“Tolong bantu dia jelasin ke keluarganya kalo kalian lagi bertukar jiwa,” pinta Rangga.
“Gue nggak bisa. Kalo dijelasin juga mereka nggak bakal percaya,” ucap tubuhku pada Rangga.
“Kalo kamu yang jelasin, mereka pasti percaya,” pinta Rangga pada tubuhku.
“Justru itu yang gue nggak mau. Dan satu hal yang elo harus tau. Gue nggak pernah suka sama elo dan gue nggak pernah mau jadi anak bapak dan ibu di Sukabumi. Dan kalo pun jiwa gue masuk lagi ke tubuh asli gue, jangan pernah temuin gue lagi. Sekarang kalian buruan pergi dari sini sebelum gue panggil bodyguard-bodyguard gue buat ngusir kalian paksa dari sini!” ancam tubuhku itu pada kami.
Rangga tampak shock melihat sikap Nayara di tubuhku.
“Kenapa kamu jadi kayak gini, Nayara?” tanya Rangga heran.
“Pergi!” teriak Nayara.
Aku pun menarik tangan Rangga untuk memasuki mobil. Tubuhku itu pun membuka gerbang sendiri karena dia punya kunci gerbang. Lalu aku dan Rangga langsung m
Kami pun masuk ke dalam. Rangga duduk di ruang tamu. Aku pun duduk. Bapak dan ibu Nayara itu duduk memandangiku dengan lega. Aku pun menjelaskan semua alasanku kabur. Tentu dengan alasan yang tidak sesungguhnya. Bapak dan ibu Nayara pun meminta Rangga untuk meningap, karena besok katanya kedua orang tua Rangga akan ke rumah. Rangga pun nurut. Bapak menyuruh Rangga istirahat di ruang tamu. Sementara aku pamit pada semua untuk istirahat di kamar Nayara. Saat berada di kamar Nayar itu, buru-buru aku mengunci kamar. Aku ingin tahu semua isi kamar Nayara. Aku ingin belajar semua tentangnya agar bapak dan ibunya tidak curiga dengan pertukaran jiwa ini. Setelah kuperiksa segala isi kamarnya, aku menemukan buku harian Nayara. Aku pun duduk di tepi kasur, membuka buku harian itu halaman demi halaman. Aku sangat terkejut saat membaca isi buku harian itu mengenai penyesalan dan kebencian. Nayara sangat membenci kedua orang tuanya yang sudah membuangnya di panti asuhan. Nayara sudah
Aku menghela napas mendengarnya. Rupanya dia dan Nayara memang sudah sangat dekat. Sampai hal pribadi mereka tahu. Tiba-tiba aku jadi teringat Isabel. Aku dan dia sama seperti Entin dan Nayara. Entin tampak heran melihatku yang mendadak murung. “Kamu kenapa?” Aku menggeleng lalu melihat ke arahnya. “Aku ngantuk, aku boleh izin tidur nggak?” pintaku. “Yaudah, kalo gitu aku pulang dulu. Besok kamu main ke rumahku ya. Orang tua aku kangen banget sama kamu,” pinta Entin. Aku pun mengangguk dengan senyum. Entik lalu buru-buru keluar dari kamar itu. Aku pun merebahkan diri lalu memejamkan mata. Aku baru merasa kalau tubuhku sangat lelah.Pagi itu, kedua orang tua Rangga datang ke rumah. Ayahnya memang asli orang jepang, terlihat sekali dari tampangnya. Sementara ibunya tampak cantik. Dia terlihat segar dan tampak masih muda. Rambutnya dia biarkan tergerai panjang. Kalau di kampung itu, umur segitu sudah tak pede lagi menguraik
Aku terbangun di kamar pengantin. Kamar Nayara yang disulap menjadi kamar pengantin. Di sebelahku kulihat Rangga duduk menungguku. Hanya ada dia di kamar itu. Sementara kamar dalam keadaan tertutup. Rangga tampak senang saat melihatku sudah membuka mata. “Kamu sudah sadar?” tanyanya dengan senang. “Iya, tadi aku kenapa?” tanyaku pada Rangga. “Tadi kamu pingsan di tengah-tengah acara resepsi. Terus kita bawa kamu ke sini. Dan dokter juga tadi udah datang, katanya kamu kelelahan saja,” ucap Rangga. Rangga menunjukkan raut kecewa. Aku heran kenapa dia tampak kecewa. Apa dia menyangka setelah pingsan tadi jiwa Nayara akan kembali ke tubuh ini? “Kok cemberut?” tanyaku dengan penasaran. “Aku pikir jiwa Nayara akan kembali ke tubuhnya setelah kamu sadar,” ucap Rangga.Berarti benar dugaanku. Rangga berdiri. Tanganku tiba-tiba memegang tangannya sambil duduk di atas kasur. Rangga lalu menoleh padaku dengan heran.
