Kutatap lekat sang rembulan melalui jendela kamar. Meskipun masih terlihat seperti biasanya, tapi bias sinar temaramnya tak lagi mampu tenangkan hati yang kecewa. Terluka karena sebuah pengkhianatan yang disengaja.
Perlahan, langkahku bergeser menuju meja rias yang ada di sudut ruangan. Lalu duduk menatap cermin yang tengah memantulkan bayanganku. Dari sana kuamati wajah yang tampak lesu. Kalau diperhatikan, wajahku masih tetap cantik seperti biasanya. Hanya saja, tak terlihat make-up tebal menghiasinya. Bentuk tubuhku juga masih seksi. Dengan berat 50 kg dan tinggi 168 sentimeter, menurutku cukup ideal. Tapi mengapa Suamiku masih saja mendua? Dari pantulan cermin, kulihat Mas Arga mendekat padaku. Tangannya langsung memelukku dari arah belakang. Sebuah ciuman ia daratkan di tengkukku hingga bulu romaku merinding. Aroma parfum yang ia gunakan seolah mampu membius saraf. Jantungku berdegup hebat. Hampir saja aku terbuai oleh perlakuan darinya.“Kamu cantik sayang...” puji Mas Arga, “ aku mencintaimu.” Sakit. Itulah yang kurasakan saat ini. Dia bilang mencintaiku, tapi pada kenyataannya mendua. Andai saja aku tak tahu bahwa dia telah selingkuh, sudah pasti aku akan bahagia mendengar ucapannya. Segera kulepaskan tangannya yang tengah melilit tubuhku. Rasanya jijik saat membayangkan tubuhnya juga telah memeluk wanita lain. Aku tak peduli jika suamiku marah. Toh, dia juga yang telah memulai.“Kenapa sayang?” tanya Mas Arga. Ia tampak heran dengan perlakuanku. Biasanya memang aku betah jika diperlakukan seperti itu. Namun sekarang tidak lagi. Tak sudi jika tubuhku disentuh olehnya.“Aku capek,” jawabku sambil berdiri hendak meninggalkannya. Tanpa diduga, Mas Arga langsung memelukku kembali. Dengan beringas dia menciumi wajahku. Kontan saja aku kaget mendapat serangan seperti ini. “Aku lagi dapet, Mas!” bohongku di tengah kepanikan. Mendengar aku tak bisa melayaninya, mas Arga menghentikan aktivitasnya seketika itu juga. Ada raut kecewa tergambar dari raut mukanya. Ia menyugar rambutnya sembari membuang nafas kasar. “Bukannya seminggu yang lalu kamu baru selesai?” tanya Suamiku penuh selidik. “Aku juga enggak tahu. Maaf ya, Mas!” ujarku sembari menata hati agar suamiku tidak curiga.Bagaimana bisa Mas Arga ngotot minta jatah? Bukankah kemarin dia sudah meminum ramuan yang diberikan oleh Devi? Kenapa malah dia jadi beringas begitu. Apa jangan- jangan itu ramuan untuk meningkatkan stamina? “Ya sudah enggak apa-apa, aku pinjam ATM kamu dong. Mau beli bensin tapi uangku sudah habis,” ujar Mas Arga. Apa? Bukannya tadi dia ingin bercinta, tapi kenapa larinya ke uang. Sebenarnya apa sih yang ada di pikiran Mas Arga? Apa mas Arga merayuku hanya untuk meminta uang?“Uangku juga tinggal dikit, Mas. Itu juga buat belanja dapur besok,” tolakku.“Enggak banyak kok, cuma buat isi bensin aja,” Bujuknya. Malas berdebat dengannya, aku memilih menyerahkan kartu ATM milikku. Kalaupun enggak kuberi sekarang, besok pagi juga bakal minta kembali. Soalnya aku sudah hafal kebiasaan Mas Arga. Kalau akhir bulan dia memang selalu kehabisan uang. “jangan dihabiskan ya, Mas. Di kulkas sudah enggak ada stok makanan. Kalau uang itu habis besok mau masak apa!” ucapku sambil menyerahkan ATM milikku. Mas Arga menyunggingkan senyum saat benda itu telah berpindah tangannya. Tanpa berkata apa pun, ia langsung