"Gimana kehidupan rumah tangga lo sama Aina?" Yudi bertanya di sela-sela makan siang mereka.
Dipta meneguk air putih dalam gelasnya sebelum menjawab, "Masih sama."
"Astaga, Brother, lo nggak ada usaha sama sekali buat naklukin hati istri lo itu?" geram Yudi. Dia merasa kesal melihat pernikahan sahabatnya yang tidak jelas itu.
"Memang apa yang bisa kulakukan, Yudi? Aina itu terlalu keras. Dia seperti tebing kokoh yang sangat sulit ditaklukkan."
Yudi menggeleng dramatis. "Nggak ada perempuan kaya gitu buat gue."
Laki-laki tampan yang dijuluki buaya rumah sakit itu menyeruput kopi hitamnya sebentar sebelum melanjutkan. "Yang namanya perempuan itu hatinya lembut. Gampang dibikin jatuh cinta. Lu aja yang kurang usaha."
"Tapi Aina berbeda," potong Dipta.
Yudi mengangkat telunjuknya dan menggerakkannya ke kanan dan ke kiri di depan wajah Dipta.
Aina baru saja memarkirkan sepeda motornya di garasi saat tanpa sengaja ekor matanya menangkap hal yang tidak biasa di halaman rumah. Sebuah pot guci kecil berwarna putih berisi pohon mawar yang bunga-bunganya tengah bermekaran dengan sempurna.Kepalanya menggeleng pelan. Tanpa bertanya pun dia tau, ini pasti kelakuan suaminya. Ada-ada saja laki-laki itu.Aina hanya melangkahkan kaki memasuki rumah yang sudah tidak dikunci tanpa menyentuh bunga itu sedikit pun. Sesampainya di kamar, dia mendapati Dipta baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan handuk tersampir di pundak."Kamu baru pulang?" Dipta bertanya, berusaha memulai percakapan. Sayangnya hanya dibalas gumaman lirih oleh Aina."Kamu mau makan apa malam ini? Nanti kubelikan." Lagi. Dipta kembali mengajukan pertanyaan.Masih bungkam, Aina melepas kerudung dan duduk di depan meja rias. Menghapus sisa make
Aina sedang menata dua piring nasi goreng di atas meja makan saat Dipta turun dari tangga mengenakan pakaian rapi lalu menghampirinya dengan alis bertaut."Kamu yang membuat ini?" tanya Dipta heran melihat nasi goreng di meja makan.Aina mendengkus. "Menurutmu siapa lagi?""Kamu bilang tidak bisa masak?" tanya Dipta terkejut."Aku tidak bisa memasak makanan dengan bumbu yang terlalu kompleks seperti semur atau lodeh. Namun jika hanya sepiring nasi goreng, siapa yang tidak bisa membuatnya?" Aina membalas sarkas. Dipta hanya mengangguk singkat."Lalu, kenapa kamu membuatnya hari ini?" tanya Dipta lagi. Penasaran.Deg!Aina terpaku sesaat. Benar juga. Selama beberapa minggu mereka menikah, Aina sama sekali tidak pernah menyentuh kompor. Lalu, mengapa pagi ini dia membuat sarapan?Segera dinetralkan ekspresi wajahnya kemu
Pagi harinya Aina tersentak kaget saat bangun dalam pelukan Dipta. Matanya bengkak dengan kantung yang menghitam serta jejak air mata yang masih membekas samar di kedua pipinya. Aina termenung sesaat.Aneh sekali. Dia sangat ingat kejadian mengerikan yang terjadi tadi malam sebelum tidur. Dipta dengan lancang menciumnya dan hampir saja memperkosanya. Namun, anehnya dia justru tidak bermimpi buruk. Dia tidur dengan nyenyak sampai pagi. Dekapan lengan kekar Dipta terasa begitu hangat dan nyaman baginya.Aina tersadar dari lamunan saat merasakan pergerakan dari tangan yang mendekapnya."Aina...," panggil Dipta dengan suara serak khas bangun tidur. Aina tidak menjawab. Segera didorongnya tubuh Dipta agar pelukannya terurai, lalu bangkit dari ranjang dan mengunci diri di kamar mandi.Aina merasa kesal--lebih kepada diri sendiri. Dia ingin sekali menangis, namun sayang air matanya tak mampu keluar. Mungkin
Dipta memasuki satu persatu ruang rawat inap di bangsal Psikosomatik dengan senyum ramah dan tatapan hangat, ditemani beberapa dokter koas yang mengikutinya dengan buku kecil dan pena di tangan masing-masing. Sesekali dia anggukkan kepala untuk merespon beberapa orang yang menyapanya. Dia berjalan tegap dengan tangan dimasukkan ke saku jubah putih yang bagian bawahnya melambai mengikuti gerakan langkahnya.Hari ini jadwalnya visit, memeriksa perkembangan kondisi pasien-pasiennya pengidap gangguan psikosomatik.Gangguan psikosomatik adalah keluhan fisik yang timbul atau dipengaruhi oleh pikiran atau emosi, bukannya oleh alasan fisik yang jelas, seperti luka atau infeksi. Biasanya pemicunya adalah faktor psikis seperti kecemasan, stress, takut ataupun depresi. Gangguan psikosomatik juga bisa berupa memburuknya penyakit fisik yang sudah ada akibat pengaruh kondisi psikis, emosi, atau pikiran.Sebagian besar pasiennya memang
