Suasana rumah orang tua Aina cukup ramai pagi itu, meskipun tidak seramai saat tujuh tahun lalu di hotel Antariksa. Halamannya dipasangi tenda dan dihias indah, tetapi cukup sederhana. Tidak semegah dan semewah dekorasi di hotel kala itu.
Sepasang manusia berlainan jenis duduk bersisian di depan penghulu, dikelilingi orang-orang yang kembali ingin menyaksikan bersatunya dua manusia yang dahulu pernah mengikat janji yang sama.
Aina duduk dengan gugup, sama gugupnya seperti bertahun lalu. Namun, jika dahulu dia merasa kesal karena menikah atas dasar perjodohan dan kesepakatan, kali ini Aina merasa senang, karena menikah atas dasar cinta.
Sorak sorai hadirin yang menyaksikan terdengar bersahutan selepas para saksi menyerukan kata sah. Ya, sah untuk yang kedua kali bagi mereka.
Dipta tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Aina yang langsung dikecup oleh wanita itu tanpa menunjukkan wajah cemberut seperti dulu. Dipta hampir tertawa saat mengingat bagaimana pern
Deru mesin mobil terhenti begitu Dipta memarkirkan kendaraan itu di halaman rumah. Rumput-rumput dipangkas rapi, pot bunga di depan rumah juga masih terlihat segar dan basah. Pohon bunga mawar pemberian Dipta bertahun-tahun lalu, dibiakkan menjadi pohon-pohon kecil yang ditanam di samping halaman.Rumah berlantai dua berwarna abu-abu hitam putih yang dulu Dipta belikan untuk tempat tinggal mereka masih terlihat terawat meski sudah ditinggalkan cukup lama. Dipta memang menyuruh orang untuk rutin membersihkan dan merawat rumah itu. Dia percaya, suatu hari nanti mereka akan kembali tinggal di sana.Setelah bertahun-tahun berkelana, kini saatnya mereka kembali, membangun istana kecil mereka menjadi hangat seperti sedia kala.Aina melangkahkan kaki memasuki rumah, sembari menggendong Daffa yang sudah tertidur sejak dalam perjalanan. Dipta membantunya dengan membukakan pintu kamar. Seprai kamar itu sudah diganti, lantainya yang semula berdebu sudah disapu, jendelanya
Dipta memandang tubuh wanita dihadapannya tanpa berkedip, seolah terhipnotis dengan setiap gerak yang dilakukan wanita yang duduk di depan cermin membelakanginya itu.Aina yang merasa dipandangi terus menerus menjadi risih. Dia bisa melihat tatapan tak berkedip Dipta dari cermin di depannya.“Berkediplah. Apa mata anda tidak perih terus menerus menatap saya seperti itu?” sindirnya tetap dengan memandang bayangan dirinya sendiri di cermin. Menyibukkan diri menghapus make up yang seharian menutupi wajahnya.Dipta hanya tersenyum tanpa berniat menjawabnya. Tatapannya pun tidak berubah. Tetap terarah pada wanita yang sejak pagi tadi menjadi istrinya.“Apa anda tidak ingin mandi? Bukankah kita seharian berdiri menyambut para tamu? Kurasa anda seharusnya mandi sekarang. Saya tidak ingin tidur di samping laki-laki yang masih bau keringat.”Dipta yang masih diam di tempat membuat A
Pagi hari yang cerah, terlihat seorang wanita berjalan anggun memasuki gerbang sekolah dengan setelan formalnya. Senyum merekah menghiasi wajah cantik itu tatkala beberapa siswa yang berpapasan dengannya menyapa ramah. “Selamat pagi, bu Aina.”“Selamat pagi,” jawab wanita itu tak kalah ramah lengkap dengan senyum manis andalannya.Dia berjalan menyusuri lorong-lorong kelas dan berbelok saat tiba di tempat tujuan, ruang guru.“Assalamu’alaikum ... selamat pagi,” ucapnya ramah saat memasuki ruangan.Sesampainya di meja bertuliskan Aina Zavira, dia meletakkan tas kerja lalu mengeluarkan beberapa buku yang akan digunakannya sebagai bahan mengajar nanti.“Pagi, bu Aina.” Terdengar sapaan seseorang yang baru saja memasuki ruang guru.“Selamat pagi, pak Markus.” Aina membalas sambil mengangguk hormat ke
Bulan demi bulan berlalu setelah pernikahan adiknya. Tak terasa bulan Ramadhan kembali menyapa. Aina juga telah lama kembali menjalani rutinitas membosankan yang setiap hari dia lalui. Mengajar murid-muridnya di SMA, memberikan les bahasa Korea dan juga menulis. Meski bukan seorang penulis terkenal, tapi Aina sudah menerbitkan beberapa buku.Pukul sepuluh malam dan Aina sudah membaringkan tubuh di tempat tidur saat ponsel pintarnya tiba-tiba berdering."Assalamualaikum, Va," ucap Aina sambil menempelkan layar ponsel ke telinga. Tumben sekali adiknya menelpon jam segini."Wa’alaikumsalam. Mbak, aku baru saja mendengar kabar dari bunda bahwa Ayah telah menerima lamaran seorang laki-laki,” ucap Iva tanpa basa-basi. Nada bicaranya terdengar begitu gembira saat ini.“Selamat ya, Mbak. Sebentar lagi kamu akan menikah," soraknya dari seberang sana."Apa?!"
