"Sorry, Sayang ... aku baru bisa jemput kamu, soalnya tadi di sekolah aku sibuk banget." Andy begitu menyesal terlambat menjemput Raya sepulang ia merayakan pesta ulang tahun kampusnya. Gadis itu tampak berdiri seorang diri di depan gerbang tempatnya menempuh pendidikan."Lama sekali sih! Kamu nggak punya perasaan banget sama pacar kayak gitu. Ngebiarin pacar nunggu lama, kalau ada penjahat gimana?" gerutu Raya. Gadis itu bergegas masuk ke dalam mobil Rendy dan duduk di kursi penumpang sebelah kursi kemudi."Maaf, Sayang. Kan' aku sudah bilang dari kemarin-kemarin, pekerjaanku sedang banyak di sekolah. Kamu juga tahu sendiri kan, menjadi seorang guru itu cari libur susah, kecuali hari minggu atau liburan akhir semester.""Itu mah cuman alasan kamu aja! Sudah jalan, aku mau pulang.""Gimana acaranya tadi? Pasti sangat menyenangkan.""Menyenangkan apanya? Yang ada bikin jengkel. Semua orang punya pasangan, mereka menikmati acara dengan romantis. Aku aja yang sendiri, apalagi tuh, si Nin
"Gimana, Raya? Kok enggak dijawab? Kamu mau nggak jadi istriku?" tanya Andy sekali lagi."Raya ... berikan kepastian pada Andy, jangan menggantung perasaannya. Ingat loh, hubungan kalian sudah lama. Memang sudah seharusnya kalian segera menikah. Mama tidak masalah kamu menikah muda, sekali pun kamu sudah nikah, kuliah masih bisa diteruskan juga." Kiara menegur putrinya."Benar kata Mama, papa setuju. Jadi Menikahlah!" Rendy menimpali.Raya masih hening. Ia tak bergeming sedikit pun, entah apa yang gadis itu pikirkan sehingga membuatnya begitu lama menjawab pertanyaan Andy. "Sebenarnya aku belum siap menikah, aku masih ingin kumpul-kumpul dengan teman-temanku, aku masih ingin bersenang-senang. Aku tidak ingin terikat dengan pernikahan, satu lagi aku belum siap jika harus memiliki anak, aku belum siap untuk itu semua.""Oh ... jadi Kak Raya belum siap menikah? Kalau gitu, Om Andy menikah sama aku saja, aku sudah siap kok, Om. Jadi suamiku ya, Om?" Tiba-tiba Nindya muncul begitu saja di
"Ibu Anggun, Ibu Nia. Untuk apa kalian memperebutkan Pak Andy? Jelas-jelas ia sudah memiliki kekasih. Bukankah masih ada saya yang jelas-jelas seorang single yang bertalenta? Saya seorang Kepala Sekolah. Apakah kalian tidak tertarik dengan saya?"Ibu Anggun dan Ibu Nia saling bertatap, keduanya beradu pandang setelah mendengar ucapan Kepala Sekolah. Keduanya berusaha menahan tawa, namun akhirnya lepas juga."Hahahah ... hahahah ... hahha ...." "Kenapa kalian tertawa? Ada yang lucu?" Kini kepala sekolah memandang kedua wanita itu dengan tatapan kebencian penuh amarah."Bukan begitu, Pak. Bapak ini kan Kepala Sekolah, jadi rasanya lucu kalau kita berharap terlalu tinggi menyukai Bapak." jawab ibu Anggun yang jelas-jelas itu adalah jawaban kebohongan."Benar kata Ibu Anggun, Pak. Kami tidak sepantasnya memilih Bapak yang notabene adalah seorang Kepala Sekolah, sungguh tidak pantas untuk kami." Ibu Nia turut memberikan komentarnya, dan jelas-jelas, ia pun sama. Mengeluarkan kebohongan de
Perpisahan Termanis"Ya, Om, Tante, ijin sebentar ngajak Nindya jalan-jalan." Dio mencium punggung tangan Rendy dan Raya bergantian."Hati-hati ya, Nak Dio? Jangan sampai larut," tutur Rendy kepada kekasih putrinya."Siap, Om.""Nindya jalan dulu ya, Pa, Ma?""Hati-hati ya, Sayang?" Kiara menyentuh lembut pucuk kepala Nindya."Lebay sekali, cuma perpisahan begitu saja pakai acara." Raya menggerutu, masih dengan gaya angkuhnya."Itu hak mereka, berhentilah iri dengan Nindya. Kamu sudah punya aku, tapi masih saja suka iri sama orang lain." Lama-lama Andy merasa jenuh dengan kelakuan Raya.Sementara Nindya dan Dio berangkat, Rendy dan Kiara masuk ke dalam rumah. Tinggalah Andy dan Raya yang masih duduk di teras depan rumah keluarga itu."Kamu senang banget kayaknya belain dia. Dari dulu selalu aja begitu. Pernah nggak sih, kamu mikir perasaanku? Di dalam sini itu ya rasanya sakit banget, kayak ditusuk, kok bisa-bisanya pacar sendiri malah ngebelain cewek lain.""Aku nggak ada yang ngebel
