Sudah dua hari ini Nadhira hanya berada di kamar. Ia tidak keluar kamar kecuali untuk makan atau ke kamar mandi. Sejak kemarin pagi Papa dan kakaknya belum kembali dari rumah Mbah Utinya di desa hingga hari ini.
Rupanya Papa dan kakaknya menginap satu malam di sana. Nadhira hanya berbaring di kasur menghabiskan harinya. Tidak banyak yang bisa dilakukan di dalam kamar karena gawainya sudah disita.
Sesekali Nadhira membuka-buka buku bersampul pink yang ia terima saat pemeriksaan ke klinik kandungan beberapa hari lalu. Pandangannya selalu berakhir pada foto usg rahimnya. Masih terngiang di telinganya suara detak jantung janin yang dikandungnya.
Ia menahan tangis kala itu. Buah cintanya dengan Zaki yang sempat terpikir akan ia gugurkan. Tiba-tiba ia merindukan Zaki. jika sudah seperti ini Nadhira hanya bisa menangis.
Jika papa dan mamanya memutuskan untuk pindah dari tempat ini, bagaimana n
Selepas isya keluarga Pak Hamzah berkumpul di ruang tengah setelah makan malam. Meski sudah berkumpul selama beberapa waktu, tapi tidak ada yang memulai pembicaraan. Semuanya larut dalam pikiran masing-masing. Mama Nur yang duduk di sebelah Pak Hamzah sudah terlihat tenang. Arya duduk di sofa sebelah Pak Hamzah dan Nadhira di seberangnya.“Mama sudah tenang sekarang?” tanya Pak Hamzah memecah kesunyian.“Iya, Pa,” jawab Mama Nur pendek.“Nadhira sudah enakan badannya?” tanya Pak Hamzah sambil melihat ke arah anaknya.“Sudah pa, Nad sudah nggak apa-apa,” jawab Nadhira sambil menunduk.“Alhamdulillah. Arya masih capek habis nyetir tadi?” pandangan Pak Hamzah beralih ke putranya.“Nggak pa, Arya nggak apa-apa,” jawab Arya sambil tersenyum.“Mbah titip
“Nadhira,” panggil Mama Nur. “Kamu akan menikah dengan Hanif!” Mama Nur berkata tegas, meski ada bulir yang siap jatuh di ujung matanya. “Jika kamu tidak menuruti apa yang kami katakan, silakan keluar dari rumah ini. Dan Mama tidak akan pernah mengakui kamu sebagai anak lagi!” kata Mama Nur sambil menggertakkan giginya. Mata Nadhira melebar mendengar perkataan mamanya. Mama yang begitu menyayanginya selama ini, apa mungkin tega mengusirnya begitu saja? “Mama, kenapa Mama bilang begitu?’ Nadhira memandang sedih pada Mamanya. Mama Nur mengalihkan pandangannya. “Mama tidak main-main, Nad. Jika kamu tidak mau menuruti kami, Mama akan mengusir kamu dari rumah ini. Dan Mama tidak akan memberikan sepeserpun untuk kamu.” “Apa mama tega dengan aku dan janin ini, Ma?” Nadhira memegang perutnya. “Kamu sendiri tega pada Mama dan Papa,”
Selama beberapa waktu berikutnya Arya mendapat tugas untuk mengontrol ke tempat usaha keluarganya. Arya hanya perlu bertemu dengan penanggung jawab masing-masing dan menerima laporan mereka. Jika ada persoalan dan Arya memiliki solusi maka ia diberi kewenangan untuk menyelesaikannya bersama penanggung jawab usaha. Namun jika Arya merasa tidak mampu ia bisa menampung persoalan yang disampaikan dan akan didiskusikan dengan Pak Hamzah nanti. Ini bukan pertama kalinya Arya mendapat tugas seperti ini. Sejak kuliah Arya sering mendapat tugas yang sama jika sedang berlibur. Sehingga Pak Hamzah bisa beristirahat di rumah tanpa harus keliling. Namun kali ini alasannya adalah agar Pak Hamzah lebih leluasa mengurus berkas dan segala urusan untuk pernikahan Nadhira. Jadi selama beberapa waktu Aryalah yang akan memegang kendali bisnis keluarga mereka. Mama Nur memilih berada di rumah agar dapat mengawasi Nadhira. Toko di
Nadhira bergegas mengganti pakaian rumahnya dengan baju gamis dan menyambar kerudung instan seadanya dari lemari pakaian. Ia segera turun ke bawah dan menuju teras. Dilihatnya Mamanya sedang dibantu naik ke mobil oleh kakaknya. Nadhira segera mengunci pintu dan berlari menuju mobil, kemudian mengambil tempat di sebelah Mamanya. Arya memastikan semua sudah memakai sabuk pengaman dan segera meluncur keluar dari area parkiran. Dia turun sebentar untuk menutup dan mengunci gerbang. Kemudian bergegas memacu kendaraannya menuju jalan raya. “Kak Arya, Papa kenapa?” Nadhira yang masih belum tahu apa yang terjadi sebenarnya mencoba mencari jawaban dari Arya. “Ma..?” Nadhira memegang tangan Mama Nur. Namun Mama Nur hanya menangis dan bersandar pada jendela. “Kak, Papa nggak apa-apa kaan?” Nadhira tidak juga mendapat jawaban, perasaan cemas dan khawatir merambati hatinya. Dia memilih diam sambil berdoa agar papanya baik-baik saja. Setibanya di rumah sakit. Mereka segera menuju IGD. Nadhira
