Share

7. Pendekatan

Sakhala diam-diam memerhatikan Ruth dan Dayana. Tanpa sadar dia tersenyum karena sang ibu terlihat begitu bahagia ketika bersama Dayana. Ruth terus berbicara tentang bunga yang dia tanam di halaman belakang. Sedangkan Dayana hanya mendengarkan dan sesekali menjawab pertanyaan yang Ruth lontarkan. 

"Apa kamu suka bunga, Dayana?"

Dayana mengangguk. Dia dulu sering menanam bunga dengan sang ibu di rumah. Namun, dia tidak pernah lagi melakukannya semenjak diusir dari rumah.

Kedua mata Dayana tampak berbinar melihat bunga matahari yang berada di hadapannya karena sang ibu sangat menyukai bunga tersebut.

"Bunga matahari ini sangat cantik, sama sepertimu," ucap Ruth sambil mengusap rambut Dayana dengan penuh sayang. 

Dayana sontak menunduk untuk menyembuyikan semburat merah yang menghiasi kedua pipinya. "Terima kasih, Ma," ucapnya malu-malu.

Ruth mengangguk lantas memanggil Sakhala yang sedang asyik bermain ponsel di ruang tengah. Sakhala pun meletakkan ponselnya di atas meja lantas menghampiri Ruth.

"Ada apa, Ma?"

"Abang temenin Dayana dulu, ya. Mama mau menyiapkan makan siang." 

Sakhala mengangguk.

"Mama tinggal sebentar ya, Day. Kalau kamu butuh apa-apa jangan sungkan panggil mama."

"Dayana bantu ya, Ma?" Dayana ingin membantu Ruth menyiapkan makan siang, tetapi ibu kandung Sakhala itu malah melarang.

"Nggak usah. Kamu di sini saja sama Sakha. Lagi pula di rumah ini sudah ada pelayan yang membantu mama." Ruth melarang Dayana yang ingin membantunya menyiapkan makan siang agar gadis itu bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan Skhala.

"Tapi, Ma ...."

"Sudahlah, kamu tunggu di sini saja sama Sakha. Mama cuma sebentar kok."

Dayana menghela napas panjang, percuma saja dia memaksa karena Ruth akan terus menolak. Dia pun duduk di sebuah gazebo yang berhadapan langsung dengan kolam renang bersama Sakhala. 

Dayana diam-diam dia memperhatikan Sakhala yang berada di sampingnya. Dayana baru menyadari kalau Sakhala terihat sangat tampan. Padahal lelaki itu hanya memakai kaos hitam polos yang dipadu dengan celana pendek berwarna cokelat. 

"Terima kasih sudah datang." Ucapan Sakhala membuat Dayana sontak berhenti mengagumi wajah Sakhala.

"Sama-sama. Aku pikir mamamu galak seperti mama mertuaku yang gagal. Tapi mamamu ternyata sangat baik."

Wajah Dayana seketika berubah sendu karena Ruth mengingatkannya dengan sang ibu. Dayana sangat rindu dan ingin bertemu dengan ibunya karena sudah dua bulan lebih mereka tidak bertemu. 

Namun, Dayana tidak bisa bertemu dengan ibunya setiap saat karena sang ayah sudah mengusirnya dari rumah. Dada Dayana selalu saja terasa sesak setiap kali mengingat kejadian tersebut.

"Kenapa kamu tiba-tiba menangis, Dayana? Apa terjadi sesuatu?" tanya Sakhala terdengar panik karena melihat Dayana menangis.

Dayana tersenyum lantas menghapus air mata yang membasahi pipinya. Dia tidak sadar menangis karena merindukan sang ibu. "Aku baik-baik saja, Sakha. Jangan khawatir. Aku cuma lagi kangen sama mama di rumah."

Sakhala tertegun melihat kesedihan yang menghiasi wajah cantik Dayana. Dia pun mencari topik pembicaraan lain untuk menjaga perasaan gadis itu.

"Kalau boleh tahu, sejak kapan kamu bekerja di Jordan Corp?"

"Em, lumayan lama, mungkin sekitar tiga tahun." 

"Bagaimana rasanya bekerja di Jordan Corp? Apa kamu betah kerja di sana?"

Dayana mengangguk. "Ya, aku betah kerja di sana karena sesuai dengan bidangku, tapi pemimpin sebelumnya sangat menyebalkan. Dia tidak pernah memikirkan nasib bawahannya dan pemikirannya sangat kolot," ucap Dayana terdengar kesal karena teringat pemimpin perusahaannya yang dulu.

Entah kenapa gadis itu malah terlihat lucu di mata Sakhala. 

