. Bercampur dengan darah yang terus menetes.
Suara Pak Karjo semakin kencang terdengar.“Haaaarghhh! Haaarghhh … haaaarghhh!”Membuat Delon hanya bisa terperanjat. Menyaksikan tubuh Pak Karjo menegang, dan bergetar hebat.“Apa yang sedang terjadi?” Terlihat Delon mulai kebingungan.Dia hanya bisa terpaku, dan duduk merapat ke dinding rumah. Dengan tatapan yang semakin nanar meliihat ke arah Pak Karjo.Tak berapa lama, tubuh lelaki paruh baya itu terlihat lemas. Hingga tersungkur ke tanah. Seketika itu, Delon berlari ke arahnya.Berusaha untuk memberikan bantuan.“Pak Karjo … bangun, Pak!”Wisnu terus mengguncang tubuhnya. Tapi, tak ada pergerakan sama sekali. Sesaat Delon pun terdiam. Dia memandang wajah Pak Karjo yang terlihat letih. Dengan mata yang tertutup rapat.“Aku harus bisa membuatnya terbangun.”Kemudian, dia membasahi tangan dengan air kolam. Memercikkan pada wajah
“Raisaaa …!”Suara itu, seperti tepat di lubang telinga. Bahkan, hembusan napas terasa di sekitar wajahnya. Sontak Raisa membuka kedua mata. Namun, dia tak berani untuk bangun.Dari balik selimut. Gadis itu mengamati kamar. Dengan seksama.“Apa aku salah dengar?” bisik Raisa.Tubuhnya semakin meringkuk. Dia berusaha untuk memejamkan mata, dan tidur. Tapi, bulu kuduknya semakin merinding.Detak jantungnya pun mulai berdegup kencang. Hingga membuat tarikan napasnya tak leluasa. Sedikit sesak.“Jangan ya Allah! Aku takut kalau melihat sosok wanita itu lagi.”Bibirnya mulai bergerak-gerak. Namun, setiap doa atau surat Alquran yang dia baca. Semua lupa mendadak. Tiba-tiba, ingatannya kosong.“Kok aku jadi ngeblank gini? Semua yang aku hapal mendadak lupa.”Teng teng teng!“Raisaaa ….”“Hoooohhh!”Matanya terbelalak
Terdengar suara balasan yang aneh. Suara seorang wanita, yang seakan menggema. Membuat Momoy langsung tercekat, seolah tak bisa bicara.“Manaaa … kuku-ku?”“Haaaaa …?” Momoy terperangah, dengan kedua mata yang membulat lebar. Dia tak tahu harus menjawab apa. Yang ada tangannya bergetar sangat hebat.“Manaaaaa … kuku?”“Mbaaaak!” teriak Momoy.Raisa terus menggeleng. Dengan tatapan yang nanar. Memandang ke arah pintu.“Matikan telpon itu, Moy!” ucapnya lirih, tak terdengar.“Mbak!”Tiba-tiba, Momoy sudah berdiri di ambang pintu. Tangannya menunjuk pada meja telepon.“Mbak, ada yang cari kuku.”Seketika itu, Raisa langsung bersembunyi di balik bantal.“Momoy, kamu masuk! Dan, tutup pintunya, kunci!!!” Setengah berteriak Raisa bicara.Namun, Momoy mas
Mereka berdua langsung ke luar rumah. Tampak sebuah mobil berwarna putih, keluaran Jepang. Dari dalam mobil, terlihat bayangan Delon yang masih menerima telepon.Lelaki tampan itu, menurunkan kaca jendela. Serta memberi aba-aba pada Raisa untuk segera masuk.“Ayo, Bu Marto.”“Ya udah, kamu duduk di depan aja.”“Baik, Bu.”Mereka pun menunggu Delon selesai bicara di ponselnya. Etelah menunggu beberapa detik. Dia menoleh pada Raisa dan Bu Marto.“Maaf, tadi ada telpon urtusan pekerjaan.”“Enggak apa-apa, Mas Delon.”“Sekarang kita lewat mana?”“Putar balik aja, Mas,” sahut Bu Marto.“Oh, baik Bu. Makasih.”Mobil mereka segera menuju ke desa sebelah. Jarak yang tak terlalu jauh. Membuat hanya dalam hitungan menit, mobil sudah berhenti di depan sebuah rumah yang sangat besar.Terlihat halaman