"Apa?!"Kedua wanita itu kompak berteriak dengan mata terbelalak Haifa sendiri sampai berdiri dari tempat duduknya sambil menatapku dengan tatapan melotot.""Apa kau yang menghasut Hamdan untuk memutuskan semua ini, Yanti?""Sudah ku bilang aku tidak berminat ikut campur, tapi aku hanya akan berdiri sesuai dengan batasan dan tugasku. Aku mengikuti apa saja kehendak mertua dan suami .... tapi semenjak mengetahui bahwa suamiku sendiri tidak setuju dengan sandiwara yang kalian buat dan pernikahan settingan ini, aku jadi punya kekuatan untuk membela Mas Hamdan," jawabku."Kau pikir kau hebat? kau pikir pengaruhmu telah mengubah Hamdan sepenuhnya dan membuat dia tidak akan mendengarkan orang tuanya, hah?" Ibu berteriak, tapi setelahnya Dia terpaksa mendudukkan diri karena akhirnya wanita itu tersengal-sengal capek dengan emosinya sendiri.Sebenarnya aku sama sekali tidak mempengaruhi Mas Hamdan tapi prinsip dan kemampuan lelaki itulah yang membuat dia akhirnya mengambil keputusan untuk men
“Mas, aku sungguh minta maaaf atas apa yang terjadi Mas, situasinya memanas, Yanti mulai melawan ibu dan menyerang mental beliau, Yanti mulai menunjukkan taring dan keberaniannya untuk mendominasi di dalam rumah ini. Aku sungguh tidak menyangkanya Mas," ujar Haifa yang segera saja ingin mendapatkan pembelaan, dengan panik dan memasang wajah polos dia berusaha untuk mendapatkan kepercayaan Mas Hamdan.Dia pikir suamiku akan percaya semudah itu padanya. "Aku dengar percakaan kalian dari luar.'“Tapi itu hanya sebagian kan Mas? kau pasti tidak dengar dengan detil dari awal?” ucap haifa yang terus be rusaha meracuni pikiran suamiku.Sekuat apapun dia berusaha untuk meyakinkan mas hamdan wanita itu tetap dijauhi, jangankan mau disentuh, dihampiri daja suamiku langsung menjauh menjaga jaraknya.“Mas kamu kok hindarin aku?”“Kita ini bukan mahram! jaga sikapmu, kau bersikap seperti anak kecil di hadapan ibu dan istriku, apa kautak sadar?”“Saya masih tunangannya Mas…" Ada bola bening yang t
Mendengar ucapan Mas Hamdan yang sangat lugas tentu saja ibu mertua merasa tidak enak kepada calon menantunya yang kini menangis tersedu dan putus asa ibu mertua segera bangkit dan mencegah mas hamdan melanjutkan perkataannya sambil mendekati Haifa dan merangkul wanita itu."Cukup Hamdan, cukup!""Ibu, biarlah Haifa tahu kenyataan sebenarnya agar dia tersadarkan dan bisa membuka hatinya untuk cinta yang baru. Wanita itu adalah wanita yang cantik dan sukses, dia bisa dapatkan laki-laki manapun yang dia inginkan.""Sudah cukup Mas, Kamu sudah menikah jantungku dengan kalimat-kalimatmu ucap wanita itu sambil merangkum tangisannya yang melolong sedih kedua anak kami yang baru saja pulang sekolah juga kaget melihat drama yang terjadi di ruang tamu. Mereka memandang kami dengan kernyitan dahi yang begitu heran."Ada apa Bunda?""Pergilah ke dalam.""Gak bisa Bund, kami juga berhak tahu," jawab Erwin."Ini masalah kami berempat, pergilah ke dalam," tegasku.Setelah memastikan anak-anak be
"Jangan beri aku uang lagi, Mas," ujarku sambil melempar kertas slip gaji miliknya di meja, slip gaji yang kutemukan di dashboard mobilnya, slip gaji dengan nominal dan stempel perusahaan yang asli."Kenapa kau berkata begitu?" tanyanya sambil meletakkan buku yang dibacanya ke meja."Lihat saja sendiri, itu apa," jawabku dengan sorot mata yang sudah berapi api.Dia meraih tumpukan kertas berwarnaq biru itu dan alangkah terkejutnya dia yang hanya bisa menelan ludah sembari memperbaiki sikap salah tingkahnya"Tolong katakan padaku, kenapa kau palsukan slip gaji, dan pada siapa kau bagi setengah gajimu!" teriakku kalap dan bukan main emosinya."Ini hanya slip lama," ungkapnya melengos begitu saja."Mas pikir aku tidak membaca tanggal dan bulannya?"Kali ini dia kehilangan kata-kata, sementara aku makin gemas, meminta kepastian, pada siapa dia membagi yang dan kenapa dia hanya menjatahkan setengah dari jumlah tersebut untuk kami bertiga.Pikiranku kini melayang ke mana-mana, membayangkan
