Share

7. MAU YA?

Alessia masih terduduk di sofa ruang tamunya. Handoyo dan gerombolan pria itu memang sudah pergi lebih dari satu jam yang lalu, tapi Alessia masih belum juga beranjak. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana Handoyo diseret pergi.

Apa yang akan mereka lakukan pada Handoyo?

Pikiran itu tiba-tiba saja melintas di benaknya. Bagaimana pun Handoyo adalah ayah kandungnya. Alessia mulai merasa bimbang dengan keputusan awalnya untuk tidak memedulikan Handoyo lagi. Ia meremas-remas jemarinya dengan gelisah.

Apa sebaiknya aku jual mobil dan bayar saja hutangnya?

Pikiran itu sempat muncul di benaknya. Tapi jika Alessia melakukannya, Handoyo akan semakin seenaknya. Bahkan beberapa bulan yang lalu Alessia sampai menghabiskan uang tabungannya untuk melunasi hutang Handoyo yang begitu besar.

Alessia menoleh saat mendengar suara mobil memasuki pekarangan rumahnya. Tidak lama kemudian ia mendengar langkah kaki yang sepertinya berhenti di teras depan rumahnya. Alessia mengira itu adalah preman yang sebelumnya datang, jadi ia memutuskan untuk tidak memedulikannya.

Terdengar suara ketukan di pintu, tetapi Alessia hanya bergeming.

Beberapa saat kemudian terdengar suara handphone berbunyi. Nada dering yang digunakan sama dengan milik Alessia, tetapi saat ia mengecek, ternyata handphonenya dalam keadaan tidak aktif. Sepertinya suara ini berasal dari handphone milik preman yang sedang berada di teras.

"Iya, Tuan Muda. Ini saya sudah di rumah Nona Alessia. Mobilnya ada di sini, tetapi ini saya ketuk beberapa kali belum ada yang menjawab. Ini saya di teras tapi kondisinya berantakan, Tuan. Saya rasa telah terjadi sesuatu." Ferdy menjawab telepon dari Allen.

Ferdy menoleh saat mendengar pintu di belakangnya terbuka.

"Maaf Pak Ferdy, saya kira siapa," ucap Alessia.

"Tuan Muda, ini ada Nona Alessia." Ferdy menunduk sedikit kepada Alessia lalu menyerahkan handphone miliknya.

"Nona Alessia, ini Tuan Muda Allen ingin bicara."

"Halo?" Alessia membuka percakapan.

"Ale, teras kenapa?" Allen bertanya dengan penasaran.

"Kenapa apanya?"

"Kata Pak Ferdy berantakan. Jangan bilang lintah darat Handoyo balik lagi?"

Alessia hanya diam tidak menanggapi. Percuma jika ia ingin membohongi Allen, tidak akan mempan. Toh selama ini Allen dan Mama Jane-lah yang membantu Alessia melewati semua masalah yang terjadi karena Handoyo. Allen juga yang selalu pasang badan jika Handoyo atau para lintah darat datang dan mengusiknya.

"Hmm," Alessia menjawab lirih.

"Terus gimana? Ada yang macam-macam ke kamu enggak?" tanya Allen khawatir. Ia tahu lintah darat yang biasanya mendatangi Alessia adalah segerombolan preman berwajah sangar. Ia terusik saat mengetahui Alessia menghadapi mereka sendirian.

"Enggak gimana-gimana, sudah pergi. Aku juga udah bilang enggak akan membayar hutang Handoyo lagi. Aku sudah putus hubungan dengannya ... "

"Kamu ... enggak apa-apa?" Allen bertanya lirih.

"Enggak apa-apa. Baik-baik saja," jawab Alessia meyakinkan Allen.

"Oke. Kamu enggak bisa dihubungi jadi aku minta tolong Pak Ferdy ngecek di rumah."

"Oh."

"Ale ... ada sesuatu yang aku belum bilang ke kamu," Allen mengatakannya dengan ragu-ragu.

"Apa?"

"Aku ... "

"Hmm?"

"Aku sudah boleh pulang besok pagi hehehe." Allen mengatakannya lalu tertawa ringan. Dugaan Alessia meleset, Allen tidak membahas tentang kepindahannya.

