Setelah perdebatan kemarin dan dia mengatakan tidak punya uang sama sekali, pagi ini aku akan memberinya uang. Enggak usah banyak, yang penting cukup.
"Ini harus cukup untuk seminggu." Aku menyerahkan dua lembaran merah kepada Qiera yang menghampiriku dengan segelas kopi.
"Iya, Mas. Alhamdulillah, tapi kamu jangan marah kalau aku gak masak ayam, daging, atau ikan, ya?" Ia tiba-tiba menyebutkan semua menu yang biasanya harus ada di meja, itu pun jika aku memberikannya uang satu juta setengah untuk satu bulan.
Kali ini anggap saja aku memberinya seperempat, jadi tidak apa-apa jika makanan kesukaanku tidak masuk kategori. Asalkan uang itu cukup, lagipula aku bisa beli nanti di restoran atau rumah makan.
Walaupun harganya lebih mahal, yang penting perutku kenyang, dan uangku tidak disia-siakan oleh orang yang hanya tau bermalas-malasan seperti Qiera itu. Aku tidak sudi.
"Bagaimana, Mas? Kamu tidak akan marah bukan?" Qiera kembali meminta jawabanku.
"Tentu saja tidak akan! Apa kau pikir aku adalah lelaki yang suka marah-marah? Sudahlah, aku mau berangkat kerja dulu. Jangan lupa untuk membereskan rumah sebelum aku pulang, jangan cuman bisa bersantai tapi lupa pekerjaan," pesanku panjang lebar, tapi dia hanya mengangguk pelan.
***
"Tadi pagi kamu datang kusut banget, sih. Ada apa?" tanya seorang teman.
Di jam istirahat, dua temanku akan datang ke ruangan, terus kamu pergi ke kantin bersama.
"Aku pusing menghadapi istriku. Andai saja kalian ada di posisiku, pasti gak akan sanggup untuk pulang ke rumah lagi." Ingin rasanya aku bercerita, tapi ini permasalahan keluarga yang tidak seharusnya diceritakan.
"Lah, emang Qiera bagaimana? Perasaan selama ini dia baik banget, kamu aja suka bawa bekal. Sayangnya dia tidak tahu kalau bekal yang dibuatnya kamu berikan kepada sekretaris si bos itu." Jordi mulai memberikan komentar.
"Lah, Salsa kan memang pantas mendapatkan perhatianku. Apalagi dia baik dan perhatian kepada semua karyawan, jadi sudah sepantasnya kita juga baik sama kita." Aku mulai mencari alasan, sebenarnya hati memang ingin mencoba untuk lebih dekat dengannya, tapi tidak ada keberanian karena dia selalu ada di samping bos muda itu.
"Menurutku Qiera juga baik, baik banget malah. Nada bicaranya aja lembut gitu, terus tatapan matanya juga sabar." Angga ikut berkomentar.
"Hadeh, itu karena kalian gak tahu sifat aslinya seperti apa. Yang jelas dia itu benar-benar menjengkelkan. Banyangkan saja bagaimana perasaan kalian ketika pulang kerja capek, letih, dan ingin istirahat, tapi malau melihat rumah dan setiap sudut ruangannya seperti kapal pecah. Ditambah bau pesing di mana-mana. Kuat?" Aku menatap mereka bergantian, lalu Angga menggeleng.
"Nah, kan, kamu saja yang baru membayangkan sudah tidak kuat. Coba bayangkan bagaimana rasanya menjadi aku? Sepertinya kau tidak akan bertahan lebih dari satu minggu. Sementara aku sudah enam tahun menjalani semua ini, pokonya setelah menikah aku hanya tenang beberapa bulan saja.
Setelahnya mulai sibuk dengan kehidupan Qiera dari mengandung.
"Kamu enak masih bujang, Ga." Aku kembali bicara sambil mengacak rambut frustasi.
"Lah, apa coba enaknya jadi aku yang tiap hari diteriakin emak, "Nikah, Ga, percuma kerja kantoran kalau belum juga ada cewek yang mau," gitu. Pokoknya gak ada enak-enaknya." Angga pun akhirnya mengacak rambut frustasi, sama seperti aku.
Kini kami melihat ke arah arah Jordi yang hanya melemparkan tatapan heran ke arah kami.
"Aku gak percaya kalau Qiera seperti itu. Maaf, ya, Yas, aku pernah lihat dia cantik, wangi, dan bersih. Aku rasa apa yang kamu katakannya tidak begitu sesuai." Jordi ternyata membela Qiera.
Tenang, Yasa, tenang. Dia seperti ini karena tidak tahu bagaimana kondisi rumah yang berantakan seperti kapal pecah itu. Andai saja dia juga punya istri yang begitu jorok dan pemalas, sudah pasti dia akan lebih parah dariku.