Dipta sedang termenung di kafetaria rumah sakit dengan tangan memainkan sendok di piring saat seseorang duduk di hadapannya. Siapa lagi kalau bukan Yudi."Kenapa ngelamun, Bro? Ada masalah lagi?" tanyanya seraya meletakkan piring di meja. Tangannya meraih sendok dan mulai menyuapkan makanan ke mulut.Dipta diam, terlihat berpikir. Menimbang-nimbang apakah dia harus menceritakan masalahnya kepada Yudi atau tidak."Yud," panggilnya setelah hening beberapa saat. Yudi menggumam karena mulutnya masih penuh dengan makanan.Dipta meletakkan sendok, melipat tangan di meja lalu berucap, "Apa yang kau lakukan jika bertemu dengan wanita korban perkosaan?"Seketika aktivitas Yudi terhenti. Tangannya melayang dengan sendok tepat di depan mulut yang menganga. Dia berdeham pelan. Diletakkannya kembali sendok itu sebelum menjawab dengan ekspresi serius."Kenapa tanya sama gu
Aina mengamati bangunan megah serba putih di depannya dengan takjub. Cahaya matahari memantul dari mobil-mobil yang berjejer rapi di halaman parkir berpaving hexagonal yang diinjaknya. Daun kering berguguran dari pohon di pinggir jalan dan jatuh terhempas di area parkir. Beberapa tumbuhan hias dengan pot gerabah coklat besar diletakkan di sudut-sudut teras, memberi kesan asri dan nyaman.Hiruk pikuk orang berlalu lalang silih berganti di pintu masuk. Ada yang lewat pintu UGD di pojok kiri, namun lebih banyak yang melewati pintu kaca besar yang terbuka lebar di bagian tengah. Suasana di dalam begitu ramai. Penuh dengan orang-orang yang datang untuk berikhtiar, mengharap kesembuhan dari macam-macam penyakit yang diidapnya. Seperti Aina.Hari ini adalah hari pertamanya melakukan terapi. Meskipun dokternya adalah suaminya sendiri, namun itu sama sekali tidak mengurangi kegugupannya saat ini. Aina segera melangkah menuju ruang praktik suami
Aina sedang berada di kamar, duduk bersandar kepala ranjang dengan laptop di pangkuan. Sesekali diraihnya cangkir putih di atas nakas lalu disesapnya teh beraroma vanila kesukaannya. Jari-jari lentiknya menari di atas keyboard, menciptakan bunyi ketik yang cepat. Musik klasik mengalun merdu dari ponsel yang ditaruhnya di samping badan, di atas ranjang. Langit mendung di luar jendela dan udara dingin dari AC yang menderu pelan menjadi pelengkap syahdunya suasana pagi.Hari ini hari minggu, sekitar jam 9. Jadwal mengajarnya libur, jadi dia gunakan waktunya untuk menulis.Tadi mama mertuanya menelepon lagi, mengabarkan bahwa beliau sudah dalam perjalanan ke Semarang. Mama bilang akan menyelesaikan pekerjaannya dulu sebelum mampir ke rumah. Jadi, Aina memutuskan untuk memasak agak siang.Dipta seharusnya juga libur hari ini. Hanya saja, dia harus mengisi seminar psikologi di sebuah Perguruan Tinggi, jadi sekarang Aina
Sudah hampir satu bulan Aina menjalani terapi. Dan sejauh ini hasil yang didapat begitu baik. Tak ada lagi sikap dingin dan skeptis yang ditunjukkan kepada lawan jenis. Tak ada lagi raut wajah penuh ketakutan saat dia berhadapan dengan laki-laki. Dan yang terpenting adalah aura kebahagiaannya semakin terpancar sekarang.Dia terlihat lebih ceria dalam menjalani hari. Maksudnya, biasanya Aina juga ceria. Namun, dulu cerianya hanyalah untuk menutupi tekanan yang dihadapi hatinya. Sedangkan sekarang, Aina benar-benar ceria dengan raut bahagia.Langit sudah menggelap saat Aina sampai di rumah. Dia baru saja selesai mengawasi ekstrakurikuler anak didiknya, dan tiba di rumah saat senja. Dia masuk, lalu menyalakan lampu untuk menerangi rumahnya yang gulita. Setelah mandi dan mengganti pakaian, dia segera turun ke dapur menyiapkan makan malam.Sebelumnya Aina memang sudah mengatakan pada Dipta untuk tidak membeli maka