Share

BAB 3

"Mas, ini uang empat juta yang aku pinjam untuk menebus sisa hutang ibuku waktu itu. Sekarang aku sudah ada dana, jadi aku kembalikan. Kamu jangan tersinggung ya, aku cuma ingin membuat ibu tenang karena sudah melunasi hutangnya," ucapku pada Mas Naufal sembari memberikan lembaran seratus ribuan itu ke pangkuannya. 

Mas Naufal yang masih asyik ngobrol di ruang keluarga, membahas hajatan kemarin yang sepertinya cukup meriah itu pun tercekat seketika. 

Dia masih saja bengong melihat lembaran merah di pangkuannya. Begitu pula mama, Mbak Rani dan Ratna. Mereka kompak melihat tumpukan uang di pangkuan Mas Naufal lalu beralih menatapku penuh tanya dan sepertinya curiga darimana aku mendapatkan uangnya. 

"Dapat duit darimana kamu, Sayang? Kan aku bilang nggak perlu dikembalikan. Aku ikhlas kok buat bayar hutang ibu," sahut Mas Naufal kemudian. 

"Ih kamu itu, Fal. Namanya hutang ya harus dibayar. Tak peduli dia dapat uang itu darimana yang penting tiap hutang wajib dibayar. Jangan terlalu lembek jadi suami, nanti harga dirimu jatuh karena diinjak-injak istri," balas Mbak Rani cepat. 

"Bukan begitu, Mbak. Selama menikah, Alya nggak kerja di luar. Wajar jika aku tanya darimana dia dapatkan uang sebanyak itu kan? Lagipula ketakutan Mbak Rani terlalu berlebihan. Mana mungkin Alya menginjak-injak harga diri suaminya. Dia bukan istri seperti itu. Alya penurut, perhatian dan--

"Jangan bucin deh, Kak. Nanti dia ngelunjak," timpal Ratna sembari mengucir rambut panjangnya.

"Bener itu, Fal. Nanti Alya makin besar kepala kalau kamu terus membela dan memanjakannya!" timpal mama cepat sembari melipat tangan ke dada.

"Memangnya Mas Naufal pernah memanjakanku, Ma? Selama tiga bulan menikah dengannya, aku belum pernah diajak jalan berdua. Selalu di rumah dengan alasan perempuan memang baiknya di rumah. Di rumah pun aku tak pernah ongkang-ongkang kaki, tapi bekerja keras mengurus semuanya di saat yang lain duduk santai sembari berselancar di sosial media. Apa itu yang namanya dimanja?" Entah keberanian dari mana akhirnya aku mengungkapkan semua rasa yang menyesaki dada itu. 

Mama melotot lebar. Begitu pula Mas Naufal yang mendadak merah padam. Dia pasti marah besar karena aku sudah membantah ucapan mama.

Atau ... dia marah karena ceritaku yang tak pernah dimanjakannya? Bukankah ceritaku memang benar, lantas buat apa dia marah?

"Alya! Kamu jangan keterlaluan." Mas Naufal kembali menatapku tajam. 

"Maaf kalau kata-kataku membuatmu tersinggung, Mas. Aku tak bermaksud demikian. Hanya saja aku nggak rela disebut istri manja karena selama ini aku memang tak semanja itu." Aku menunduk, menyeka kedua sudut mataku yang basah sementara Mas Naufal menghela napas panjang lalu kembali mengalihkan pandangan. 

"Lihat, Fal. Dia semakin ngelunjak karena selalu kamu bela." Mbak Rani kembali menimpali. 

"Kalau memang dia punya tabungan, kenapa selama ini sok nggak punya duit? Sengaja supaya nggak diminta buat belanja dapur?" tanya kakak iparku sengit. Aku mendongak lalu menatapnya beberapa saat.

"Belanja dapur sudah dapat jatah dari Mas Naufal, Mbak. Kenapa harus minta sama aku juga? Aku memang nggak punya duit. Sekarang ada duit soalnya-- 

"Alasan! Bilang saja kamu pelit. Sama keluarga sendiri kok perhitungannya kebangetan." Perempuan itu terus saja bicara seolah semua yang kukatakan dan kulakukan salah di matanya. 