“Aku bukan istri aslimu, Ga.” Ucapku mengingatkannya agar dia sadar diri. “Aku tahu, tapi bagaimana pun tubuh yang kamu gunakan itu adalah tubuh istriku,” jawab Rangga.”jadi apapun yang kamu gunakan dan kamu makan dari uangku, toh juga akan kembali ke tubuh yang sedang kamu gunakan itu kan?” Aku menghela napas. Tak berapa lama kemudian, terdegar suara bel berbunyi. Rangga langsung berjalan ke arah pintu masuk. Aku mengikuti langkahnya. Sampai di sana rupanya yang datang adalah sebuah mobil pick up yang mebawa kardus-kardus yang aku tak tahu isinya apa. Setelah kardus-kardus itu kami buka, rupanya isisnya adalah pakaian perempuan, handphone dan leptop merek mahal. Aku heran. “Ini buat siapa?” tanyaku pada Rangga. “Ini semua buat kamu,” jawab Rangga. Mataku terbelalak saat melihat pakaian yang berjumlah banyak itu di hadapanku. “Kau tahu ukuran pakaianku dari mana?” tanyaku penasaran. “Aku sudah mengenal Nayara. Aku ingin k
“Aku nggak tau,” jawab Rangga. “Aku juga nggak tau,” ucapku. Sesaat kemudian, kulihat Rangga tampak berpikir. Dia berdiri lalu menoleh padaku. “Kamu tahu alamat kantor Mas Bimomu itu?’ tanya Rangga. Aku mengangguk. “Besok kita harus ke sana,” ucap Rangga. Aku mendengarnya dengan heran. “Untuk apa?” tanyaku. “Kita harus menjelaskannya bersama-sama. Mungkin Mas Bimo akan mempertimbangkan kebenarannya kalo aku juga ikut menjelaskan semuanya,” pinta Rangga. Aku kira itu solusi yang bagus untuk kami. Besoknhya, aku dan Rangga pergi ke kantor Mas Bimo. Karena aku dan Rangga memakai pakaian yang pantas dan terlihat mewah, satpam tak lagi mencegat aku untuk memasuki kantor itu. Kami pun berhasil duduk menunggu di ruangan Mas Bimo. Tak lama kemudian sekretarisnya datang kepada kami lalu menyuruh kami masuk. Kami pun masuk ke ruangan Mas Bimo. Mas Bimo tampak heran melihatku, mungkin karena dia masih mengi
Rangga menoleh padaku lagi. “Kalau seandainya jiwa kalian tidak bisa bertukar lagi, maukan kamu untuk terus bersamaku?” tanya Rangga. Aku diam tak bisa menjawab karena aku yakin jiwaku pasti akan bertukar lagi dengan Nayara.Rangga kembali melanjutkan kata-katanya,”Aku akan buat kamu seneng. Aku akan ganti semua hal yang hilang dari hidup lamamu. Kamu jangan khawatir soal harta atau apapun itu. Aku bisa ngasih semuanya ke kamu asal kamu mau hidup sama aku layaknya suami istri sesungguhnya,” ucap Rangga dengan tatapan mata yang serius. Aku tak bisa bernapas lagi mendengarnya. Aku tak bisa menjawabnya sekarang.“Aku belum bisa menjawabnya sekarang, Ga.” Ucapku. Setelah itu Rangga kembali melajukan mobil itu. Saat kami sudah tiba di rumah, Rangga duduk dengan gelisah. Aku heran melihatnya. Tak lama kemudian dia berdiri. “Aku harus ketemu Indah lagi,” ucapnya padaku. Aku kaget mendengarnya. “Jangan
Ya, aku pun sudah lama tidak menyentuh minuman haram itu. Terakhir aku minum bersama Isabel saat kuliah. Itupun terjadi saat kami tak sengaja akrab dengan seorang mahasiswi baru bernama Viona. Awalnya aku dan Isabel sangat anti minum-minuman keras, tapi perlahan Viona mempengaruhi kami berdua hingga dia mengenalkan tempat dugem pada kami dan hasilnya kami jadi sering ke sana untuk mabuk-mabukkan. Namun saat papahku dan ayah Isabel tahu, kami benar-benar dimarahi dan dihukum dengan memblokir kartu kredit yang kami miliki. Setelah itu kami jauhi Viona saat kami tahu kalau Viona adalah gadis malam yang kerap menjual diri kepada om-om kaya. Dan sejak itu juga aku tidak menyentuh lagi minuman haram itu. Namun saat mendengar Rangga ingin minum, aku tak mau hal jahat terjadi pada dirinya. Aku pun menatap wajah Rangga dengan mantap. “Jangan,” pintaku. “Kenapa?” tanya Rangga. “Itu nggak akan nyelesain masalah dan malah bakal nambahin masalah,” jawabku.
Setelahnya aku merasa berdiri di kamarku di Pondok Indah – rumah papah mamahku. Di sana aku melihat Mas Bimo sedang berbaring tanpa mengenakan sehelai benang pun. Kulihat tubuhku sedang melumat benda yang ada di tubuh Mas Bimo sambil merapihkan rambut panjangnya. Mas Bimo mendesah. Tubuhku dengan beringas menikmati benda yang tak pantas kulihat di tubuh Mas Bimo itu. Aku terbelakak dan berteriak padanya. “Hentikan! Jangan lakukan itu Nayara!” teriakku. Aku ingin berlari dari tempat itu, namun tubuhku tak bisa aku gerakkan. Aku terpaksa harus menyaksikan mereka melakukan sesuatu yang membuat hatiku sakit.Tak berapa lama kemudian Mas Bimo mendesah hebat, sepertinya dia berada di puncaknya. Tubhku itu kulihat melepaskan benda di tubuh Mas Bimo yang berdiri tegak itu lalu memuntahkan seuatu dimulutnya. Aku menangis cemburu melihat itu.Lalu aku terbangun. Rupanya aku bermimpi. Rangga duduk di dekatku dengan heran. “Indah, kamu kenapa?” tanya Rangga.