Sudah tiga hari berlalu dan Pak Hamzah belum juga sadar. Tadi malam Pak Hamzah sudah dipindahkan ke ruang rawat inap khusus. Beragam peralatan medis masih menempel pada tubuhnya. Bermacam selang menghiasi tubuh orang yang amat disayangi Nadhira.Mama Nur masih setia merawat dan menemani suaminya. Tak beranjak sedikit pun dari sisinya kecuali untuk keperluan mendasar. Seperti makan, ke kamar mandi, dan sholat.Pagi dan sore hari Mama Nur membersihkan badan Pak Hamzah dengan handuk kecil yang dibilas air hangat. Telaten dan lembut menyeka setiap bagian tubuh suaminya. Berhati-hati di area dengan jarum infus atau alat medis lainnya yang menempel di tubuh suaminya.Mama Nur juga mengisi hari-hari di samping suaminya dengan dzikir, shalawat dan tilawah. Sengaja Mama Nur duduk dekat sisi kepala Pak Hamzah, agar Pak Hamzah bisa mendengar suara beliau saat mengaji, berharap dengan mendengarkan ayat suci AlQuran yang dibacakannya beliau bisa segera sadar dan pulih.Nadhira juga ikut menemani M
Mobil membelah jalanan yang tidak terlalu padat kendaraan. Udara begitu panas di luar sana, hingga sinar matahari serasa amat menyilaukan.“Jika kondisi papamu masih terus begini, bagaimana dengan rencana pernikahan adikmu Ar?” tanya Pakde Agus memecah kesunyian di dalam mobil.“Arya juga tidak tahu Pakde. Apa baiknya tetap diteruskan?” tanya Arya.“Apa Jadi dirame-rame?” tanya Pakdenya lagi“Semua persiapan masih belum dicancel Pakde. Dari gedung, kuade, rias sampai catering sudah dipesan papa. Jika pun harus dibatalkan yaa harus dilaksanakan dalam minggu ini,” jawab Arya pedih.“Ya baiknya nanti kita diskusi dengan Mama-mu juga,” ujar Pakde Agus“Iya Pakde, mungkin nanti Pakde bisa mengawali bahasan itu. Biar Nadhira Arya ajak pulang untuk mengambil baju ganti sambil nengokin rumah. Jadi Pakde dan mama bisa lebih leluasa berbicara,” kata Arya.“Lho Nadhira masih belum setuju untuk menikah dengan Hanif ?”“Entahlah Pakde, Arya sendiri juga bingung kenapa Nadhira menolak. Apa iya dia
“Sampai kapan kamu akan menolak rencana pernikahan yang sudah disepakati keluarga besar kita Nad?” tanya Arya dalam perjalanan pulang dari rumah sakit.“Apa Nadhira harus menikah kak?” tanya Nadhira.“Jika tidak menikah maka anak kamu akan lahir tanpa ayah, apa kamu belum mengerti apa maksud kalimat itu?” tanya Arya dengan nada kesal.“Ya Nadhira akan melahirkan dan membesarkannya sendiri,” jawab Nadhira dengan entengnya.“Kamu janga egois. Kamu pikir melahirkan dan membesarkan anak sendirian itu mudah?” sinis Arya.Nadhira terdiam. Dia baru kali ini hamil bagaimana dia tahu sulitnya melahirkan dan membesarkan anak seorang diri. Dia sadar betul bahwa ini salahnya. Dan Nadhira sudah berniat untuk memperbaiki diri, tapi tidak dengan cara menikahi pamannya, suami dari almarhumah Buliknya.“Apa kau sudah siap dengan beban mental yang akan kamu hadapi saat hamil di luar nikah? Apa kamu tidak memikirkan bagaimana anak kamu nanti saat berada di lingkungannya?”“Aku akan membesarkannya dengan
Drrrtt.. Drrrtt.. Drrrtt..Telepon Arya bergetar tanda ada panggilan masuk.[Mama]“Halo. Assalamualaikum ma,” sapa Arya begitu mengangkat telepon dari mamanya.“Waalaikumsalam. Ar, kamu masih di rumah?” tanya mama.“Iya, ma. Arya masih di rumah. Nadhira baru beberes kamar untuk Pakde. Dan lagi siap-siap berangkat lagi ke rumah sakit. Ada apa, Ma?” tanya Arya.“Cepatlah kembali. Papa kena serangan lagi. Sekarang dokter sedang menanganinya. Mama takut, Ar,” Suara Mama Nur bergetar.“Ya, Ma. Mama tenanglah. Arya segera datang,” segera dia tutup panggilan dan berlari keluar kamar. Diketuknya tergesa pintu kamar Nadhira.“Ada apa kak?” tanya Nadhira yang baru berganti pakaian.“Cepat! Papa kena serangan lagi,&r