Share

Bab 7

[Kalau hal ini melukai hati Mbak Yumna, maka tolong jangan biarkan Gus Hanan menikah lagi. Aku tidak bisa menjadi orang ketiga yang akan berbahagia di hari pernikahan sementara Mbak menahan luka. Tolong dipikir ulang sebelum semuanya menyesal.]

"Mas, Syahdu." Aku menyodorkan ponsel pada Mas Hanan. Dia menerimanya lantas membaca pesan tersebut.

"Syahdu benar, jangan gegabah mengambil keputusan atau kamu menyesal nanti. Jujur saja mas merasa ragu kalau harus menikah sama dia. Kamu mau kan memikirkan ulang perkara ini sambil berdoa sama Allah biar kamu cepet hamil?"

"Keputusanku sudah bulat, Mas. Kalian memang harus menikah dan aku ikhlas." Getar di dada semakin mengganggu.

Tidak ada jawaban, Mas Hanan hanya bisa melipat bibir. Sebenarnya aku pun sama dengan perempuan lainnya, tidak ingin berbagi hati. Namun, bagaimana jika semesta seakan menuntutku melakukan hal ini?

Aku mungkin bisa berusaha menjadi istri terbaik untuk Mas Hanan, mengurus makan dan tidurnya. Tidak dengan memberinya seorang anak. Pernikahan kami sudah masuk tahun ke tujuh, tidakkah aku pantas merasa khawatir?

Jangan sampai kami menunggu hal yang mustahil terjadi. Sebuah penantian yang panjang tidak akan sia-sia jika berbuah manis, lantas bagaimana kalau penantian ini tidak berujung hingga kami menghadap Ilahi? Bukankah ini sebuah keegoisan?

Siapa tahu kelak Allah menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Lihat saja ketika aku rela ditinggal Mas Ilham dulu, Allah mengganti lelaki itu dengan Mas Hanan. Kali ini, mungkin aku harus lebih bersabar lagi.

***

Hari yang dinanti-nanti sudah tiba, hari ini aku mempersiapkan keperluan Mas Hanan untuk melamar Syahdu. Dengan jubah biru navy berpadu dalaman putih sungguh menambah ketampanannya. Aku mengulum senyum, kemudian memeluk erat.

"Mas, bahagiakan aku!" bisikku lembut.

"Apa sekarang kamu bahagia?" tanyanya hati-hati.

Untuk menutupi kesedihan, aku mengangguk tanpa ingin menjawab. Tentu saja kalau bicara satu kata lagi, air mata akan tumpah ruah, kemudian suara tangisan meledak sempurna. Aku tidak ingin melukai hati Syahdu dengan membiarkan lamaran dibatalkan.

Luka itu pernah aku rasakan, maka sebaiknya sekali lagi berdoa pada Ilahi untuk melapangkan hati ini. Aku yakin bisa tegar, orang mukmin tidak pernah bersedih atau pun takut karena ada Allah bersamanya.

"Apa mas boleh hanya menjadi milikmu?" tanya Mas Hanan lagi.

Aku mengurai pelukan, menatap mata teduh itu lekat agar Mas Hanan yakin aku baik-baik saja. "Tidak, Mas. Sudah menjadi takdir dari Tuhan supaya kamu menikah dengan Syahdu." Aku membuka lemari pakaian dan mengeluarkan benda putih melingkar dari sana. "Pakai pecimu, kita sudah harus berangkat."

Mas Hanan menundukkan kepala meminta aku memasangkan pecinya. Sebuah peci yang aku beli tepat di tahun pernikahan yang ke dua. Sekarang dengan memakai peci itu, Mas Hanan menuju rumah calon perempuan kedua.

Keluarga Mas Hanan yang ikut hanyalah Gus Qabil, sementara dariku ada ibu dan ayah. Mas Dika tidak mau hadir dengan alasan sibuk. Padahal sebenarnya aku tahu dia hanya ingin menghindar dari pandangan mataku yang menyimpan banyak luka.

Rombongan kami sudah berangkat memakai mobil Gus Qabil. Perjalanan yang tidak jauh ini tetap saja mendebarkan. Hanya beberapa menit kami telah sampai. Seserahan sudah mereka bawa, aku terpaku di sisi kanan mobil menatap Mas Hanan yang sudah melangkah ke depan.