pergi meninggalkan ruangan ini. Aku hanya menggeleng saja melihat tingkahnya yang agak aneh. Tanpa sepengetahuan Mas Arga, aku memang memiliki beberapa kartu ATM. Yang kuberikan padanya itu kartu yang saldonya enggak lebih dari lima ratus ribu, sedangkan yang isinya banyak aku simpan di tempat yang aman. Setelah suamiku pergi, gegas kuambil ponsel untuk menghubungi Devi. “Ada apa malam-malam menelepon, Din? Gangguin orang tidur saja!” Suara dari seberang sana terdengar parau menyapa telinga. “Sebenarnya kemarin yang kamu kasih isinya apaan sih? Kenapa Mas Arga malah jadi tambah beringas?” tanyaku.“Maksudnya...” “Iya, tadi Mas Arga menyerangku kaya orang kesetanan!” potongku cepat. “Terus kamu mau?” tanya Devi penasaran. “Ya enggaklah! Tadi aku bilangnya lagi dapet.” Jawabku. “Kamu tunggu saja seminggu lagi, pasti enggak bakalan suamimu minta jatah.” “Kamu yakin, Dev?” “Yakin bangetlah!” sahut Devi, “Sekarang mending kamu tidur saja, aku juga masih ngantuk banget nih!” imbuhnya. “Oke... makasih ya, Dev!” “Sama-sama,” jawabnya sebelum panggilan kami terputus. **** “Dek!” samar terdengar suara Mas Arga memanggilku.Aku yang sudah terbuai mimpi berusaha membuka mata meskipun terasa lengket. Tampak mas Arga sedang berdiri di samping ranjang, menatapku dengan wajah marah. “Apa, Mas?” tanyaku sambil berusaha duduk. “Kenapa kamu enggak bilang kalau ATM kamu isinya Cuma empat ratus ribu?” berang Suamiku. “Aku kan sudah bilang uangnya tinggal sedikit,” kilahku.“ Harusnya kamu bilang yang jelas!” bentak Mas Arga, “Gara-gara kamu, aku malu!” tambahnya. “Malu kenapa?” tanyaku sembari menahan kantuk. “Ya jelas malu! habis makan, pas mau bayar ternyata ATM-nya enggak bisa di pakai. Pas di cek, ternyata saldonya cuma segitu!” cerocosnya. Mendengar pengakuan Mas Arga, seketika rasa kantukku menghilang. Bukankah tadi dia bilang mau beli bensin, kenapa timbulnya malah beda?“Kamu makan di mana sampai uangnya kurang? Terus kamu sama siapa makannya?” Aku memberondong suamiku dengan dua pertanyaan sekaligus.“ee... anu..” Mas Arga kebingungan menjawab pertanyaanku. Tingkahnya sangat mencurigakan. Sepertinya dia habis melakukan sebuah kesalahan. “Anu apa, Mas?” Kali ini nada suaraku sedikit meninggi. Aku mulai berburuk sangka pada suamiku. Pikiranku mulai menduga-duga dengan siapa dia makan di luar. Apa jangan-jangan...“Cepat katakan, Mas!” Aku kembali mencecar suamiku karena dia tak kunjung memberi jawaban.“Tadi aku traktir teman-teman, Dek,” jawabnya kemudian. “Teman siapa?” tanyaku lagi. Aku merasa janggal dengan jawaban yang diberikan oleh Mas Arga. Setahuku, dia belum pernah mentraktir temannya. Kok tiba-tiba sekarang dia melakukan itu. Angin apa yang sudah mengubah kebiasaannya.“Ya temanlah!” sahut mas Arga sewot. Ia tampak tak suka aku terus menanyainya. “Aku kan sudah bilang, uangnya buat belanja besok.. kenapa masih saja dihabiskan!” Dengan sedikit menahan emosi, aku mengingatkan suamiku. “Kan bisa pakai uang kamu dulu.” Jawab suamiku. “Uang dari mana, Mas? Kamu aja ngasihnya enggak genap satu juta!” protesku. “Sudahlah, Dek. Aku males berdebat terus.” Ucap Mas Arga. Ia kemudian menenggelamkan wajahnya pada bantal. Melihat kelakuan suamiku, rasanya sudah enggak sabar ingin meminta pisah. Tapi aku harus bertahan sebentar lagi untuk memastikan kebanggaan mas Arga tak lagi berfungsi.
