"Bekal aku mana?" tanyaku pada Qiera sambil menatap meja kosong yang biasanya ada bekal untukku, yang biasanya aku kasihkan kepada Salsa. Namun, siapa sangka diminta bos, jadi aku bisa memanfaatkan hal ini untuk menambah bonus yang sangat banyak. "Bekal?" Qiera tampak kaget ketika aku bertanya barusan. "Enggak ada." "Apa? Kok, bisa?" "Tidak ada uang, berarti tidak ada bahan masakan yang bisa dibeli." Ia menjawab santai tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Kan pakai uangmu dulu bisa." Aku mendengus kesal. "Uang istri tetap milik istri, sementara uang suami adalah milik istri. Tapi kau ... sangat pelit. Jadi, sekarang tolong jelaskan kenapa aku harus berbaik hati padamu, memangnya kau juga baik padaku?" "Kau!" Ingin aku memaki dan memarahinya, tapi sekuat tenaga aku tahan karena kalau tidak berangkat sekarang aku akan terlambat. Semoga saja nanti dia masak, kalau tidak, aku takut Ibu dan Yani kelaparan selama ada di sini. Aku membawa kotak makan dari rumah dan beli makanan dari
"Jawab!" bentaknya membuat kami bertiga semakin tidak berdaya. Entah apes atau apa, yang jelas hari ini kami selalu dipenuhi kesialan. Apa jangan-jangan ini gara-gara Qiera yang kembali, ya? Apa yang aku harus jawab, sama sekali tidak kepikiran untuk berbohong di hadapan lelaki ini. Apalagi Ibu dan Yani. Sepetinya kita hanya bisa menunggu amarahnya mereda. "Oh ... jadi kalian mau main diam-diaman?" Lelaki itu memilih duduk tepat di depan kami, "tapi mau sampai kapan?" Keadaan menjadi semakin hening karena beberapa pengunjung mulai fokus ke arah kita, sepertinya mereka sangat ingin tahu dengan urusan orang lain. Keringat mulai membasahi bajuku, sepertinya sebentar lagi baju ini akan basah. Aku lihat Ibu dan Yani pun sama, memang menakutkan. "Mas, saya mau menu yang paling mahal di sini, dong. Pake nasi, ya, jangan lupa dikemas dengan box," pintanya pada pelayan kafe. Aku dan Ibu saling tatap karena sama-sama punya firasat yang tidak baik setelah lelaki itu memesan. "Berapa, Pa
Qiera Awalnya keluarga Mas Yasa sangat baik padaku, terutama Bapak. Namun, semenjak kami pisah rumah, Mas Yasa mulai menunjukkan sikapnya. Suka marah-marah dalam segala hal, bahkan menyangkut hal kecil sekalipun. Hinaan dan kata-kata kasar menjadi makanan sehari-hari untukku. Ingin rasanya aku menyerah, tapi kembali ingat kalau setiap rumah tangga pasti akan ada ujian, apapun itu. Kalau tidak diuji keturunan, pasti ekonomi, kalau tidak keduanya, diuji dengan sikap suami dan anak-anak. Selama ini aku berusaha sabar, tapi sampai ketika Mas Yasa mengatakan ibunya dan adik ipar akan datang, aku menyerah. Aku memilih untuk pergi ke rumah orang tuaku dan bersantai sejenak dari kehidupan yang hanya aku lalui penuh luka dan air mata. "Jangan khawatir, Bapak tidak akan pernah membiarkan anak sebaik kamu terluka." Lelaki berusia lebih dari setengah abad itu berusaha untuk menguatkan aku. "Nanti kalau dia berbuat macam-macam lagi, laporkan segera sama Bapak," lanjutnya. Aku hanya menganggu
Qiera Aku benar-benar puas dengan cara Bapak mertua mendidik istri dan anak-anaknya. Sebagai kepala rumah tangga memang harus tegas seperti itu. Apalagi jika sikapnya begitu semua. Aku saja rasanya sangat pusing. Ingin marah, tapi coba kutahan. Karena bagaimanapun mereka adalah suami dan mertuaku. "Kita gak akan bisa bernapas dengan tenang kalau Bapak ada di ini!" Tidak sengaja aku mendengar Mas Yasa berbicara, tapi di mana, dan apa yang mereka bicarakan jam dua belas malam begini. Aku berjalan pelan ke arah sumber suara yang kupikir ada di sebelah kiri, berarti mereka di dapur. Tapi aku salah, ternyata di dapur tidak ada apapun. Aku kembali ke depan pintu kamar dan mencoba untuk tenang dulu sambil memastikan mereka ada di mana. "Justru kita semakin akan dimarahi Bapak kalau masih ada Qiera, jadi sebaiknya kita berikan Qiera pelajaran dulu. Kalau tidak kunjung jera, terpaksa kita gunakan cara terkahir," jelas seorang wanita yang aku tahu ini adalah suara Ibu. Spontan tangan
