TIARA lantas mengeluarkan blazer dari dalam tas tangan. Ketika kemudian dilihatnya Abdi berlalu pergi menuju sungai, bergegas gadis itu melepas pakaiannya dan membasuh tubuh yang berkeringat dengan air.
Awalnya hanya blus putih yang dilepas Tiara. Tapi saat mengetahui bra yang ia kenakan juga basah oleh keringat, gadis itu pun turut melepasnya. Disembunyikannya benda tersebut di dalam gulungan blus, dan diletakkan di sudut pondok.
Usai mengeringkan tubuh dengan tangan sebisanya, Tiara memakai blazernya. Setelah itu ia merasa sangat lega. Badannya terasa kembali segar setelah diusap air tadi. Gerah yang tadi menyelimutinya perlahan-lahan berganti kesejukan.
Tepat saat Tiara selesai berpakaian, Abdi kembali dari sungai. Wajah, kedua tangan, serta kaki pemuda itu tampak basah.
“Kenapa cepat sekali?” tanya Tiara. Abdi memang hanya sebentar saja ke sungai.
"Saya kelupaan sesuatu, Bu. Jadi ini mau ambil dan langsung ke sungai lagi," jawab Abd
SIANG menuju malam hari itu berjalan begitu cepat. Terlebih bagi Tiara yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan berbaring, sesekali duduk-duduk, di lantai pondok.Gadis itu seolah-olah hidup di ruang tanpa waktu. Tak kenal waktu kecuali pagi, siang, sore, dan lalu malam saatnya tidur. Kegiatannya hari-hari juga hanya makan, ngobrol dengan Abdi, dan sesekali mandi.Namun semenjak cedera kakinya kembali kambuh, lalu diikuti tubuhnya demam tinggi, Tiara harus puas hanya bisa mengelap tubuhnya dengan kain basah sebelum berganti baju.Abdi dengan keras tak membolehkan Tiara mandi di sungai. Tidak sebelum suhu badan gadis itu benar-benar turun. Apa boleh buat, direktur muda itu sudah berjanji akan menuruti semua ucapan Abdi.Seperti petang hari itu. Tiara sebenarnya merasa gerah bukan main karena seharian penuh memakai blazer. Terlebih Abdi terus menyuguhi minuman hangat, yang tujuannya untuk memancing keringat dan menurunkan suhu badan.Alhasil, tubu
SEJAK pagi itu suara mesin dari kejauhan terus terdengar. Masih samar-samar. Harus memusatkan perhatian penuh agar dapat menangkap suara tersebut secara jelas.Tak urung, Tiara dibuat sangat penasaran. Berkali-kali gadis itu bertanya pada Abdi suara apa itu sebenarnya. Namun pemuda tersebut hanya menjawab tidak yakin."Suaranya terlalu jauh, Bu. Saya tidak bisa mendengar dengan jelas. Jadi, ya masih belum yakin itu suara apa sebenarnya," jawab Abdi.Itu jawaban yang selalu diberikan Abdi setiap kali Tiara bertanya sewaktu suara itu kembali muncul. Tak pernah berubah satu kata pun.Tiara semakin dibuat penasaran karena suara misterius itu rutin terdengar tiap pagi. Lalu juga pada sore hari, menjelang malam.Jelas sudah itu bukan suara kendaraan yang sedang melintas di jalan raya. Sebab tak mungkin rasanya kendaraan yang sama melintas berkali-kali. Lebih tak mungkin lagi ada banyak kendaraan sejenis yang melintas dengan waktu tertentu yang teratur.
SETELAH menahan diri selama dua hari lagi, Tiara akhirnya yakin jika kakinya sudah benar-benar pulih. Gadis itu sudah berulang kali mencari tahu dan mencoba, rasa sakit itu sudah benar-benar hilang.Dari awalnya sekedar ditekan pada bagian yang cedera. Lalu digerak-gerakkan berputar berulang kali. Setelah itu coba untuk berdiri tegak. Kemudian berdiri bertumpu pada kaki yang sakit. Sampai kemudian berjalan.Khusus untuk berjalan, Tiara melakukan percobaan secara bertahap. Mulanya hanya beberapa langkah. Diulangi berkali-kali. Dari pondok ke perapian, lalu kembali lagi ke pondok.Setelah itu coba agak jauh lagi, menjadi sejarak dua kali lipat dari sebelumnya. Sampai akhirnya Tiara bisa berjalan tanpa hambatan menuju sungai. Bukan main senangnya gadis itu dibuatnya."Mulai sekarang aku nggak perlu lagi dibopong Abdi kalau mau mandi ke sungai!" jerit Tiara dalam hati.Ia pun dapat mandi di sungai sepuasnya, kapan saja mau. Tapi, meski sudah tidak lagi
