Share

Diusir

#2

Perlakuan kasar dan tak senonoh yang diberikan oleh Nyonya Danira masih terus membekas di dalam ingatannya. Seumur hidupnya, ia tidak akan pernah melupakan perlakuan buruk itu. 

"Kenapa? Kamu datang dan membuatku yakin. Tapi, sekarang. Kamu seolah lupa dengan semua tutur kata manis dan janji yang dulu pernah kau lontarkan padaku. Brengsek sekali kamu, Brian!" Sera berteriak frustrasi.

Masih terasa hangat di dalam benaknya, bagaimana pria yang dulu datang dengan senegap cinta di hatinya itu hanya berdiri menatap dirinya tanpa melakukan pembelaan barang sedikit pun. 

Sudah jelas, mereka melakukan semua itu berdua. Tentu seharusnya yang bertanggung jawab atas janin yang ada dalam perutnya itu bukan hanya dirinya melainkan juga Brian.

Buliran hangat yang tampak bening itu tak mampu lagi ditahan oleh Sera. Bulir-bulir itu mengalir tanpa henti membasahi seluruh wajahnya. 

Hancur sudah semua harapan Sera. Imajinanya yang dulu pernah liar, membayangkan kehidupan membahagiakan bersama dengan Brian kini lenyap bersamakan rasa sakit dihatinya.

"Aku nggak akan pernah memberikan maaf padamu, Brian. Sampai kapan pun aku nggak akan pernah sudi untuk menerima kembali dirimu di dalam hidupku. Aku benar-benar telah mengutuk dirimu dan juga keluargamu yang angkuh itu. Sekarang, semua cinta yang dulu pernah ada, sudah resmi kuhilangkan dari hatiku. Kamu nggak akan pernah lagi mendengarkan kalimat itu dari mulutku. Hanya ada dendam dan kebencian yang tersisa. Aku akan selalu mengingat semua penghinaan besar ini!" ucapnya bertekad. 

Tangan Sera mengepal kuat, langkah kakinya terus membawanya pergi meninggalkan tempat yang akan menjadi tempat bersejarah di hidupnya itu. 

Sera datang bersama dengan Brian ke restoran itu. Dialah yang menjemput Sera, maka dari itu Sera akhirnya sama sekali tidak membawa uang sepeserpun.

Hidupnya kini semakin menderita saat ia harus terpaksa berjalan kaki untuk pulang ke rumah. 

Tak lama setelah itu, air mata Sera sudah mulai menyurut hingga hanya meninggalkan bekas dan jejak itu. 

Sebuah mobil dengan logo taksi di atasnya itu pun menghampiri Sera. Berjalan berdampingan tepat di samping tubuh Sera yang tengah melangkah gontai.

Menyadari hal itu, Sera mengerutkan keningnya bingung. Dapat Sera rasakan bagaimana mobil itu yang sengaja mengikuti dirinya.

"Silakan masuk, Nona. Kamu tak perlu membayar. Saya akan mengantarkanmu pulang." Entah mengapa, Sera rasanya tak asing dengan suara dari sang driver yang mengenakan topi putih hingga menutupi wajahnya sampai setengah itu. 

"Aku nggak akan berbuat macam-macam denganmu. Naiklah! Akan aku antarkan kamu pulang ke rumahmu. Cepatlah, Nona!" seru sang driver kembali tetap membuat Sera bergeming ditempat.

"Aku bisa pulang sendiri. Aku nggak butuh bantuan siapapun untuk pulang. Kamu bisa pergi sekarang!" Sera menolak keras. 

Tentu saja ia tidak akan pergi bersama dengan orang yang tidak dikenalnya.

"Kamu sedang tidak baik-baik saja sekarang ini. Aku hanya ingin membantumu. Aku tidak ingin, ada berita yang meliput perihal seorang wanita yang bunuh diri karena telah dipermalukan di depan umum. Cepat, masuklah!" paksa pria itu. 

Sera tersinggung namun sedetik kemudian ia pun menurut. Bukan tanpa alasan, melainkan karena dia juga berpikir tidak mungkin untuknya pulang ke rumah dengan berjalan kaki saja. 

Rumahnya sangat jauh dari tempatnya sekarang ini. 

Tanpa Sera sadari, sebuah seringai pun kini terbit di wajah sang driver. Mungkin setelah ini, ia akan mulai melakukan hal-hal kecil seperti ini demi menuntaskan misinya.

'Aku yakin kalau aku pasti akan membuatmu tunduk pada keinginanku,' batinnya berbisik.

Sementara Sera, kini ia sudah terduduk diam tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi. Matanya menatap lurus dan kosong ke arah jalanan.

***

Kini, tampak Sera yang mulai menarik napasnya dalam-dalam. Sera menatap ke arah pintu berwarna cokelat tua yang kini berada tepat di hadapannya itu. 

Setetes demi tetes air mata pun kembali jatuh dari pelupuk matanya. Dengan sekuat tenaga, Sera mencoba untuk menghentikan air mata yang terus mengalir di matanya.