KSIBP 13 "Tin! Tin!" "Tin! Tin!" Bunyi klakson terdengar bersahutan ketika aku mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi seperti pembalap. Sebenarnya aku punya trauma, makanya gak berani ngebut, tapi karena anakku sedang dalam bahaya, rasa takut ikut lenyap seketika, dan tergantikan dengan rasa berani tidak takut mati yang penting anak semangat. Beberapa mobil pun pada akhirnya ikut ngebut seperti aku. Sekarang bukan hanya trauma yang hilang, tapi kantuk juga musnah. "Abang takut gak Mama ngebut gini?" tanyaku pada bocah yang selalu melakukan apapun yang aku inginkan. Katanya dia ingin menjadi orang pertama yang bertahta di hatiku, yang kedua baru Zihan, adiknya. Anak kecil itu malah tersenyum lebar, lalu tertawa kecil. "Kenapa, Bang? Kok, malah ketawa?" Ingin aku melihat ekspresinya lebih lama, tapi untuk sekarang jalanan lebih harus aku perhatikan. "Apa jangan-jangan Abang takut?" "Enggak, dong, Ma. Mana mungkin Abang takut kalau Mama saja gak takut. Lucu, Mama ini." Ziro
Qiera Kupikir selama ini aku sudah menjadi istri yang baik untuk suamiku. Istri yang patuh karena aku melakukan semuanya sendiri sesuai perintahnya, istri yang baik karena tidak menuntut suamiku untuk membantu pekerjaan yang kulakukan. Tapi ternyata ... tetap saja aku hanya seonggok daging yang tidak penting baginya. Bahkan untuk ibu dan adiknya pun, aku adalah lalat pengganggu yang akan menghancurkan kualitas makanan mereka. Tidak hanya aku, mereka pun menilai anak-anakku sama. Apa salah mereka? Apa salah anak-anak yang tidak berdosa itu sampai-sampai mereka mengincar nyawanya? Jika mereka membenciku, itu bukanlah masalah. Karena boleh jadi aku belum baik untuk mereka, tapi tidak ketika mereka mulai menembus batas kesabaranku dengan mencoba untuk menghancurkan ketenangan anak-anakku. Semut memang selalu diam, tapi dia akan mulai menggigit ketika kenyamanannya diganggu, dan ketika keluarganya dilukai. Begitupun denganku. Mana ada seorang ibu yang hanya diam ketika melihat dan m
YasaTubuh merinding ketika Om Dino berbisik demikian, kenapa semuanya menjadi seperti ini? Padahal aku memang sama sekali tidak ada niat untuk berpisah dengan Qiera, aku hanya suka menakutinya saja. "Bagaimana, kau siap kan untuk berpisah?" Lelaki itu kembali berbisik, tapi aku memilih diam, dan berpura-pura tidak mendengar semuanya. Bukan ini yang aku inginkan sejak awal, aku hanya ingin Qiera pintar menjaga rumah, anak-anak, juga mengelola uang dengan baik. Jiak dia tidak kunjung menurut, maka aku akan membuatnya menurut dengan luka yang akan aku torehkan lewat obat yang lama-kelamaan akan membuatnya kehilangan kesadaran, tapi bukan perceraian. "Kau nerima ataupun tidak, kalian tetap harus berpisah. Lagipula tidak mungkin aku membiarkan keponakanku untuk bersama dengan lelaki ular seperti kamu," ucapnya lagi. Tanganku mengepal semakin kuat, ingin rasanya aku meluncurkan bogem mentah ke arahnya, tapi tidak bisa. Di sini ada banyak orang, bahkan bapak dan mertuaku juga ada di sin
Qiera Semilir angin sayup-sayup menerpa wajahku yang berdiri di balkon tepat di depan kamar. Ada rasa yang tidak biasa menyeruak begitu saja. Entah itu rindu kepada anak-anak atau memang aku sedang resah. Jika yang kurasakan kini memang rindu kepada anak-anak, tentu saja itu sangat wajar. Terlebih di sini aku sudah tinggal beberapa hari hanya untuk menjalankan misi demi kebahagiaan buah hati. Meski sebenarnya bisa saja bagiku untuk pergi tanpa pamit, tapi tidak mungkin aku bisa melakukan hal itu. Bagaimanapun Mas Yasa adalah suamiku dan aku harus pergi dengan izinnya. Ingin rasanya aku melakukan hal itu sama seperti kebanyakan wanita, tapi nuraniku menolaknya. Bahkan hatiku tercabik ketika teringat keinginan itu. Dari enam tahun lalu, aku memang selalu ingin duduk di sini sambil menikmati indahnya malam, dan sejuknya angin yang berhembus. Namun, kesibukan membuatku lupa segalanya. Termasuk kebahagiaanku sendiri. "Qiera!" Terdengar suara Mas Yasa memanggil lirih, tapi entah ke