TIARA terbangun dari tidur ketika suara mesin meraung-raung semakin lama semakin jelas terdengar di telinganya. Gadis itu langsung bangkit dan duduk, memasang telinga untuk mencari tahu arah asal suara.Sayangnya gadis itu tidak tahu arah. Tapi dari nyaringnya suara tersebut, Tiara tahu mereka sudah semakin dekat dengan sumbernya. Itu artinya juga semakin dekat dengan pertolongan.Setelah asyik sendiri selama beberapa saat, barulah Tiara menyadari Abdi sudah tidak ada di pondok. Juga tidak terlihat di dekat api unggun. Ke mana pemuda itu? Tahu-tahu saja ia mejadi jeri."Ah, pasti dia ke sungai untuk mengambil air wudhu. Bukankah sekarang sudah waktunya salat Subuh?" batin Tiara untuk menenangkan hatinya.Tepat di saat itulah Abdi kembali dari sungai. Hati Tiara jadi lega melihatnya. Pemuda itu tampak membawa teko tanah liat buatannya, yang langsung diletakkan ke atas bara di perapian."Ibu sudah bangun dari tadi?" tanya Abdi usai menumpangkan teko
TEPAT saat matahari berada di ubun-ubun, kedua anak manusia itu hentikan perjalanan. Abdi memutuskan untuk beristirahat sejenak. Pemuda itu harus menunaikan salat Dzuhur.Tiara menurut saja. Mereka pun membabati satu tempat yang agak rata, lalu dilapisi dedaunan tebal, dan dijadikan sebagai tempat beristirahat.Merasakan betisnya yang terasa sangat tegang, Tiara langsung rebahkan tubuhnya di atas tumpukan dedaunan tebal tersebut. Gadis itu merasa sangat lelah sekali.Agaknya lelah yang dirasakan Tiara pada hari pertama tak sepenuhnya hilang. Justru di hari kedua ini rasa lelah tersebut kembali muncul, bersamaan dengan datangnya lelah yang baru."Saya tinggal ke sungai dulu ya, Bu," pamit Abdi usai membuat api.Tiara langsung tergeragap bangun dari posisi tidurnya."Aku ikut!" ucapnya cepat. Khawatir Abdi langsung pergi setelah berkata tadi.Tiara memang tak mau ditinggalkan sendirian di tempat itu. Apalagi mereka tadi mengambil jalan
SESUAI perkiraan Abdi, hujan deras itu baru benar-benar reda di sore hari. Jauh setelah masuk waktu Ashar. Dengan demikian, tak ada perdebatan lagi mereka harus bermalam di tempat itu.Yang menjadi pekerjaan rumah bagi Abdi adalah membuat api. Segala yang bisa dipergunakan untuk membuat api di sana basah semua. Kayu dan ranting, juga tumpukan dedaunan.Karena itu pula mereka tidak bisa mengolah makanan. Untung saja persediaan makanan mereka masih banyak. Meski lebih banyak berupa buah-buahan hutan yang sedikit mengandung karbohidrat sebagai sumber tenaga."Tak apalah, semoga saja besok pagi sudah bisa membuat api," ujar Tiara. Berusaha menenangkan Abdi yang tampak kecewa."Iya, Bu. Semoga saja. Tapi nanti malam kita gelap-gelapan di sini kalau tidak ada api," sahut Abdi.Barulah Tiara sadar kondisi yang mereka hadapi."Apa?" seru gadis itu kaget. Gelap-gelapan di dalam hutan selebat ini? Tiara sungguh tak pernah membayangkannya."Mau
KEESOKAN hari, selepas sarapan Tiara dan Abdi kembali melanjutkan perjalanan. Langit terlihat cerah. Burung-burung sejak masih pagi-pagi sekali sudah ramai bernyanyi di atas dahan tinggi.Sinar matahari yang langsung benderang begitu muncul di ufuk timur, membuat embun di permukaan dedaunan lekas-lekas pergi menghilang. Angin yang sesekali bertiup menyuarakan bunyi gemerisik merdu.Entah mengapa lagi-lagi suara gergaji mesin tak terdengar pagi itu. Untung saja Abdi punya kemampuan lebih dalam mengingat arah. Sehingga pemuda itu yakin langkahnya hari itu tak bakal salah."Kok kayanya kita semakin jauh dari aliran sungai ya?" tanya Tiara saat menyadari mereka tak lagi berjalan di sepanjang sisi sungai."Iya, Bu. Sungainya berbelok ke utara, sedangkan tujuan kita ke timur atau tenggara," jawab Abdi menjelaskan."Oo ..." Tiara hanya ber-oo ria. Tak tahu harus berkata bagaimana lagi.Namun diam-diam gadis itu berpikir, dengan jauh dari sungai mer
SEPERTI kemarin, hujan siang itu berlangsung sampai jauh sore. Alhasil, Tiara dan Abdi terpaksa menghentikan perjalanan mereka. Keduanya memilih bermalam di pondok kayu.Bagian dalam pondok kayu tersebut sangat lapang. Hanya berupa satu ruangan besar tanpa sekat. Jarak dari permukaan lantai ke atap juga tinggi. Semakin menambah kesan luas.Pondok itu hanya punya satu-satunya pintu yang menjadi akses keluar-masuk. Sebagai atap, bagian atas pondok ditutupi dengan welit. Yakni atap tradisional terbuat dari susunan ilalang, yang dijepit dengan bambu panjang.Di antara tangga dan pintu tangga terdapat teras mungil. Rasanya asyik menghabiskan sore sambil duduk-duduk menghirup teh bunga telang di sana."Tempat apa ini? Siapa yang membuat?" gumam Tiara saat kakinya melangkah masuk ke dalam pondok. Seketika matanya memandang berkeliling.Abdi hentikan langkah begitu melewati ambang pintu. Pemuda itu mengamat-amati bagian dalam pondok. Terdapat beberapa tand