"Terserah, pokoknya aku itu paling males pulang ke rumah. Apabila Qiera boros banget, masa dikasih seberapa banyak pun suka langsung habis. Mana buat telor dadar aja gosong terus, ditambah kerjanya lelet. Ah, rasanya menyebalkan." Aku kembali bercerita bagaimana kacaunya rumah.
Rasanya aku tidak akan bisa tenang kalau belum menceritakan unek-unek yang sudah lama aku simpan di dalam dada.
"Sedang apa kalian?" Seorang lelaki muda yang baru menjabat di kantor ini tiba-tiba datang ke kantin dan duduk tepat di sampingku. Ada angin apa ini? Apa mungkin atas rekomendasi Salsa? Yah, dia memang orang yang baik, cantik lagi. Kalau Qiera sudah pasti lewat jika dibandingkan dengannya.
"Em, gak ada, Bos. Hanya cerita-cerita saja." Aku langsung menjawabnya dengan percaya diri. Pokoknya aku harus menunjukkan sisiku yang paling baik, agar segera naik jabatan.
"Cerita apa, kayaknya seru?" tanyanya lagi dengan raut wajah yang tidak bisa kami tebak.
"Gak penting, kok, Bos." Jordi langsung nyeletuk.
"Enggak penting gimana?"
Waduh, malah tambah panjang ini. Apalagi Jordi dan Angga terlihat serba salah dan saling memalingkan wajah.
"Saya pikir hanya wanita yang suka bergosip, ternyata pria juga. Saya benar-benar tidak habis pikir dengan karyawan seperti kalian ini," ucapnya tegas dengan wajah datarnya membuat kami ketakutan. "Kamu, Yasa, saya tunggu di ruangan segera!" titahnya membuat tubuhku gemetar.
"Duh, kok, dia kaya yang mau marah gitu, ya? Aku takut kalau nanti kita dipecat, di mana lagi aku bisa kerja di umur yang sudah dewasa begini." Angga langsung ketakutan dan aku pun sama.
"Gih, cepat ke sana! Jangan biarkan Pak Bos menunggu lama, terus nanti kamu juga dipecat," ucap Jordi.
Benar apa yang dia katakan, aku harus segera ke sana.
"Bentar, ya." Aku langsung bangkit dari duduk, menarik napas panjang berkali-kali, dan langsung pergi ketika tubuh sudah terkendali.
"Bos." Aku mengetuk pintunya sendiri karena Salsa tidak ada di mejanya.
"Masuk!" titahnya dengan suara yang tinggi.
Badan yang sudah kembali normal kembali gemetaran ketika mendengar satu kata dari bibirnya. Aku menarik kursi untuk duduk, tapi dia malah menatapku tajam.
"Kapan aku memintamu duduk?" ucapnya menakutkan.
Aku kembali berdiri dan menundukkan kepala. Andai saja aku orang hebat, sudah pasti dia akan berada di bawah kendaliku. Awas saja kalau nanti keadaan kita berbanding terbalik, aku akan memberikan kamu pelajaran yang lebih menyedihkan.
"Apa gunanya tadi kamu menceritakan aib di rumah kepada orang lain?" tanyanya dingin.
"Mereka bukan orang lain, mereka adalah temanku." Aku menjawabnya kesal.
"Dalam rumah tangga, hanya ada suami, istri, dan anak kalau sudah ada. Kenapa kau libatkan teman?" tanyanya lagi.
"Saya hanya curhat, bukankah itu tidak masalah daripada nanti kelamaan saya menjadi gila? Andai saja Bapak yang ada di posisi saya, apa benar Bapak tidak akan melakukan hal yang serupa?" Aku benar-benar kesal jadi kembali bicara dengan frontal.
"Tadi kau bilang rumahmu selalu berantakan?"
"Benar." Aku mengangguk cepat.
"Apa selama ini kau pernah membantu pekerjaan rumah istrimu, seperti menyapu, mengepel, cuci piring, ganti popok anak, atau yang lainnya?" tanyanya lagi dan kali ini aku hanya bisa diam mematung.
Selama ini aku tidak pernah sekalipun membantunya dalam membereskan pekerjaan rumah. Bukankah itu semua memang sudah menjadi tugas seorang istri?