Beberapa kali dia menoleh, aku langsung tersenyum sambil menautkan ibu jari dan telunjuk demi menenangkan hatinya. Setetes kristal bening jatuh membasahi pipi, aku tidak lagi bisa mengelak.

"Kamu tidak mau masuk, Yum?"

"Di sini saja, Gus."

"Apa kata tetangga nanti? Masuklah, setelah ini aku harus bicara sama kamu, tanpa Hanan. Nanti ajak Dika juga."

Akhirnya aku mengalah dan mengikuti langkah Gus Qabil memasuki rumah Syahdu. Begitu sampai, Mas Hanan menggeser duduknya sebagai isyarat agar aku duduk di sana.

Dia memegang tanganku yang sudah dingin. Rasa gugup begitu mendominasi jiwa. Aku tidak berani menatap matanya terutama ketika terdengar bisikan lembut di telinga. "Sampai kapan pun bahkan setelah menikah dengan Syahdu, aku tidak akan mau mencintainya. Hanya ada kamu."

"Ssstt, jangan begitu, Mas!"

"Kumohon, kali ini biarkan aku hanya mencintaimu saja, Yumna." Bisikan itu tidak lagi terdengar lembut karena Mas Hanan menahan sesak di dada.

Aku hanya bisa menghela napas berat menunggu Syahdu keluar kamar. Genggaman tangan Mas Hanan semakin erat begitu tirai dibuka dengan lebar. Aku menoleh ke kanan, rupanya dia menundukkan kepala.

Sungguh aku bisa memahami bagaimana hatinya menolak menikah lagi. Namun, aku tidak ingin egois dan harus memahami dirinya. Lelaki mana pun pasti menginginkan anak walau hanya seorang saja.

Lagian, rumah akan selalu sepi apabila tidak ada tangisan atau suara tawa bayi. Sebenarnya aku ingin menangis merutuki diri yang tidak bisa mengandung, tetapi harus menyalahkan siapa?

"Ini sudah kehendak Allah, aku harus berlapang dada," lirihku dengan suara sangat pelan mencoba menghibur diri.

Semua keluarga telah berkumpul, Gus Qabil pun menyampaikan maksud kedatangan kami semua. Setelah itu aku tidak lagi bisa mendengar pembicaraan mereka selanjutkan karena pandangan sudah kosong sementara pikiran melanglang buana.

Bayangan Syahdu mencuri senyum pada Gus Hanan terngiang-ngiang di kepala, aku ingin meluapkan tangisan sehingga bangkit dari duduk. "Ma-maaf semua, aku ketinggalan sesuatu di mobil."

Tanpa menunggu respon, aku sudah melangkah buru-buru ke luar rumah. Air mata sudah menetes tanpa mampu aku cegah. Begitu aku mencoba membuka pintu mobil, ternyata terkunci.

"Bukalah, sekarang sudah bisa. Jangan menangis terlalu lama atau orang-orang akan berprasangka buruk. Aku kembali masuk, jangan lupa menyusul!" titah Gus Qabil.

Aku terkejut karena ternyata dia menyusul,di belakang dan tahu maksudku datang ke sini.

"Oh iya, Hanan tadi mau mengejarmu, tetapi aku melarangnya. Semoga kamu mengerti, Yum," lanjut Gus Qabil sebelum benar-benar melangkah masuk ke rumah Syahdu kembali.

Sengaja aku menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan berulang kali, setelah itu menatap langit dan tersenyum berharap air mata tidak lagi tumpah. "Rabbi syrahly shodry ... rabbi syrahly shodry."

Doa itu aku baca hingga sepuluh kali, kemudian menelan kesedihan sehingga senyum di bibir kembali terukir. Aku melangkah ke rumah Syahdu lagi, kali ini hati terasa lebih lapang.

Tidak lupa, aku menghadirkan berbagai prasangka baik dalam hati agar tidak larut dalam kesedihan juga sebagai penyokong hidup. Semua mata tertuju padaku. "Maaf, aku harus membuat kalian menunggu."

"Ana bahibbik awiy," bisik Mas Hanan begitu aku kembali duduk di sisinya.

Kalimat itu adalah ungkapan cinta dalam bahasa Amiyah Mesir. Mas Hanan sengaja menggunakan bahasa itu agar terkesan lebih istimewa. Aku hanya menanggapi dengan senyum palsu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status