DARI balik kaca pintu, sepasang mata Tiara melihat kerapatan daun pepohonan yang menghijau. Sebuah hutan luas yang lebat dengan pohon-pohon besar nan tinggi.
Apa yang beberapa waktu lalu dinikmatinya sebagai pemandangan indah di kiri-kanan jalan, kini siap menyambut mobilnya yang tengah melayang jatuh.
Seketika Tiara merasa ngeri. Mobilnya melayang jatuh tanpa dapat dikendalikan menuju ke tengah lebatnya dedaunan tersebut. Entah apa yang bakal menyambut mereka di bawah, gadis itu tak sanggup membayangkan.Di saat-saat seperti itu, dalam benaknya justru terbayang video-video kecelakaan yang pernah ia tonton di YouTube. Wajah gadis itu kontan mengernyit ngeri. Tak sanggup membayangkan jika dirinya yang bernasib seperti orang-orang dalam video tersebut.
"Abdi, bagaimana nih?" tanya Tiara dengan nada panik.Abdi yang tengah berpegangan erat pada punggung jok di depannya tak langsung menjawab. Sejak tadi mata pemuda itu juga memandangi ke luDIAM-DIAM Tiara jadi menyesal kenapa tadi tidak ganti baju dulu sebelum berangkat. Karena tak sabar ingin segera menghampiri Ryan di apartemennya, gadis itu memilih langsung pergi saja. Eh, ternyata yang ia saksikan di sana malah sebuah pengkhianatan."Brengsek!" Tanpa sadar Tiara memaki karena teringat kembali pada apa yang dilihatnya di depan apartemen Ryan."Maaf, Bu?" Abdi bertanya keheranan, menganggap sang atasan berbicara padanya."Oh, tidak, tidak!" sahut Tiara cepat-cepat sembari menggeleng.Abdi melongo, tapi kemudian berkata, "Kalau begitu kita harus segera turun, Bu. Akan lebih aman buat kita kalau berada di luar mobil dan turun."Tiara tak menjawab. Pikirannya masih sibuk membayangkan bagaimana jadinya ia yang mengenakan setelan blazer kantoran, bergelantungan di pohon. Apalagi bersama seorang laki-laki!"Mari, Bu, lewat pintu tengah sini," ujar Abdi lagiTangan pemuda itu lantas membuka pintu tengah lebar-lebar. Tepat di
API berkobar-kobar dari terbakarnya mobil SUV milik Tiara. Begitu besarnya kobaran tersebut, sampai-sampai jilatannya menyambar dedaunan di cabang-cabang nan tinggi. Helai-helai yang terkena hawa panas dari bawah seketika mengering dan berubah menjadi hitam.Kobaran api juga membuat suasana senja di dalam hutan tersebut, yang awalnya sudah temaram, menjadi terang benderang lagi. Suara terbakarnya material mobil terdengar berisik. Ditingkahi bau menyengat dari hangusnya cat dan karet serta busa yang menggelitik liang hidung."Aduh, Abdi, bagaimana ini?" ujar Tiara dengan panik.Direktur muda tersebut sudah berdiri di atas cabang besar. Kedua lututnya gemetar, ngeri berada di atas pohon setinggi itu. Sebelah tangannya memegang erat ujung kemeja Abdi di sebelahnya. Sedangkan tangan yang satu lagi terulur berpegangan pada batang pohon.Bukan mobilnya hangus terbakar yang membuat Tiara panik. Tapi kenyataan bahwa dirinya kini bakal terjebak di tengah hutan ent
ABDI tersenyum lebar melihat Tiara berhasil turun di cabang tempatnya berada. Pemuda itu merasa lega bukan main.Tubuh Abdi lalu kembali berdiri tegak. Tidak seperti Tiara yang terus berpegangan pada apapun yang dapat diraih, pemuda tersebut tampak santai-santai saja berdiri dengan tangan bebas."Jadi begini tadi cara kita turun ke bawah?" tanya Tiara, sambil bergidik ngeri melihat betapa jauhnya permukaan tanah di bawah sana.Abdi mengangguk. "Iya, Bu. Pelan-pelan saja, yang penting selamat sampai bawah," sahutnya.Ya, Tiara sangat setuju dengan ide tersebut. Memang harus sangat pelan-pelan, atau dirinya bisa-bisa tergelincir dan jatuh. Si gadis jadi bergidik ngeri saat di kepalanya tahu-tahu saja terbayang dirinya jatuh ke bawah."Eh, apa yang kamu lakukan?" seru Tiara tiba-tiba, sewaktu melihat Abdi melepas celana panjangnya. Kini pemuda tersebut hanya mengenakan sehelai celana pendek selutut."Anu, mohon maaf, Bu." Abdi tampak serba sala