Aku terpana, ya, terpana, rasa tidak percaya dan pasti tidak mungkin, ini mimpi. Namun, ketika kucubiti tangan, aku sadar itu kenyataan dan yang berboncengan dari jarak dua puluh meter dariku itu adalah suamiku."Mas Imam ...."Kupungut belanjaan dan segera memanggil ojek yang 'mangkal' tak jauh dari tempatku, kunaiki motor dan meminta tukang ojeknya untuk mengikuti motor suamiku."Astaghfirullah, ya Allah, apa benar itu dia, mudah-mudahan bukan dia, ya Allah, aku takut, aku tak siap dengan kenyataan ini," gumamku pelan.Ya, dalam hati aku terus berharap bahwa yang sedang berboncengan di depan sana bukan Mas Imam.Setelah sepuluh menit motor itu berbelok di sebuah gang, masuk ke satu rumah yang cukup besar untuk ukuran rumah biasa, motor itu berhenti di sana.Kusuruh tukang ojek untuk berhenti agak jauh dan mengendap-endap aku mengintip dari celah celah pagar, kebetulan kondisi kampung wanita itu sedang lengang."Mas ... masuk dulu, ya," ucap wanita itu dengan manja, dia mencium tang
Mereka terkejut bukan kepalang, setengah juga takut melihat anak mereka yang duduk mematung, anak itu terlihat bingung sembari memanggil kedua orang tuanya."Ibu, Ayah ....""Kalian sudah puas bermain cinta, kalian sudah puas mereguk asmara tanpa memikirkan orang lain yang mungkin tersakiti?!" "Ya-yanti ...." Mas Imam mengucek matanya, seolah ingin meyakinkan diri bahwa yang sedang dilihatnya adalah aku."Iya, ini aku," jawabku tersenyum tipis."A-apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan suara bergetar sementara aku menatapnya tajam, wanita yang juga kupelototi itu nampak ketakutan dan langsung bersembunyi di belakang suamiku."Untuk melihat pengkhianatanmu!""U-untuk apa kau bawa pisau?" tanyanya lagi melihat pisau yag tergelatak di meja, lantas menyuruh istrinya untuk mengambil Raisa.Brak!Pisau yang sedari tadi kugenggam erat itu kulempar ke arah wajah Mas imam, sayang meleset dan menancap di pintu, hanya beberapa centi saja dari telinga Mas Imam. Melihat pisau yang mengk
"Apa yang terjadi di sini, Bunda?" tanya Vito dengan wajah heran sementara Erwin kakaknya seperti biasa selalu bersikap tenang.Semua yang ada di sana hanya terdiam, wajah Mas Imam juga nampak malu pada kedua anaknya."Siapa dia?" tanya Vito sambil mencolekku."Istri ayah dan adik kalian," jawabku pelan."Apa?""Iya, ayah sudah menikah sejak lama tanpa sepengetahuan kita," jawabku getir. Menjelaskan itu aku tak tega menatap mata anakku, aku tak takut tak sanggup menahan air mataku."Kenapa Ayah?" tanyanya pelan.Mas Imam mendongak, tidak ada jawaban sepatah kata pun dari bibirnya. Karena kecewa tak mendapat pernyataan apa-apa dari anggota keluarga, Vito merangsek pergi dengan cepatnya sedabg Erwin menyusul dia secepatnya."Vito, tunggu!"Para tetangga kembali bergumam, mereka riuh rendah mengomentari kehancuran keluarga kami dan menyesalkan tindakan Mas Imam yang tidak jujur dan mengecewakan anak anaknya."Ish, anaknya kecewa," ujar seorang tetangga."Jangan jangan si anak pergi melam
Aku terbangun dari ringkukan tubuh di atas potongan sobekan pakaian suami, setelag dia datang dannkenyentuh bahuku lembut."Bund, ayo bangun," ucapnya lirih.Menyadari bahwa yang memegang di bawah gua dalam Mas Imam aku langsung tersentak kaget dan menepis tangannya dengan kasar. Jijik rasanya disentuh dia."Lepaskan aku, beraninya kamu!" jawabku kasar."Aku tahu kau masih marah, aku tidak akan bertanya lebih jauh," ungkapnya sambil bangkit dan membersihkan potongan pakaian ke dalam plastik.Aku bangkit dan dengan cepat kurampas plastik itu dari tangannya dan kembali menghamburkan pakaian yang dia pungut tadi hingga potongan-potongan lain itu berserakan ke udara."Jangan coba mengambil hatiku, aku sudah kehilangan rasa hormatku padamu," jawabku."Aku tetap akan berusaha menjadi suami yang baik," balasnya tersenyum tipis dan kembali berjongkok, mengulang lagi memungut pakaian itu.Melihatnya yang berusaha sabar hati ini makin kesal, aku sudah bertekad tidak akan luluh apapun yang terja