"Kalau aku perhitungan, aku pasti minta uang bulanan sama Mas Naufal, Mbak. Dia suamiku yang memiliki kewajiban memberi nafkah untuk istrinya, tapi selama ini aku cukup diam dan mengalah tak memegang kendali atas gajinya. Aku bahkan diam saja saat gajinya dipakai untuk kebutuhan dapur, sekolah Ratna dan jatah bulanan buat mama. Bahkan Mbak Rani sendiri masih sering dikasih uang jajan darinya. Apa aku pernah mengamuk dan marah-marah? Bahkan protes pun seolah larangan besar buatku. Aku terus mengalah hingga detik ini." 

Bukannya introspeksi, Mas Naufal justru meradang mendengar kata-kata yang kuucapkan dari hati. Semua yang kukatakan benar dan bukan sekadar omong kosong belaka. Seharusnya dia bisa memperbaiki diri, bukan malah menyudutkanku dan memaksaku minta maaf seperti ini. 

"Minta maaf sama mama dan Mbak Rani sekarang, Al. Kamu sudah kelewat batas. Aku tak pernah mengajarimu seperti itu. Kenapa sekarang kamu jadi pembangkang? Apa karena merasa punya uang dan sudah melunasi hutang itu jadi kamu bisa berbuat sesuka hatimu seperti ini?" Mas Naufal beranjak dari sofa lalu menarik lenganku sedikit kasar. 

"Aku nggak salah, Mas. Kenapa harus minta maaf? Aku hanya mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Semua itu bukan mengada-ada, tapi memang benar adanya. Apa yang kelewat batas coba?" Aku masih saja membela. Rasanya capek terus dipaksa mengalah dan diam di setiap kejadian yang membuat hatiku terluka. 

Tiga bulan bukan waktu yang sebentar untuk memahami karakter penghuni rumah ini. Aku paham betul bagaimana sikap-sikap mereka. Awalnya kupikir hanya sehari dua hari saja mereka semena-mena, nyatanya sampai tiga bulan pernikahanku dengan Mas Naufal, mereka tak kunjung berubah. Bukankah itu artinya memang begitu attitude mereka? 

"Minta maaf sekarang, Alya. Minta maaf bukan berarti salah, tapi-- 

"Tapi apa, Mas? Kalau memang aku nggak salah, ngapain minta maaf?" Lirihku dengan mata berkaca. 

Mas Naufal bergeming setelah menghela napas panjang. Aku tahu sebenarnya dia dilema. Tak ingin terus menyakitiku, tapi dia juga tak ingin menyakiti hati mamanya. Pembelaanku ini dia anggap sebagai pemberontakan yang bisa membuat mamanya terluka. Oleh karena itulah, salah ataupun benar dia berharap aku tetap minta maaf. 

Selama ini aku memang selalu mengikuti perintahnya. Selalu mengalah dan minta maaf sekalipun bukan salahku. Namun, tiap kali aku minta maaf, mereka tak menyadari kesalahan mereka sendiri justru semakin jumawa karena merasa menang bisa menggenggam hati Mas Naufal. Aku dianggap istri tak berguna karena tak mampu membuat Mas Naufal luluh dengan pengakuan dan air mataku. 

"Istrimu benar-benar keterlaluan, Fal. Mama menyesal sudah menerimanya menjadi menantu di rumah ini. Seharusnya kamu cari tahu dulu bagaimana bibir, bebet, bobot dan kepribadiannya sebelum memutuskan menikah agar tak menyesal di kemudian hari. Tahu begitu mama memilih Erika daripada dia!" Sentak mama kemudian dengan mata berkaca. 

Mas Naufal cukup shock melihat ekspresi mama. Begitupula aku yang kaget mendengar nama perempuan lain disebut mama sebagai calon menantu idamannya. 

"Bukankah seharusnya aku yang bicara begitu, Mas? Bolehkah aku menyesal menjadi menantu di rumah ini? Perempuan yang dilamar seorang laki-laki dan berharap menjadi ratu justru dijadikan babu." 

Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku membuat kedua mata Mas Naufal kembali membulat seketika. Marahkah dia? Bukankah seharusnya aku yang marah diperlakukan semena-mena oleh keluarganya semenjak menikah dengannya? 

*** 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status