"Nin, Nindya ... " Suara seseorang yang memecah keheningan. Nindya yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya seketika memalingkan wajah ke arah suara."Kamu kenapa? Kok buru-buru gitu?" tanya Nindya kepada teman perempuannya, Wina."Itu ... anu ... ka– ka–kamu, itu kamu ga nganterin Dio ke Bandara?""Ke Bandara? Kok ke Bandara? Dio cuma pindah ke luar kota saja kok, Win. Kamu jangan aneh-aneh deh." Nindya menggeleng-gelengkan kepalanya, ia merasa Wina sedang berusaha membohongi dirinya."Lo, dia mau pergi ke luar negeri, Nindya. Kamu gimana sih?""Ya ampun, Wina ... please deh, kemarin aku bareng sama Dio. Dia bilang cuma mau pergi ke luar kota kok. Pindah ke luar kota. Pendengaranku masih baik-baik saja, aku tidak mungkin salah dengar." Nindya masih ngotot dengan keyakinannya."Nin, Nindya ...." Kali ini suara Bayu yang terdengar berteriak dari kejauhan memanggil Nindya, pria itu bergegas menghampirinya.Nindya sedikit mendongakkan kepalanya ke samping, pandangannya sedikit terhalang o
24 jam berlalu sejak Dio berangkat diam-diam tanpa memberi tahu Nindya. Tak sekali pun pria itu memberikan kabar kepada kekasihnya. Rindu yang dulu tak pernah ia rasakan, kini seakan-akan rasa itu telah mengguncang sebongkah daging berwarna merah maron di dalam tubuhnya.Butiran-butiran bening mulai memenuhi sudut mata Nindya. Diraihnya benda pipih yang sering ia gunakan untuk berkomunikasi dengan sang kekasih, berharap, pagi ini ada kabar baik yang mampu membuatnya tersenyum tenang. Sungguh sangat disayangkan, harapan itu tinggallah harapan. Tak ada satu pun notifikasi dari semua aplikasi yang Nindya gunakan."Kamu ke mana sih? Kamu kenapa sih? Dio, berikan aku kabarmu. Jangan diamkan aku seperti ini." Nindya bermonolog."Nin, sudah pagi. Bangun gih, kamu kuliah kan?" terdengar suara Kiara di depan pintu kamar Nindya."Iya, Ma." Dengan lesu, Nindya melepas selimut, beranjak dari tempat tidurnya lalu bergegas menuju kamar mandi.Semua sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan bersam
Cafe Lanila"Bukankah itu Dio? Iya kan? Itu Dio kan?" pekik Nindya, gadis itu bersorak girang melihat lelaki tampan yang tengah bernyanyi di atas panggung."Dio ... Dio ... aku datang, aku datang ...." teriak Nindya penuh histeris. Gadis itu melambaikan tangannya berkali-kali ke arah panggung. Memberi isyarat pada pria yang tengah menghibur pengunjung dengan suaranya.Wina, Bella dan Bayu terpaku. Mereka bertiga meragukan jika yang ada di atas itu adalah Dio. Wajahnya iya, itu wajah Dio, tapi tidak dengan suara itu. Itu bukan suara Dio."Nin, itu bukan Dio." Wina menepuk pundak Nindya."Kamu ngomong apa sih? Itu Dio, Win. Kamu ga bisa lihat wajahnya? Itu jelas Dio." Nindya sedikit ngotot dan ia tak suka dengan ucapan Wina.Bayu menggeleng ke arah Wina dan Bella, ia memberi kode untuk membiarkan Nindya dengan khayalannya sendiri.Beberapa menit kemudian, lelaki putih bersih itu menatap ke arah Nindya. Ia menuruni panggung setelah mengucapkan terima kasih kepada penonton. "Nindya?""Di
"Nindya ... siapa tuh yang cari kamu pagi-pagi di depan? Kayaknya Dio," ucapan Raya."Itu bukan Dio, itu Gio," jawab Nindya ketus."Siapa dia, Sayang?" tanya Rendy."Gio adik Dio, mereka saudara kembar. Sudah ya, aku berangkat kuliah," pamit Nindya selepas ia menggunakan sepatunya. Gadis itu kemudian mencium punggung tangan Rendy juga Kiara."Kamu nggak sarapan dulu?" tanya Kiara kepada Nindya."Enggak, Ma ... nanti aja sarapan di kampus, kebetulan aku belum lapar. Ya udah aku berangkat dulu," ucap Nindya malas."Kamu kok gonta-ganti cowok si? Dio hilang sekarang malah saudaranya yang diembat. Eh gimana sih? Aku bingung, pokoknya jadi cewek itu jangan terlalu murah. Jual mahal dikit deh, biar lebih berharga," ucap Raya menyindir Nindya."Raya! Berapa kali Mama sudah bilang, jaga etika kamu." Kiara mulai emosi melihat tingkah laku anaknya.Nindya yang disindir tak peduli, ia masa bodoh dan memilih pergi begitu saja, bergegas menghampiri Gio yang sudah menunggunya sedari tadi."Besok-be