Dipta membaca dengan seksama isi dari surat perjanjian pranikah di tangannya. Saat ini dia sedang duduk di ruang tamu rumah orang tua Aina bersama keluarga mereka. Seperti yang sudah mereka sepakati kemarin, Aina akan membuat surat perjanjian pranikah dan keesokan harinya Dipta beserta keluarganya bisa kembali ke rumah Aina untuk memutuskan akan melanjutkan perjodohan ini atau menghentikannya.Dipta tersenyum sebelum mengambil bolpoin di atas meja dan tanpa ragu menandatangani surat perjanjian itu.Sontak itu membuat Aina terkejut. Dipta bahkan sama sekali tidak mendiskusikan keputusannya dengan orang tuanya dan langsung menandatangani surat itu tanpa berpikir.Tangan Aina mengepal kuat. Dia merasa sangat kesal dengan laki-laki dihadapannya itu."Kenapa anda langsung menandatanganinya? Anda bisa membawanya pulang dan memikirkannya terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan," Protes
Mereka kembali ke rumah keluarga Aina keesokan harinya, setelah menginap semalam di hotel tempat digelarnya resepsi sebelum pindah ke rumah mereka sendiri di Semarang siang nanti. Rumah yang sengaja di beli Dipta untuk ditempati bersama Aina. Rumah itu hanya berjarak beberapa ratus meter dari SMA tempat wanita itu mengajar.Dipta pikir jika tinggal di apartemennya, akan terlalu jauh bagi Aina untuk berangkat bekerja. Jadi, dia membeli rumah baru yang lebih dekat dengan tempat kerja istrinya. Meski itu berarti dialah yang akan lebih jauh dari rumah sakit. Tak apa, demi Aina.Selesai sarapan di restoran hotel, mereka segera menaiki mobil yang khusus dipersiapkan untuk pulang. Dipta duduk di balik kemudi sedangkan Aina memilih duduk di kursi belakang, membuat Dipta terlihat seperti seorang supir.Diliriknya Aina lewat kaca mobil, "Kamu benar-benar mau duduk disitu?"Aina tidak menjawab, mala
Jam tujuh malam Dipta memarkirkan mobil di garasi, memasuki rumah dengan kantong plastik berisi makanan di tangan. Diletakkannya kantong plastik itu di meja makan lalu segera menaiki tangga menuju kamar, mencari sang istri.Selama satu minggu mereka menikah, mereka seolah orang asing yang tinggal dalam satu rumah. Berangkat masing-masing, pulang juga masing-masing. Khusus untuk makan, Dipta memang selalu membeli dari luar untuk mereka berdua. Itu karena Aina tidak bisa memasak, dan Dipta belum sempat mencari orang untuk dipekerjakan di rumahnya.Dipta mengetuk pintu kamar sebelum melangkah masuk."Makan malamnya ada di bawah. Kamu turun dulu, aku mau ganti baju," ujarnya kepada Aina yang duduk di ranjang dengan laptop di pangkuan.Aina mengangguk singkat lalu menutup laptop dan beranjak turun dari ranjang. Setelah mengganti baju dengan pakaian yang lebih santai, dia menyusul Aina yang sudah lebih dulu berada di ruan
Kokok ayam terdengar bersahut-sahutan mengiringi sang surya yang perlahan menerangi cakrawala, bersama adzan subuh yang berlomba meramaikan suasana pagi.Alarm di ponsel Aina sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Sedangkan si empunya masih bergelung di alam mimpi.Bukan, bukan karena Aina tidak mendengar. Namun, karena alarm itu sudah terlebih dahulu dimatikan oleh Dipta. Laki-laki itu tahu bahwa semalam Aina habis begadang, jadi dia ingin supaya Aina tidur lebih lama. Toh perempuan itu sedang berhalangan. Dia tidak perlu bangun untuk sholat subuh.Seusai sholat subuh, Dipta membuka lemari dan mengambil kemeja serta celana bahan yang akan digunakannya untuk bekerja. Dia ingin menyetrika pakaiannya terlebih dahulu. Setelah selesai, dia segera turun ke dapur. Membuat roti bakar untuk sarapan sepertinya mudah.Roti bakar dengan selai kacang untuk Aina dan keju untuk dirinya sendiri sudah terhidang di