Sore sepulang kerja, seperti biasa, Aditya mengantar Sarah pulang.Dalam benaknya, sering Aditya berfikir, hubungannya dengan Sarah memang kaku. Sarah yang terlihat sangat sopan, tidak banyak bercanda, dan juga tidak banyak teman. Dia hanya bicara yang penting-penting saja. Kadang Aditya merasa hubungannya dengan Sarah hanya sebatas formalitas.Aditya sering merasa tidak menjadi dirinya sendiri.Sejak dekat dengan Sarah, hubungan dengan teman-temannya menjadi terbatas. Yang tadinya dia bebas berteman dengan siapa saja. Ngobrol dengan siapa saja, sejak akrab dengan Sarah, dunianya hanya berputar di sekeliling Sarah.Meski Aditya akui, Sarah sangat berjasa di tempat kerjanya. Utamanya saat Adit masih jadi pegawai baru. Tapi, lama kelamaan Aditya pun bisa meluaskan lingkaran pertemanan. Sayangnya, lingkaran itu kembali mengecil setelah hubungannya dengan Sarah semakin intens.“Mas, gadis yang di rumahmu itu rajin ba
“Kenapa kamu menemui adikku?” tanya Aditya pada Sarah saat jam makan siang. Tak seperti biasanya, pagi tadi, Aditya sengaja tidak menjemputnya. Sejak Sarah menuduh Intan sebagai pembantunya, Aditya sudah enggan menjadi supir pribadinya lagi. Kadang Aditya merasa kesal dengan dirinya sendiri. Kenapa mau-maunya dirinya berbulan-bulan antar jemput ke area yang berlawanan dengan arah kantornya. Inikah cinta? Benarkah cinta buta? "Adikmu?" Kening Sarah berkerut. Dia berfikir sejenak sembari mengingat sesuatu.Ada banyak kebingungan dalam benaknya. Kenapa Aditya menyebutnya adik? Bukannya tempo hari adik temannya? Tempo hari lagi jadi anak sahabat mamanya. Kini jadi adiknya. Besok apa lagi?“Oh, dia cerita ke kamu, Mas?” Sarah balik bertanya."Bukannya dia itu pembantumu?” Sarah bertanya retoris. Matanya tajam menatap Aditya menanti jawaban. Serta merta, suara kepalan tinju Aditya memukul meja terdengar membahana.Sarah terlonjak kaget. Jantungnya serasa mau lepas dari tempatnya tatkal
“Adit! Intan?” Sontak keduanya menoleh ke sumber suara. Mata keduanya melebar saat menyadari siapa yang sedang berjalan mendekat. “Mas Danang?” guman Aditya. “Wah, wah! Nggak nyangka juga ketemu kalian di sini. Temannya mempelai, atau ... ?” Danang, kakak sulung Aditya, memberondong pertanyaan, sekaligus meledek adiknya. Menyadari ada Indah, istri Danang dan anak bayinya, Intan buru-buru menghampiri Indah. Intan sengaja membiarkan Aditya menjawab pertanyaan kakaknya. Tak mau ikut campur. “Sini, gendong sama Tante,” ucap Intan sambil meletakkan dua tangannya di pangkal ketiak Caca, bayi perempuan berusia sembilan bulan yang tengah digendongan Indah.Spontan bayi itu pun merentangkan kedua tangannya. Dia sudah terbiasa bermain dengan Intan saat diajak ke rumah Bu Handoyo, neneknya. “Eh, ternyata, kalian serasi banget, lho,” bisik Indah tepat di telinga Intan. Sontak Intan langsung mendelik. “Hah, serasi apaan? Kayak majikan dan pembantu!” kelakar Intan sambil mengayun-ayunkan Ca
“Intan!”Terdengar suara memanggil, membuat Intan yang sedang memesan minum di kantin menoleh.Kening Intan seketika mengerut. Sosok yang memanggilnya tentu bukan sosok sembarangan. Bagaimana bisa Aditya nyasar ke kampus Intan?“Hei, Mas Adit! Kok bisa nyampe sini? Mau dipesenin minum juga? Jus jeruk?” tawar Intan.Tak heran jika dulu Aditya sering meledek Intan punya mental pembantu. Apa aja ditawarkan.Namun, gadis itu tak dapat menutupi keheranannya. Dia tak percaya. Ini suatu kebetulan apa kesengajaan, bisa bertemu Adit di kantin?Kemarin Sarah, hari ini Adit. Lalu besok?Aditya mengangguk, lalu ia beranjak mencari tempat duduk.“Kok bisa nyampe sini, Mas? Meeting sama Mbak Sarah?” tanya Intan sambil menarik kursi di depan Aditya.Gadis itu bertanya tanpa ada beban. Meski sering dicuekin dan dijutekin oleh Aditya, dia tak pernah berkecil hati. Baginya, manus
