Mata ini terasa sangat lengket saat aku memaksa membukanya. Semalaman aku susah untuk terlelap. Pikiranku terus saja dihantui rasa penasaran, siapakah gerangan orang yang berbicara dengan Ryan? Rahasia apa yang sebenarnya mereka sembunyikan?Seharusnya aku tengah berbahagia karena telah mendapat cinta tulus seorang Ryan, tapi apa yang kudengar semalam, berhasil mengusik kebahagiaanku. Pernah dikhianati oleh seseorang yang kita sayang, ternyata membuatku selalu menaruh curiga pada semua laki-laki. Tidak terkecuali Ryan. Tak ingin terluka untuk kedua kali, gegas aku menyambar ponsel yang tergeletak di atas nakas. Langsung kuhubungi Devi, sahabatku untuk memintanya membantu memecahkan misteri yang disembunyikan Ryan.“Pagi, Dev,” ucapku basa-basi setelah panggilan tersambung.“Pagi juga, Din. Tumben pagi-pagi buta sudah telepon?” sahutnya dari seberang sana.“Iya nih. Aku lagi butuh bantuan kamu,” beberku. “Bantuan apa?” tanya Devi dengan nada suara seperti keheranan.“Jadi begini...”
“Jadi semua ini rencanamu, Mas!” Aku menggeleng lemah. Sebenarnya hatiku menolak percaya, tapi inilah kenyataannya. Ryan, laki-laki yang selama ini kuanggap sebagai dewa penolong, ternyata biang keladi hancurnya rumah tanggaku. “Enggak seperti itu, Na! Aku bisa jelasin,” sanggah Ryan. Dia lantas berdiri sambil berusaha meraih jemariku, tapi segera kutepis. Aku tak mau tangan kotornya menyentuhku. “Kamu tak bisa mengelak, Mas! Aku sudah dengar semuanya kok!” sergahku kemudian. Sebisa mungkin aku menahan air mata agar tak sampai jatuh. Aku tak ingin terlihat cengeng di hadapan laki-laki yang sempat memberiku harapan. Meski teramat perih, aku tetap berusaha untuk menyembunyikannya. “Ini tidak seperti apa yang kamu dengar, Na! Tolong dengarkan penjelasanku dulu.”Lagi. Mas Ryan kembali membela diri. Namun, setelah apa yang kudengar barusan, apa aku harus percaya dengan apa yang dia ucapkan? Bisa saja dia mengarang cerita sebagai pembenaran atas apa yang dia lakukan. “Sudahlah, Mas!
Setelah rehat dan berganti pakaian, aku meminta Devi mengantarku pulang. Tadi dia menawari untuk menginap di sini saja, tapi kutolak. Rasanya, aku ingin menyendiri dulu, meski hanya sekedar untuk meresapi apa yang baru saja kualami.“Tapi ini sudah malam, Din, entar aku pulangnya gimana? Kan aku takut,” ucap Devi saat kami sedang berbincang di ruang tengah.“Ya sudah, aku pesan taksi online saja,” usulku.“Jangan! Aku enggak tega membiarkan kamu pulang sendiri,” tolaknya dengan wajah sendu.Aku menghirup nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Di suruh antar, bilang takut. Mau pulang sendiri, dia bilang enggak tega. Apa sih maunya Devi?“terus gimana dong?” tanyaku bingung.Devi mengangkat kedua bahunya, seolah mengatakan bahwa dirinya pun tidak tahu. Sesaat, kami berdua terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Aku memutar otak, mencoba mencari cara agar secepatnya bisa pulang ke rumah orang tua. Di kala susah seperti ini, rindu bertemu mereka seakan tak tertahankan.“He
“Dini...” Mas Arga, suamiku memekik tertahan dengan mata terpejam. Seketika telingaku memanas mendengar nama wanita lain yang disebut olehnya. Tanganku bergerak cepat mendorong tubuh yang sedang menindihku hingga terpental agak jauh. Hasrat yang semula telah berada di ubun-ubun menguap entah ke mana.“Siapa Dini, Mas!” bentakku dengan mata menatap nyalang padanya.Mas Arga gelagapan saat mendengar pertanyaanku. Sepertinya ada yang sedang ia sembunyikan. Coba lihat, matanya saja enggak berani membalas tatapanku.“Dini siapa? Aku enggak kenal,” elak mas Arga. “Jangan bohong! Dini yang kamu sebut namanya barusan.” Aku kembali mencecarnya dengan pertanyaan yang sama. Sudah jelas-jelas ia menyebut nama perempuan lain di penghujung surga dunia yang ia capai. Kok masih bisa bilang enggak kenal. Bukannya menjawab apa yang aku tanyakan, mas Arga justru melayangkan tamparan pada pipi kiriku. “Berani sekali kamu membentakku!” hardik mas Arga, “kalau aku bilang enggak kenal ya sudah, kamu j