MELIHAT bagaimana Tiara mendarat tadi, Abdi sudah dapat menebak apa yang terjadi pada atasannya itu. Bergegas pemuda tersebut menghampiri Tiara yang masih bergelung di tanah. Mulut si gadis terus merintih-rintih kesakitan sembari memegangi tumit. Sesekali terdengar ia mendesis panjang, menandakan rasa sakit yang dirasakan begitu menusuk."Aduh, tolong. Kakiku sakit sekali," ujar Tiara lirih. Ujung matanya tampak basah oleh air yang mengembang keluar.Abdi berjongkok di dekat tumit yang dipegangi Tiara. Terlihat ada memar pada bagian sekitar pergelangan kaki, menandakan bagian dalamnya bermasalah. Setelah ragu sejenak, akhirnya Abdi memberanikan diri menyentuh kulit yang memerah dengan punggung telapak tangan. Terasa lebih panas pada bagian tersebut."Apa yang Ibu rasakan?" tanya Abdi.Saat bertanya begitu sebetulnya Abdi ingin menatap wajah Tiara. Namun ia urungkan niat tersebut. Sebab ketika hendak mengarahkan pandangan ke wajah atasannya
BEGITU dapat menangkap maksud pertanyaan Abdi, Tiara langsung cepat-cepat gelengkan kepala. Ia tak mau bermalam di hutan."Oh, nggak! Nggak bisa begitu. Saya harus ada di Batang malam ini, Abdi. Pertemuan dengan pemilik RS Seger Waras besok tidak boleh batal. Begitu juga dengan meeting di Kendal lusa," ujar Tiara tak mau menerima kenyataan."Saya juga maunya begitu, Bu. Tapi kita sekarang berada entah di mana, yang jelas masih sangat jauh sekali dari Batang kalau harus berjalan kaki. Sedangkan kaki Ibu ....""Sebentar, coba kita cari pertolongan dulu," tukas Tiara. "Seharusnya kita bisa tahu saat ini berada di mana menggunakan Gugel Maps."Gadis itu lantas meraih tas tangannya yang tergeletak di tanah. Diambilnya smartphone dari dalam tas tersebut. Ia mendesah lega sewaktu melihat alat komunikasi kesayangannya masih aktif. Tapi sedetik kemudian Tiara sudah memaki."Oh, shit!" serunya menatap tak percaya pada layar smartphone
HARI semakin sore. Dalam naungan dedaunan pepohonan yang begitu rapat, gelap lebih cepat datang di dalam hutan tempat Tiara dan Abdi terlempar jatuh. Lebih-lebih kobaran api yang membakar mobil sudah mengecil. Tak ada sumber cahaya lain lagi.Tiara sudah menghentikan sedu sedannya. Ia mulai menerima kenyataan. Tapi air mata masih menitik dari kedua netra gadis itu. Tangis tanpa suara, meratapi kesialan demi kesialan yang ia alami sejak memergoki Ryan berselingkuh tadi pagi.Tak ada pilihan lain bagi Tiara. Gadis itu akhirnya memaklumi jika mereka berdua memang harus bermalam di tengah hutan. Setidaknya sampai kakinya kembali pulih dan dapat dipakai berjalan, walau entah berapa hari lagi itu terjadi."Bu, saya tinggal sebentar ya? Saya harus mencari kayu untuk membuat pondok dan juga api," ujar Abdi yang sejak tadi terlihat sibuk sendiri."Jangan jauh-jauh," jawab Tiara tanpa memandang wajah yang diajak bicara. Pandangan mata gadis itu terlihat menerawang.
DITANYA begitu Abdi jadi garuk-garuk kepala. Kedua alisnya terangkat tinggi-tinggi. Sejenak otaknya berpikir, mencari solusi yang sekiranya pas dengan kehendak Tiara. "Kalau saya buatkan semacam hammock bagaimana, Bu?" Abdi balik bertanya. "Jadi nanti Ibu tidurnya dalam ayunan, tidak di tanah."Tiara kerutkan keningnya dalam-dalam. Mereka hanya punya pakaian yang melekat di badan, bagaimana caranya membuat hammock? Tapi ketika kemudian Abdi menunjukkan segulungan besar tanaman sulur, barulah ia dapat mengerti.Gadis itu seketika teringat pada jembatan akar di film Jumanji yang pernah ia tonton. Jadinya ia punya bayangan seperti apa hammock yang akan dibuat Abdi menggunakan tanaman sulur tersebut.Sementara Abdi dengan sigap mendirikan pondok. Peralatannya hanya kapak batu yang baru saja ia buat. Ditambah sebatang tongkat kayu sepanjang setengah meter yang salah satu ujungnya diruncingkan.Melihat itu, Tiara jadi teringat pada channel Prim
SETELAH berlalu selama sekian belas menit, hammock yang dibuat Abdi selesai juga. Terdengar pemuda tersebut berseru senang. Dalam temaram cahaya api unggun, wajahnya tampak begitu semringah. Dari tempatnya duduk, Tiara benar-benar dibuat kagum. Direktur muda itu memang tidak dapat melihat dengan jelas gerakan Abdi. Tapi ia tahu pemuda tersebut sangat gesit dalam melakukan pekerjaan.Dan kini tahu-tahu saja di dalam pondok sudah tergantung dua buah ayunan rendah yang terbuat dari tanaman sulur. Dengan benda itulah mereka berdua nanti tidur. Sebab tidak mungkin mereka tidur di atas tanah.Abdi mencobai ayunan alami buatannya. Ia duduk menjuntai di salah satu ayunan, menekan-nekan dengan tubuhnya untuk menguji kekuatan benda tersebut, lalu berbaring di dalamnya. Beberapa saat kemudian ia pindah ke ayunan satu lagi dan melakukan hal sama."Ibu mau coba hammock-nya?" tanya Abdi yang masih berada di atas salah satu ayunan.Tawa kecil Tiara pecah. Entahl