Pagi itu diawali dengan suasana canggung melingkupi Shin dan Alika setelah percakapan mereka semalam. Baik Shin maupun Alika tidak ada yang memulai obrolan terlebih dahulu sampai Shin pergi ke rumah sakit mereka masih belum bicara. Alika tidak tahu memulai, jadi ia membiarkan semuanya. Hatinya masih sakit dan itu ulah Shin.Alika pergi ke dapur, menyeduh teh dan membuat roti panggang. Ia sarapan seorang diri. Rasanya tidak menyenangkan seperti saat ia sarapan ditemani Shin. Alika ingin menangis lagi. Semalam ia hanya tidur tidak lebih dari dua jam. Lingkaran di bawah mata menunjukkan semua. Alika yang mendapatkan siff siang berdiam diri di rumah dengan tidak bersemangat."Kenapa semua jadi rumit?" Alika menyesap tehnya dengan pertanyaan yang banyak di kepala.Ia dilanda penasaran ingin tahu siapa gadis yang telah merebut hati suaminya. Bohong jika Alika tidak cemburu dan baik-baik saja. Ia dan Shin sudah terikat pernikahan secara agama maupun hukum. Ego Alika terpancing. Ia ingin me
Shin meletakkan pena di atas meja lalu menatap Alika. Dapat ia ilihat mata istrinya itu merah dan sedikit bengkak meskipun sudah ditutupi Alika dengan riasan tipis. Melihat keadaan Alika yang sedikit kacau Shin merasa bersalah namun yang paling mengejutkan adalah kata-kata yang baru saja wanita itu lontarkan kepadanya. Dengan begini Alika menempatkan ia pada posisi sulit. "Alika, kita akan membicarakan ini di rumah." Alika berdiri di seberang meja dengan meletakkan kedua tangan bertumpu pada sisi meja. "Aku sudah memikirkannya sejak semalam Shin dan aku tidak tahan untuk mengatakannya. Kamu tidak bisa kembali ke masa lalu bagaimanapun masa lalu sudah jauh tertinggal di belakang. Dan lihat aku! Akulah masa depanmu," ujar Alika dengan suara serak. Sungguh ia ingin menangis lagi dan lagi tetapi Alika tidak mau tampak lemah dan cengeng di depan Shin. Ia tidak mau menyerah dengan keadaan ini. Shin mengembuskan napas kasar lalu menundukkan kepala, tidak lagi menatap Alika. Karena ia ti
Aira menatap nanar bangunan bercat putih di depannya dengan halaman cukup luas yang dikelilingi pagar besi. Di mana sebagian pagar tampak mulai karatan. Di sebelah kiri bangunan berdiri plang besar bertuliskan Panti Asuhan Bunda.Aira meremas ujung rok dengan perasaan bergolak. Dia tidak menyangka, bahkan dalam mimpi pun, nasibnya berakhir di panti asuhan ini setelah kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya. Lalu, sang paman menolak merawatnya.Aira tahu ketidakberdayaan sang paman karena mendapatkan istri pemarah seperti Bibi Mey. Alasan Bibi Mey menolaknya karena beban hidup mereka sudah berat dengan empat orang anak, jika ditambah Aira, maka akan semakin memberatkan.Jadi di sinilah keputusan pamannya menempatkan dirinya. Awalnya Aira menolak, dia tidak ingin tinggal jauh dari sang paman. Sementara itu, Dion tak ada pilihan lain, dia tak tega melihat Aira dimarahi istrinya saban hari.Apa salahnya anak perempuan itu sehingga harus bernasib malang.