Dimas mengikuti Aditya yang baru masuk rumah. Dimas yang sedari tadi sudah sampai di rumah, menanti adiknya itu. Dia tak sabar ingin berkomentar dengan apa yang ditemuinya tadi.Jika sebelumnya kakak sulung yang menjadi saksi mata Adit jalan sama Intan, kini, dia pun sudah membuktikan.“Jangan-jangan, benar mereka ada apa-apa.” Dimas tersenyum sambil membayangkan apa yang tengah dipikirkan.“Kenapa, Mas?” Aditya yang mau menutup pintu, karena mau ganti baju, urung karena melihat kakaknya mengikutinya hingga depan kamar sembari cengar-cengir.“Pokoknya Dik, kalau kamu sama Intan, Aku dukung 1000 persen. Yakin deh! Mama, Papa, Om Arman, Tante Mirna, Mas Danang, dan Indra, pasti semua ngedukung kamu. Beda sama orang kaya yang sombong kemarin.”Dimas tak peduli adiknya yang kegerahan mau ganti baju. Dia malah langsung duduk di kursi belajar Aditya.“Jangan bilang orang kaya
“Jadi gini, Bro. Kalau kita sudah kenalan sama orang tua nya, pertanda kita sudah serius,” ujar Dito menasehati. Keduanya bertemu di pantry saat hendak menyeduh kopi. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Aditya sekedar berbagi rasa.“Tapi Mas, mereka itu menganggap kehadiranku saja tidak. Buat apa aku menggapnya serius.” Aditya membela diri. Lelaki itu masih menyimpan kenangan buruk saat di berkunjung ke rumah Sarah. Kehadirannya, memang hanya dianggap sebagai teman Sarah. Bukan calon suami Sarah. Bahkan, justru dia merasa dihargai oleh supir keluarga itu, dibanding si tuan rumah.“Itu mungkin hanya perasaanmu saja. Atau waktu itu terjadi kesalahpahaman,” kata Dito membesarkan hati Aditya. “Menurut Mas, aku harus bagaimana?” tanya Aditya meminta saran. “Komunikasi itu penting. Begitu juga dalam berkeluarga. Jika komunikasi tersumbat, maka akan banyak masalah kesalahpahaman di sana. Coba kamu berkomunikasi dengan Sarah. Mungkin dia merasa kamu meninggalkannya begitu saja. Kalian kan me
“Kenapa bukan kamu saja yang menyetujuinya, Mas?” tanya Sarah saat bertemu Aditya di kantor. Papa Sarah sudah diijinkan pulang. Sarah sedang mengurus penjualan asset pribadi milik keluarganya. Tak lama mereka harus pindah ke rumah kontrakan yang lebih kecil karena hasil penjualan asset akan digunakan untuk modal perusahaannya yang hampir bangkrut. Ternyata menjual aset pun bukan pekerjaan yang mudah. Rumah besar harganya milyaran, dan beberapa mobil berharga ratusan juta, justru sulit jika membutuhkan pembeli dalam waktu singkat. Beberapa agen sudah menghubungi Sarah, tentu saja potongan fee-nya tidak kecil. Namun, Sarah tak punya pilihan lain. Dia dalam kondisi terjepit. Dana tercepat yang bisa Sarah dapatkan, hanya dengan menjual perhiasan mamanya dan juga barang-barangnya sendiri. itu pun tak banyak dan hanya bisa menutup biaya sehari-hari. Untungnya, papanya masih punya asuransi untuk membayar biaya rumah sakit. Namun, Sarah tak tahu lag
Aditya bergegas ke parkiran sepeda motor di baseman gedung kantornya. Setelah lengkap memakai jaket, sarung tangan, masker dan helmnya, pemuda itu bergegas menyalakan mesin motornya. Belum sempat dia menarik gasnya, seorang wanita yang dikenalnya muncul. Penampilan wanita itu sudah banyak berubah. Padahal baru beberapa hari lalu dia resign dari kantornya. Dia tampak tidak begitu terawatt, seperti masa-masa sebelumnya. Penampilan yang biasa berkelas, sekarang tampak biasa saja. Mungkin karena dia harus naik angkutan umum sehingga membuat debu-debu metropolitan menempel padanya. “Mas, aku ingin bicara,” pinta wanita itu saat sudah mendekat. Meski dulu tak pernah mendapati Aditya dengan motornya ke kantor, karena selalu membersamainya dengan mobil, Sarah tahu di mana dia harus menemui Aditya di jam pulang kerja seperti ini. Aditya melepas helmnya, agar bisa mendengar suara Sarah dengan jelas. “Mas, kenapa kamu berubah, Mas? Setelah apa yang kita jalani. Apa karena sekarang aku jatuh