"Eh seriusan?" Alessia sedikit terkejut karena mengira Allen masih membutuhkan waktu untuk pemulihan di rumah sakit.

"Iya tadi dokter habis ngecek semuanya. Aku agak maksa sih, habisnya sudah enggak betah kalau harus di sini lama-lama."

"Jadinya boleh?" tanya Alessia memastikan.

"Iya. Kamu istirahat di rumah saja enggak usah kesini."

"Hmm ... ya sudah kalau begitu."

***

Wajah Alessia terlihat sedikit pucat. Keringat membanjiri wajah dan tubuhnya. Tubuhnya bergerak-gerak dengan gelisah.

"Ale, sudah bangun belum?" Suara ketukan dan panggilan Allen di pintu kamarnya berhasil membangunkannya. Alessia mengerjapkan kedua matanya. Ia melihat ke sekelilingnya dan kemudian bernapas lega karena apa yang dialaminya barusan hanyalah sebuah mimpi.

"Ale ... bukain pintunya dong!" ucap Allen dari balik pintu.

"Iya sebentar," jawab Alessia.

"Tumben banget jam segini belum bangun. Biasanya pagi buta sudah beres-beres rumah." Allen memperhatikan wajah Alessia yang terlihat pucat dan penuh keringat.

"Habis jogging di sini apa gimana kok keringat banyak begitu?" ucap Allen menggodanya.

"He eh," jawab Alessia sekenanya.

"Sarapan yuk. Aku tadi beli bubur ayam depan kompleks."

"Tunggu di bawah gih, mau mandi sebentar."

"Okaay boss."

Allen bergegas menuju dapur. Dia memanaskan air dan berencana membuat kopi hitam untuk dirinya dan teh chamomile untuk Alessia. Allen lalu menyiapkan dua buah piring untuk bubur ayam mereka. Alessia turun saat minuman dan makanan mereka sudah terhidang di atas meja. Rambutnya masih sedikit basah karena habis keramas. Dia sudah terlihat jauh lebih segar dari sebelumnya.

"Sambalnya mana?" tanya Alessia yang sudah mulai mengaduk bubur ayamnya.

"Nih, tadi aku sudah minta biar dibanyakin," ucap Allen sambil menyodorkan plastik berisi sambal ke hadapan Alessia.

Alessia menuangkannya dengan banyak membuat wajah Allen mengernyit ngeri. Bubur yang tadinya putih sudah berubah menjadi merah, Allen geleng-geleng kepala.

"Oh iya. Ada hal penting yang mau aku omongin, kemarin belum bilang."

"Apa?" Alessia yang sudah bersiap memasukkan bubur ke mulutnya berhenti.

"Jadi ... aku sudah mulai bisa menerima tentang ... papa."

"Bagus dong, aku ikut senang."

"Papa minta aku untuk mulai mempersiapkan diri buat meneruskan perusahaan, karena bagaimana pun saat ini aku anak papa satu-satunya."

Walaupun Alessia sudah mempersiapkan diri untuk mendengar ini, dia tidak bisa menahan jantungnya yang berdebar kencang. Akhirnya tiba juga waktunya, Allen akan berpamitan kepadanya.

"Oh ya bagus dong! Kamu harus bersiap dari sekarang!" Alessia menjawab dengan sedikit canggung.

"Papa minta aku untuk pindah sama papa. Aku ... aku sudah menyetujuinya dengan dua syarat," kata Allen sedikit gugup.

"Dua syarat?" Alessia bertanya dengan penasaran. Ia belum mengetahui hal ini sama sekali.

"Syarat kedua, aku minta identitasku dirahasiakan. Aku minta papa untuk tidak memberi tahu siapa pun kalau papa sudah menemukanku."

"Dengan karaktermu aku bisa mengerti kenapa kamu mengajukan syarat itu," ucap Alessia.

"Iya. Papa sudah menyetujuinya."

"Oke. Terus syarat pertamanya apa?" tanya Alessia penasaran.

"Syarat pertama yang juga merupakan syarat mutlak ... dan sudah disetujui papa adalah.. hmm," Allen terlihat ragu untuk mengucapkannya.

"Apa?" Alessia menjadi semakin penasaran karena melihat ekspresi Allen.

"Aku ... aku cuma mau pindah kalau kamu juga ikut pindah. Jadi gimana? Mau ya?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status