"Kenapa? Tidak kan?" Tatapan matanya menatapku seolah ingin melahap hidup-hidup. Aku tahu orang ini memang keras, tapi tidak tahu kalau suka mencampuri urusan orang juga. Dasar tidak tahu malu, memang dia pikir dia siapanya aku? "Maaf, Pak, tapi saya tidak punya waktu untuk membantunya mengurus pekerjaan rumah." Aku menjawab jujur. "Tidak punya waktu? Padahal kau pulang jam lima sore, kan? Harusnya ada banyak waktu untuk membantu istrimu." Dia berkata seenak jidat. "Terus apa tadi maksudnya istrimu pandai menghabiskan uang, memang kamu memberinya berapa?" tanyanya lagi. Duh, kenapa sih, nih orang, kok, ingin tahu kehidupan pribadiku? "Enggak sampai dua juta bukan? Padahal gajimu di sini hampir lima juta, tapi memberikan setengahnya saja kamu tidak?" Dia menepuk-nepuk keningnya. "Kok, bisa saya punya pekerja yang pelitnya luar biasa sama istri sendiri tapi ingin dihidangkan makanan yang mewah?" Dia tertawa miris, lalu mengeluarkan kalimat-kalimat nasihat, tapi sayangnya aku tidak
Sinar matahari yang masuk lewat celah jendela membuatku membuka mata. Segera kulihat jam yang ada di samping, ternyata baru jam tujuh. Sepertinya sekarang sudah aman untuk aku keluar, semoga saja Qiera beli banyak bahan yang kemarin aku pesan. Usai mandi, aku kesulitan mencari baju yang akan aku pakai. Kucoba menekan beberapa angka di ponsel, yaitu nomor telepon Qiera, tapi tidak juga diangkat. Karena kesal, aku pun keluar kamar menuju tempat Qiera kemarin menyetrika banyak baju. Namun, tetap saja baju yang aku cari tidak ada di tempat itu, bahkan di jemuran saja tidak ada. Kembali aku menelpon nomor Qiera, tapi dering ponselnya malah terdengar di dekatku. Segera aku mendekat ke arah cucian baju yang menimpuk, tempat bunyi ponsel terdengar. Ah, sial, ternyata dia tidak membawa ponselnya. Mau marah, tapi marah pada siapa. Jadi aku berinisiatif untuk mencari kaus kaki dan beberapa perlengkapan yang akan aku bawa di hari Kamis ini, tapi sialnya semua yang akan aku bawa tidak ketemu
"Aku pulang ke rumah Mama dulu ya, Mas. Uang dua ratus yang kamu kasih kemarin sudah aku belikan makanan kesukaan Ibu dan Yani, sisanya aku simpan di atas kulkas. Maaf kalau aku tidak izin, ya, aku harap Mas bisa hidup tanpa aku dan anak-anak." "Pulang? Di saat ada Ibu sama Yani dia malah pulang? Dasar mantu durhaka. Sepertinya dia harus diberikan pelajaran!" Ibu langsung murka ketika tidak sengaja membuka memo yang sedang aku pegang. Qiera memang benar-benar sudah keterlaluan. Kalau memang dia tidak keberatan dengan kedatangan Ibu dan adikku, kenapa dia baru pulang sekarang? Kenapa tidak sebelum-sebelumnya? Aku kembali teringat dengan ponsel yang ada di keranjang baju kotor, tapi tidak ada. "Cari apa kamu di situ?" Ibu bertanya sambil menatapku jijik. "Tadi aku menemukan ponsel Qiera di sini, Bu, jadi kalau sekarang tidak ada, dia pasti bawa ponsel!" Aku terus mencarinya sampai bajunya aku lempar ke sembarang arah. Akan tetapi lagi-lagi yang aku temukan hanya kertas memo kecil
"Kenapa pulang lagi? Tidak jadi 'kah?" Ibu duduk di sampingku yang menghempaskan diri di sofa. "Sepertinya Qiera memang harus diberikan pelajaran, Bu." Aku menceritakan tentang apa yang terjadi barusan dan Ibu menjadi lebih emosi. "Sudah aku bilang dari dulu, Mas, kalau wanita itu memang bukan perempuan baik-baik." Yani ikut bicara dan duduk di samping kiriku. Kami pun mulai menyusun rencana untuk membuat Qiera kembali, pokoknya dia harus pulang tanpa dijemput, dan tanpa diantar keluarganya. "Nah, sekarang coba kamu telpon bapaknya!" titah Ibu dan aku langsung melakukannya. "Assalamu'alaikum, Yas, ada apa?" Suara Bapak mertua langsung terdengar, dapat aku pastikan kalau aku memang selalu menjadi menantu kesayangan karena Qiera adalah anak satu-satunya. Tentu saja aku juga termasuk ke dalam menantu satu-satunya, apalagi mamanya Qiera sudah menganggapku seperti anak sendiri. Jadi, dapat aku pastikan kalau kali ini Qiera tidak akan pernah bisa kabur lagi seperti ini. Aku akan mem