Sera mengetuk pelan benda berbahan kayu jati itu.

Hati Sera mulai berbisik saat mendapati sang Ibu yang menyambutnya dengan tatapan tajam. Tidak seperti sosok Ibu yang seperti biasanya.

"Ibu? Apa semuanya baik-baik saja?" cicit Sera mulai bertanya. 

Melihat raut wajah sang Ibu membuat Sera merasa harus berhati-hati dalam mengutarakan pertanyaannya.

Plak! Tanpa mengatakan apapun, sang Ibu langsung saja melayangkan tamparan keras pada wajah Sera. 

Kembali, wanita itu lantas mengangkat tangan lalu menarik rambut Sera menyeret wanita itu masuk ke dalam rumahnya. 

"Ibu! Lepaskan, sakit! Aku kesakitan, Ibu!" Sera berteriak tatkala merasakan rambutnya yang kini mulai terasa perih itu.

"Dasar wanita tak tau diri! Apa kamu sudah kehilangan akal sehatmu? Apa begini caramu bertingkah selama ini?! Kamu benar-benar sudah memberikan aib untuk keluarga kita yang miskin ini!" gertak sang Ibu yang memiliki nama Kinar itu.

Setelah melayangkan kembali tamparan pada pipi Sera, Bu Kinar terlihat menjauhkan tangannya dari Sera. 

Deru napasnya mulai memburu menahan amarah. 

Sebelum Sera kembali mengutarakan kalimatnya dengan kasar Bu Kinar langsung melempar benda berukuran kecil namun panjang itu. 

Tampak dua garis merah yang terpampang jelas pada benda itu. 

"Testpack? Bagaimana Ibu bisa mendapatkan benda ini?" gumam Sera bergumam pelan pada dirinya sendiri.

Sera mengangkat wajahnya sesaat setelah menatap benda kecil itu. Dengan tangan yang bergetar, ia mengambil benda yang sudah tergeletak di lantai itu. 

Sera mulai mencoba untuk menjelaskannya kembali pada sang Ibu. Namun, belum sempat kalimatnya itu keluar. 

Bu Kinar sudah lebih dulu melayangkan tamparan kerasnya kembali secara brutal pada anak pertamanya itu.

"Setelah semua yang keluarga ini berikan padamu! Apa begini, caramu membalas kebaikan kami?! Apa untungnya kamu pergi kuliah sementara kamu hanya menjadi wanita murahan begini! Sudah cukup semua yang kami lakukan untukmu! Siapa pun yang sudah berani merusak dan membuat aib di keluarga ini, maka orang itu harus pergi." 

Bu Kinar kini berucap tanpa dipikirkan lebih panjang lagi. Keputusannya benar-benar sudah bulat, ia tidak ingin lagi melihat anak pertamanya itu di rumahnya lagi.

Sera menggelengkan kepalanya samar, ia mencoba untuk tetap bisa memberikan penjelasan pada sang Ibu. Ada harapan kecil di dalam hatinya untuk Bu Kinar mendengarkan dirinya meski hanya sebentar. 

"Bu. Ibu harus dengar penjelasan dariku  dulu. Aku bisa menjelaskan semuanya. Ini nggak seperti yang Ibu bayangkan. Aku …." 

Dengan sorot mata yang tajam dan berapi-api, Bu Kinar kembali memukul sang anak hingga membuat Sera terjatuh dan duduk di lantai.

"Pergi! Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Ibu sama sekali nggak ingin melihat dirimu lagi. Dasar anak tak tau diuntung!" Keputusan Bu Kinar kini sudah mantap. Tidak ada yang bisa Sera lakukan lagi selain hanya menurutinya. 

Dengan wajah yang kini sudah memerah dan lembam karena tak henti-hentinya dipukuli oleh sang Ibu, Sera bergegas menuju kamarnya. 

Air mata yang sebelumnya sudah mulai surut itu kini kembali berjatuhan tidak ada hentinya. 

"Ya Tuhan! Ada apa dengan hidupku?! Mengapa aku menjadi begitu sial seperti ini?! Apa yang harus kulakukan lagi sekarang?! Kemana aku harus pergi?! Kenapa kamu begitu tega dengan menghukumku seperti ini, Kenapa, Tuhan?" Sera benar-benar merasa hidupnya kini sial.

Hanya ada satu nama yang menurut Sera dapat dijadikan tempat pelariannya. 

Dengan membawa uang seadanya, Sera pergi menuju kosan milik temannya. Wanita itu datang dengan kondisinya yang kacau dan berantakan. 

"Sera? Kamu kenapa jadi gini?" tanya seorang gadis sesaat dirinya baru membuka pintu kosannya itu.

Air mata Sera kini kembali deras. Sera lantas menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan sahabatnya itu.

"Aku hancur, Lydia. Semuanya sudah hancur. Semuanya sudah berakhir," ucap Sera putus asa. Bahkan tangisnya kini pecah saat dalam pelukan sang sahabat.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status