Sakhala dan Dayana terpaksa mengakhiri obrolan mereka karena makan siang sudah siap. Mereka pun segera pergi ke ruang makan. Banyak sekali makanan yang tersaji di meja makan, mulai dari pembuka hingga penutup. Semua makanan itu terlihat sangat lezat dan menggugah selera.

Ruth keluar dari dapur sambil membawa sepiring perkedel kentang. "Ayo dimakan, Dayana. Jangan sungkan, anggap saja rumah sendiri." 

"Iya, Ma." Dayana mendudukkan diri di kursi kosong yang berada tepat di samping Sakhala lalu mengambil nasi dan lauk yang Ruth sajikan untuknya.

"Wah, perkedel ini rasanya enak sekali. Terima kasih, Ma," ucap Dayana setelah mencicipi perkedel kentang buatan Ruth.

"Sama-sama, Dayana. Makan yang banyak, ya?" 

Dayana mengangguk. Setelah makan siang mereka berbincang-bincang sebentar di halaman belakang sambil menikmati teh hangat. Padahal Dayana ingin pulang karena dia sudah rindu dengan tempat tidurnya yang ada di kamar. Namun, dia sungkan jika menolak permintaan Ruth.

"Oh, iya. Kalian sudah kenal berapa lama?"

Dayana dan Sakhala sontak saling lirik mendengar pertanyaan Ruth barusan. Mereka tidak mungkin memberi tahu Ruth yang sebenarnya kalau mereka baru saling mengenal.

"Satu tahun, Ma."

"Enam bulan, Ma."

Ruth menatap Sakhala dan Dayana bergantian karena mereka memberi jawaban berbeda. "Jadi yang benar yang mana? Satu tahun atau enam bulan?"

Setitik keringat dingin keluar membasahi pelipis Sakhala, jantungnya pun berdetak tidak nyaman karena Ruth menatapnya dengan lekat. Dia membasahi bibirnya yang kering sebelum menjawab pertanyaan Ruth.

"Em, enam bulan, Ma."

"Yakin?"

"Iya, Ma," jawab Dayana sambil tersenyum untuk menyembuyikan kegugupannya. Semoga saja Ruth percaya.

Ruth mengangguk-angguk. Sepertinya wanita itu percaya dengan jawaban yang diberikan Sakhala dan Dayana. "Apa mama boleh tanya lagi?"

"Ya, boleh." Sakhala meneguk secangkir teh hangatnya hingga tandas lantas menarik napas panjang agar perasaannya menjadi lebih tenang karena Ruth seolah-olah sedang mengintrogasi dirinya dan Dayana.

"Di mana pertama kali kalian bertemu?"

Dayana dan Sakhala kembali saling lirik. Raut cemas tergambar jelas di wajah keduanya karena Dayana dan Sakhala belum menyiapkan jawaban untuk pertanyaan Ruth.

"Di mana?" Ruth kembali bertanya karena Dayana dan Sakhala tidak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Di kelab."

"Di hotel."

Ruth menatap Dayana dan Sakhala dengan lekat sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada karena mereka kembali memberi jawaban yang berbeda. "Yang benar yang mana? Kelab atau hotel?"

Sakhala menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan sebelum menjawab pertanyaan Ruth. "Di kelab."

"Apa benar, Dayana?" Ruth beralih menatap gadis cantik yang duduk di sebelah Sakhala.

"Iya, Ma. Dayana dan Sakha bertemu pertama kali di kelab."

Sakhala melihat jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Tidak terasa sekarang sudah sore. "Sepertinya Dayana sudah terlalu lama di rumah kita."

"Kamu mau pulang, Day?"

"Iya, Ma."

"Yah ...." Ruth menghela napas panjang karena dia masih ingin membicarakan banyak hal dengan Dayana.

"Mama jangan sedih, Dayana pasti akan datang ke sini lagi."

Wajah Ruth seketika berbinar. "Benarkah?"

Dayana mengangguk.

"Janji loh, ya?"

"Iya, Ma. Dayana pamit pulang dulu, ya? Terima kasih banyak untuk makanannya. Masakan Mama enak sekali."

"Sama-sama, Day. Lain kali kita harus membuat makanan kesukaan Sakhala sama-sama."

Dayana tersenyum kikuk mendengar ucapan Ruth barusan karena dia tidak bisa memasak sama sekali. "I-iya, Ma."

Sakhala dan Ruth pun mengantar Dayana ke depan. Mereka baru masuk ke rumah saat mobil Dayana sudah tidak terlihat lagi oleh pandangan mereka.

"Dayana cantik ya, Bang? Baik lagi."

Sakhala mengangguk. Dia bisa melihat dengan jelas ketulusan yang terpancar dari kedua sorot mata Dayana. Gadis itu sangat baik dan apa adanya. She is pure.

"Kapan Abang mau melamar Dayana?"

Sakhala tersentak. "A-apa? Melamar?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status