Dengan semangat empat lima aku pergi meninggalkan rumah ini. Dalam hatiku aku berniat mengunjungi sahabatku. Siapa lagi kalau bukan Devi. Dia selalu menjadi tujuanku di setiap waktu luang.Sesampainya di rumah Devi, aku disambut dengan peluk cium sahabatku. Ia tampak heran karena enggak biasanya aku datang tanpa mengabari dulu. “Kamu rapi banget, Din! Kaya mau travelling aja,” puji Devi sambil memperhatikan penampilanku. “Biasa aja kali...” sahutku, “Hari ini kamu ada acara enggak, Dev?”“Enggak kok, emangnya kenapa kamu tanya begitu?” “Temenin aku yuk, stres di rumah terus!” ungkapku. “Ke mana?” tanya Devi lagi. “Terserah kamu saja!” jawabku sambil mengangkat kedua bahu. “Oke, tunggu sebentar. Aku ganti pakaian dulu,” sanggupnya. Ia pun lalu beranjak meninggalkan aku yang kini duduk di teras sendirian. Beberapa saat kemudian, Devi keluar dengan pakaian yang sudah berganti. Wajahnya terlihat cantik dengan make-up tipis menghiasinya. “Sudah siap?” tanyaku. Ia menunjukkan jempo
Belum sempat pergi jauh dari mereka, telingaku menangkap bunyi ketukan pintu beberapa kali. “Coba kamu lihat ke depan, Din! Kayaknya ada tamu, “ titah mertuaku. Dengan terpaksa aku menuruti perintah Ibu. Padahal sebenarnya aku sudah ingin beristirahat. Akhirnya kuayunkan langkah malas menuju sumber suara yang tadi terdengar. Seorang pria dengan perawakan lumayan tinggi, berdiri tepat di hadapku sesaat setelah aku membuka daun pintu. Wajahnya putih bersih dengan kumis tipis menghiasi. “Kirana...” Pria itu menggumam lirih sembari menatap lekat padaku. “Anda siapa?” tanyaku dengan menautkan kedua alis. Sejenak kuperhatikan wajah pria di hadapanku sambil menajamkan ingatan. Memang benar nama lengkapku Dinda Kirana, tapi yang bikin heran, dari mana pria ini bisa tahu nama belakangku. Apakah dia mengenalku? Tanpa disengaja, netra kami saling beradu pandang hingga akhirnya sama-sama membuang muka. Hatiku masih terus bertanya-tanya siapa sebenarnya orang ini.“Benar ini rumah Arga?” B
Lima hari sejak kejadian petang itu, aku masih mendiamkan mas Arga. Semua pekerjaan rumah kuabaikan kecuali mencuci pakaian, itu pun hanya pakaianku sendiri. Biasanya aku mencuci pakaian semua penghuni rumah. Meski Ibu mertuaku sering marah gara-gara enggak masak, aku tak lagi memedulikan ocehannya. Biar saja dia makan di luar. Toh, ibu juga masih pegang uang hasil pinjam kemarin.Seperti biasanya, sejak pagi aku pura-pura berangkat kerja. Padahal aslinya cuma jalan-jalan enggak jelas bareng Devi. Pergi ke salon, nongkrong di cafe , pokoknya ke mana saja yang bisa bikin hati senang.Setelah lelah seharian bareng Devi, aku memutuskan pulang meskipun waktu baru menunjukkan pukul tiga sore. Biasanya sih sekitar jam lima aku baru balik.Saat tiba di rumah, kulihat ibu sedang mengobrol dengan seorang perempuan seusiaku di teras. Hanya sesaat aku memperhatikan perempuan dengan pakaian kurang bahan itu, lalu berniat masuk tanpa memedulikan mereka berdua. “Oh... jadi ini yang namanya Dinda.