Aku mengerjapkan mata ketika melihat Mama dan Papa mertua juga turun dari mobil. Bukan hanya aku, Yani dan Ibu pun langsung kehilangan kata-kata. Pukulan yang tadi mendarat cukup keras di bahu Qiera, kini berubah menjadi elusan penuh kasih sayang. "Kamu capek 'kan, Sayang? Masuk dulu, yuk, nanti Ibu siapkan makanan yang paling enak," ucap Ibu dengan suara yang sangat berbeda dari tadi. "Masak? Kan di dalam masih berantakan, apa tidak apa-apa menyuruh mereka masuk?" bisikku di telinga Ibu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau Mama dan Papa melihat dalam rumah yang begitu berantakan, bahkan lebih parah dari kapal pecah. Aku sendiri langsung pusing ketika melihatnya, apalagi mereka. Bisa-bisa kami bertiga langsung dibenci oleh mertuaku. "Gapapa, biar orang tuanya tahu kalau anaknya sudah pergi terlalu lama, dan menelantarkan suaminya begitu saja." Ibu bersikap percaya diri. Ya sudah, kalau Ibu sudah berkata begitu, aku tidak punya pilihan lain. Hanya bisa berdoa semoga apa sem
"Tidak!" Ibu menjerit-jerit histeris selama beberapa saat, lalu berlari ke arah Qiera, dan dan handak menamparnya. Aku tidak terkejut, Ibu memang sering melakukan itu kepada Qiera, tapi aku sangat berbeda ketika melihat Qiera menahan tangan ibu dan menjatuhkannya. "Kenapa? Mau jadi mantu durhaka ya, kamu?” Ibu kembali menjerit. "Aku tidak akan seperti ini kalau Ibu tidak mencari masalah lebih dulu. Dari awal aku memang selalu melakukan apapun yang Ibu perintahkan, karena aku sadar kalau Ibu adalah wanita yang harus aku hormati. Tapi apa yang aku dapatkan?" Qiera mengungkapkan isi hati yang selama ini selalu dia pendam. Aku sendiri tidak tahu kalau dia tertekan dengan keadaan ini. Aku pikir selama ini dia baik-baik saja, karena selalu tersenyum dan tidak pernah mengeluh. Ternyata aku salah. "Baik, maafkan Ibu, Qiera." Aku berkata tanpa sadar, sampai membuat Ibu menatap geram ke arahku. "Maafkan Ibu juga, apa yang seorang Ibu lakukan tidak pernah salah." Qiera yang awalnya terkej
"Bekal aku mana?" tanyaku pada Qiera sambil menatap meja kosong yang biasanya ada bekal untukku, yang biasanya aku kasihkan kepada Salsa. Namun, siapa sangka diminta bos, jadi aku bisa memanfaatkan hal ini untuk menambah bonus yang sangat banyak. "Bekal?" Qiera tampak kaget ketika aku bertanya barusan. "Enggak ada." "Apa? Kok, bisa?" "Tidak ada uang, berarti tidak ada bahan masakan yang bisa dibeli." Ia menjawab santai tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Kan pakai uangmu dulu bisa." Aku mendengus kesal. "Uang istri tetap milik istri, sementara uang suami adalah milik istri. Tapi kau ... sangat pelit. Jadi, sekarang tolong jelaskan kenapa aku harus berbaik hati padamu, memangnya kau juga baik padaku?" "Kau!" Ingin aku memaki dan memarahinya, tapi sekuat tenaga aku tahan karena kalau tidak berangkat sekarang aku akan terlambat. Semoga saja nanti dia masak, kalau tidak, aku takut Ibu dan Yani kelaparan selama ada di sini. Aku membawa kotak makan dari rumah dan beli makanan dari
"Jawab!" bentaknya membuat kami bertiga semakin tidak berdaya. Entah apes atau apa, yang jelas hari ini kami selalu dipenuhi kesialan. Apa jangan-jangan ini gara-gara Qiera yang kembali, ya? Apa yang aku harus jawab, sama sekali tidak kepikiran untuk berbohong di hadapan lelaki ini. Apalagi Ibu dan Yani. Sepetinya kita hanya bisa menunggu amarahnya mereda. "Oh ... jadi kalian mau main diam-diaman?" Lelaki itu memilih duduk tepat di depan kami, "tapi mau sampai kapan?" Keadaan menjadi semakin hening karena beberapa pengunjung mulai fokus ke arah kita, sepertinya mereka sangat ingin tahu dengan urusan orang lain. Keringat mulai membasahi bajuku, sepertinya sebentar lagi baju ini akan basah. Aku lihat Ibu dan Yani pun sama, memang menakutkan. "Mas, saya mau menu yang paling mahal di sini, dong. Pake nasi, ya, jangan lupa dikemas dengan box," pintanya pada pelayan kafe. Aku dan Ibu saling tatap karena sama-sama punya firasat yang tidak baik setelah lelaki itu memesan. "Berapa, Pa