Setelah kejadian malam itu, Aira dan Shin resmi berteman. Shin menyusul Aira sebisa mungkin tak menimbulkan suara berisik. Dengan langkah lebar dia menuju pohon rambutan yang berada di belakang panti.Sesampainya di tempat yang dituju, Shin melihat Aira duduk menyender di bawah pohon dengan mata tertutup. Dari tempatnya berdiri Shin memperhatikan wajah cantik Aira ditimpa kilau mentari membuat anak perempuan itu bak putri tidur dalam dongeng. Putri yang tertidur panjang setelah memakan apel beracun yang diberikan penyihir.Remaja lelaki itu menarik ujung bibir, mengulas senyum tipis. Senyum yang jarang dia tampilkan di depan orang lain. Sejak kehadiran Aira, Shin merasakan harinya tak lagi kelabu.Entah perasaan apa yang mendorongnya agar menjaga dan melindungi Aira dari bahaya apa pun. Malam itu, ketika pertama kali pertemuan mereka, dia melihat betapa rapuhnya anak perempuan itu sehingga menimbulkan empati dalam dirinya.Awalnya Shin kira dia akan
Sedetik pun tatapan Aira tak lepas dari wajah Shin yang sesekali meringis kala Pak Imam mengobati kepalanya. Aira menggigit bibir bawah, menyesal tak dapat berbuat apa-apa sekadar meringankan penderitaan sahabatnya itu. Aira menggeser duduk, tangannya terulur mengelap muka Shin menggunakan saputangan pemberian mendiang mamanya.Setelah Pak Imam selesai memasang perban di kepala Shin, laki-laki paruh baya itu keluar menyisakan Shin dan Aira.Aira tiba-tiba menahan napas dan mencengkeram erat tangan Shin saat dia melihat dua orang anak laki-laki yang melukai Shin memasuki panti. Aira takut mereka akan berbuat jahat seperti tadi."Shin, mereka ada di sini," bisik Aira dengan nada mendesak ke telinga remaja lelaki itu. "Bagaimana jika mereka melukaimu lagi?" Jelas Aira tak hanya mencemaskan dirinya.Dia cemas kalau anak-anak itu kembali mencari masalah. Anak perempuan secantik peri dalam cerita dongeng itu merapal doa dalam hati. Agar apa
Pagi ini Shin bangun dengan keadaan kepala berdenyut. Luka di kepalanya tidak bisa dianggap enteng. Shin mendengkus, dia pasti akan membalas perbuatan dua anak tersebut. Tidak akan dia biarkan bocah itu lolos begitu saja dan mengganggu Aira lagi.Shin keluar kamar, udara pagi terasa dingin menusuk tulang. Di langit awan bergumpal-gumpal, pertanda sebentar lagi turun hujan. Dirinya baru menyadari jika sekarang sudah masuk musim penghujan. Siap-siap saja jika hari-harinya akan banyak terkurung di panti.Shin berbalik ke dalam kamar, menarik handuk lalu pergi ke kamar mandi. Sama seperti kamar mandi di tempat anak perempuan, satu kamar mandi rame-rame.Shin yang sejak bayi tinggal di panti sudah terbiasa. Seoal-olah panti ini rumahnya sendiri meskipun jauh di relung hati terdalam dia sering membayangkan bagaimana rasanya tinggal di rumah sendiri.Pasti berbeda dengan panti yang hiruk pikuk dan nyaris memecahkan batok kepala. Tidak ada drama bereb
Aira merasakan usapan pelan di kepalanya. Saat dia membuka mata, saat itu pula Shin tersenyum kepadanya. Aira buru-buru bangkit. Dia menarik Shin duduk."Kau dari mana saja? Aku sampai ketiduran karena capek nyariin kamu." Aira cemberut. Anak perempuan penyuka warna ungu itu tampak kesal jika Shin pergi meninggalkannya. Sejujurnya dia merasa takut."Hanya mencari udara segar. Aira, bukankah besok kau mulai sekolah?" Shin juga sekolah formal tetapi dia lebih banyak bolos.Entahlah, menurutnya belajar itu tidak menarik. Meskipun berulang kali dia dipanggil pengurus panti. Diberikan nasihat baik-baik sampai teriakan makian. Shin hanya menulikan telinga. Besoknya dia mengulangi lagi."Iya benar. Maukah kau menemaniku ke sekolah, Shin?" Aira menatap Shin penuh harap."Baiklah jika itu maumu.""Yeah. Makasih.""Kau tidak marah pada pamanmu?"Aira memutar duduk jadi menghadap Shin. "Emm, awalnya aku sedih mengapa P
Bab 6: Tragedi 2Melihat itu mata Aira membulat sempurna. Mulutnya sedikit terbuka dengan dada berdebar kencang seperti dadanya mau meledak. Betapa kasarnya Pak Tomo kepada anak kecil, batinnya.Mengapa lelaki yang dianggap ayah oleh anak-anak panti itu tega berbuat demikian. Lagi-lagi ia tidak menemukan jawaban apa pun. Aira berlari menghampiri Mia. Dipeluknya sahabatnya itu dan dapat ia rasakan tubuh Mia bergetar hebat.Mia meringkuk bagai trenggiling dan mulai menangis. Dia merasakan kepalanya berdenyut sakit. Beruntung kesadarannya masih ada. Ia dan Aira sama-sama menangis disebabkan rasa sakit juga memikirkan nasib mereka akan bagaimana caranya terlepas dari Pak Tomo.Mia takut sekaligus benci pada lelaki berkepala botak itu. Dari sejak ia tinggal di panti, Mia tidak begitu suka pada Pak Tomo. Karena lelaki tua itu acap kali memandangnya seperti seolah-olah sedang mengulitinya."Mia kamu tidak apa-apa?" tanya Aira setelah mam