Senja tiba tepikan lara, menghibur hati yang seakan mati.Terluka karena cinta, terbuang oleh pengkhianatan. Setelah puas menatapi langit-langit kamar, aku segera membersihkan diri lalu berganti pakaian. Kupaksakan langkahku menuju dapur untuk menyiapkan makan malam. Meskipun masih sakit hati karena kejadian sore tadi, aku berusaha menahannya agar mas Arga tak banyak bertanya. Sebenarnya aku ingin membuka kebohongannya sekarang juga, tapi aku akan menguji keperkasaannya terlebih dahulu. Saat makan malam, tak ada obrolan yang berarti. Aku dan ibu masih sama-sama canggung karena insiden tadi sore. Syukurlah mas Arga belum tahu tentang hal itu, jadi aku bisa melancarkan aksiku malam ini juga. Kulirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 9 malam. Sudah sejak selesai makan malam aku telah menunggu mas Arga yang masih betah menonton TV. Jantungku berdegup sangat kencang. Resah dan gelisah terus menghantui pikiranku, bahkan ini lebih mirip malam pertama.Beberapa saat kemudian, ter
Aku terjaga saat fajar subuh tiba. Dengan hati seringan awan, kusambut pagi yang datang menjelang. Hari baru untuk harapan yang sama baru. Kulirik mas Arga yang masih terlelap di sampingku. Dari raut mukanya, jelas sekali ia tak nyenyak. Tertekan oleh beban mental yang tengah dipikulnya. Langkah kaki membawaku keluar dari ruang peristirahatan ini. Dengan sedikit tergesa, kudatangi kamar adik iparku yang letaknya bersebelahan dengan ruang tamu. “Bangun Nggi!” teriakku kencang sembari menggedor pintu berkali-kali, tapi tak juga ada sahutan dari dalam sana. Kembali aku membangunkan Anggi, adik iparku dengan suara yang lebih keras. “Ada apa sih, Mbak! Masih pagi kok sudah berisik?” dengkusnya setelah pintu terbuka. Terlihat ada kemarahan dari muka kusutnya. “Udah siang! Cepat kamu cuci baju, sekalian punyaku!” titahku. Sepasang mata Anggi yang semula setengah terpejam, seketika terbelalak saat mendengar ucapanku. “Enak saja! itu kan tugas Mbak Dinda!” protesnya. “Itu dulu, tapi mu
POV ARGAPada umumnya, setiap lelaki akan merasa bangga saat mendapat pujian dari pasangannya. Bahkan, sebagian dari mereka rela melakukan apa saja hanya untuk sebuah pujian. Sama seperti mereka, aku juga merindukan hal itu. Dinda, istriku memang sosok yang nyaris sempurna. Selain wajahnya yang cantik alami, dia juga penyabar. Tak pernah aku mendengar keluh kesahnya meskipun jatah bulanan kurang dari satu juta. Pun urusan ranjang, dia selalu tersenyum walau aku jarang sekali bisa memuaskannya. Satu hal yang tak kudapat dari istriku hanya pujian. Dia jarang sekali, atau bisa dikategorikan tak pernah menyanjungku. Berbeda jauh dengan Dini, wanita yang kukenal tiga bulan yang lalu. Dia selalu memujiku. Dikatakan aku baiklah, gantenglah, rajinlah, dan masih segudang sanjungan lainnya.Itulah hal yang membuat aku semakin dekat dengan Dini. Saking dekatnya, sampai-sampai kami melakukan hubungan suami istri. Uniknya, dia masih bisa memuji meskipun aku “ejakulasi dini”. Bangga bukan jika di
POV ARGASelepas dari rumah selingkuhanku, aku langsung mentransfer uang ke rekening Dini, lalu pulang tanpa membeli ponsel yang istriku minta. Prioritasku kali ini adalah Dini, bukan Dinda. “Kamu sudah pulang Ga?” tanya ibu saat melihatku masuk rumah. “Aku lagi enggak badan, Bu,” sahutku. “Ibu habis ngapain kok kaya kelelahan begitu?” tanyaku kemudian. Ibu yang semula sedang duduk bersandar, seketika langsung bangkit lalu mendekat padaku.“Ini gara-gara istri kamu! Masa ibu disuruh-suruh terus. Rasanya seperti pembantu di rumah sendiri,” keluh Ibu.Aku menatap kasihan pada perempuan yang telah melahirkanku. Di usianya yang telah mendekati kepala lima, dia masih mengurusi pekerjaan rumah, padahal sudah mempunyai menantu. Bukankah pekerjaan itu seharusnya di lakukan oleh sang menantu?“Ya maaf, Bu. Nanti aku bilangin Dinda biar enggak nyuruh-nyuruh ibu terus,” sahutku. “Lagian kamu kenapa jadi takut sama Dinda sih? Pakai enggak mau ceraikan dia segala! Sebenarnya ada apa?” tanya