Tanpa pikir panjang langsung kutulis pesan balasan untuk orang tersebut. Aku ingin mengetahui seberapa jauh hubungan mereka. (sabar sayang... semua butuh waktu.)Setelah selesai menulis, segera kukirim pesan itu. Sambil menunggu pesan itu dibalas, aku mulai memikirkan cara bagaimana cara membalas kelakuan mas Arga. Mempermalukan dia di depan umum? Ah, itu sama saja aku mempermalukan diri sendiri. Menguras habis harta suami sebelum cerai? Apanya yang mau dikuras, hidupnya saja pas-pasan. Kepalaku mulai pening mencari cara yang cocok untuk membalasnya. Tiba-tiba aku teringar dengan cerita Devi, sahabatku. sebuah ide cemerlang pun muncul terinspirasi dari ceritanya . Ya! Akan kubuat suamiku semakin layu. biar enggak ada perempuan yang mau sama dia. Aku tersenyum licik sambil menatap mas Arga.Sebuah pesan kembali tertera pada layar ponsel mas Arga yang didahului oleh bunyi nada pesan. Aku segera membaca pesan tersebut.(Kapan, Mas? Sudah empat bulan kamu janji mau ceraikan istrimu,
Siang ini udara terasa panas, tapi tak sedikit pun menyurutkan niat untuk bertemu Devi sahabatku. Tadi aku sudah bikin janji dengannya. Devi langsung membuka pintu sesaat setelah aku mengucap salam. Ia tampak senang dengan kehadiranku. Kami memang sudah cukup lama tidak ketemu karena kesibukan masing-masing. “Masuk yuk, Din!” ajaknya sambil menggandeng tanganku. Segera kuletakkan bokongku pada sofa yang ada di ruangan ini. Devi kemudian pergi sebentar lalu kembali dengan dua gelas minuman di tangannya.“Tumben banget muka kamu kusut begitu, Din?” tanya Devi. “Iya nih, habis dihajar.” sahutku. Tanganku bergerak cepat menyambar gelas di depanku lalu meneguk isinya hingga sisa separuhnya saja.“Dihajar sama siapa?” desaknya. “Dihajar sama kenyataan,” sahutku sembari melebarkan tawa. Mendengar jawabanku, Devi langsung mencubit pinggangku. Ia memasang wajah kesal. “aku serius nanya Din!” sungutnya kemudian.“Iya... iya...” Aku mencoba bersikap serius, “ aku lagi banyak masalah, Dev.
“Nggi, bantuin Mbak beresin meja dong,” pintaku pada Anggi, adik iparku setelah mereka selesai makan.“Emangnya kamu enggak bisa lakukan sendiri, Dek?” Mas Arga langsung menyambar ucapanku.“Bisa sih bisa Mas, tapi kalau ada yang bantuin kan jadi lebih cepat selesai,” jelasku. “Kalau bisa sendiri, kenapa mesti minta Anggi yang melakukannya?” tanya Mas Arga. “Aku Cuma minta bantuan doang, Mas! Lagian juga enggak tiap hari,” jawabku kesal. Kadang Aku heran sama suamiku. Kalau aku minta Anggi untuk membantu pekerjaan rumah, pasti dia langsung protes. Ujung-ujungnya aku sendiri yang mengerjakannya. “Aku mau ngerjain tugas dulu, Mbak! “ Adik iparku yang sedari tadi hanya diam kini mulai membuka suara. Sayangnya, ia berkata sambil pergi ke kamarnya. Aku hanya menghembuskan nafas kasar melihat tingkahnya.“Itu kan sudah kewajiban kamu sebagai istri!” timpal ibu, “Jadi jangan malas!” “Siapa juga yang malas, Bu? Bukankah aku setiap hari melakukan kewajibanku?” Aku membantah tuduhan ib
Mentari pagi tampak cerah bersinar. Namun, cahayanya tak cukup hebat untuk menghangatkan hati yang terluka karena cinta. Semalam, setelah Mas Arga membuang bukti transfer, ia kembali ke kamar dengan wajah kusut. Entah apa lagi yang ia sembunyikan dariku. Hari ini dia tidak masuk kerja. Katanya sih alat vitalnya masih berasa enggak nyaman. Sampai begitu parahkah efek bubuk cabai yang kuberikan? Salah sendiri asal bercocok tanam!Aku segera menghubungi Devi, sahabatku. Menurutku ini saat yang tepat untuk melancarkan misi selanjutnya. “Iya, Din.” Terdengar suara Devi saat panggilan kami terhubung. “Hari ini mas Arga di rumah, bisa datang sekarang?” tanyaku. “Oke... satu jam lagi kami sampai,” sahut Devi. “Aku tunggu ya...” Aku mengakhiri panggilan ini setelah memberi kabar pada Devi.**** Saat aku, Mas Arga dan Ibu sedang berkumpul di ruang keluarga, samar terdengar suara ketukan pintu tiga kali disertai ucapan salam.“Kayaknya ada tamu deh, Din. Coba kamu lihat ke depan,” perinta