“Kenapa bukan kamu saja yang menyetujuinya, Mas?” tanya Sarah saat bertemu Aditya di kantor. Papa Sarah sudah diijinkan pulang. Sarah sedang mengurus penjualan asset pribadi milik keluarganya. Tak lama mereka harus pindah ke rumah kontrakan yang lebih kecil karena hasil penjualan asset akan digunakan untuk modal perusahaannya yang hampir bangkrut. Ternyata menjual aset pun bukan pekerjaan yang mudah. Rumah besar harganya milyaran, dan beberapa mobil berharga ratusan juta, justru sulit jika membutuhkan pembeli dalam waktu singkat. Beberapa agen sudah menghubungi Sarah, tentu saja potongan fee-nya tidak kecil. Namun, Sarah tak punya pilihan lain. Dia dalam kondisi terjepit. Dana tercepat yang bisa Sarah dapatkan, hanya dengan menjual perhiasan mamanya dan juga barang-barangnya sendiri. itu pun tak banyak dan hanya bisa menutup biaya sehari-hari. Untungnya, papanya masih punya asuransi untuk membayar biaya rumah sakit. Namun, Sarah tak tahu lag
Aditya bergegas ke parkiran sepeda motor di baseman gedung kantornya. Setelah lengkap memakai jaket, sarung tangan, masker dan helmnya, pemuda itu bergegas menyalakan mesin motornya. Belum sempat dia menarik gasnya, seorang wanita yang dikenalnya muncul. Penampilan wanita itu sudah banyak berubah. Padahal baru beberapa hari lalu dia resign dari kantornya. Dia tampak tidak begitu terawatt, seperti masa-masa sebelumnya. Penampilan yang biasa berkelas, sekarang tampak biasa saja. Mungkin karena dia harus naik angkutan umum sehingga membuat debu-debu metropolitan menempel padanya. “Mas, aku ingin bicara,” pinta wanita itu saat sudah mendekat. Meski dulu tak pernah mendapati Aditya dengan motornya ke kantor, karena selalu membersamainya dengan mobil, Sarah tahu di mana dia harus menemui Aditya di jam pulang kerja seperti ini. Aditya melepas helmnya, agar bisa mendengar suara Sarah dengan jelas. “Mas, kenapa kamu berubah, Mas? Setelah apa yang kita jalani. Apa karena sekarang aku jatuh
“Kok kamu belum siap-siap? Pesawat kita jam 06.00!" Adit mendekati Intan yang tengah mulai menyalakan kompor di dapur.“Lhah, Mas Adit kan semalam nggak bilang. Emang aku dukun. Bisa nebak jam berapa kira berangkat?” Intan balik bertanya dengan nada sedikit kesal.Dia menatap Adit yang sudah rapi. Harum yang menguar ditubuhnya menandakan dia sudah mandi.“Sudah, sana. Biar Mbak Indah yang urus.” Indah mengedipkan matanya, memberi kode agar Intan segara beranjak.“Serius Mbak, nggak papa?”“Sudah sana. Sarapan aja, kan? Paling bikin nasi goreng aja, sama telor dadar.” Indah mendorong Intan agar menjauh.Seperti biasa, hanya butuh waktu tak sampai sepuluh menit, Intan sudah siap.“Nggak sarapan dulu?” tanya Bu Handoyo yang tengah memangku cucunya di ruang tengah.“Di Bandara saja, Ma. Adit pamit.”D
“Ndhuk, kamu sudah sadar, Ndhuk?” Intan mengerjapkan matanya. Tampak samar-samar wajah buliknya duduk di sisi ranjang sedang menatapnya. “Ayo sarapan dulu. Kamu belum sarapan, jadinya masuk angin. Nanti habis mandi, bulik dandani, biar agak seger,” titah Bu Ratni, adiknya ibu Intan. Intan makin tidak mengerti. Orang-orang ini bicara apa. Apakah dia masih di bawah alam sadarnya? Tetapi dia sadar, dia harus kuat jika hendak bertanya. Dengan badan tak bertenaga seperti ini, dia tak berdaya. Bahkan, bicarapun lidah terasa kelu. “Sarapan dulu, Dik Intan.” Lastri meletakkan sepiring nasi dengan lauk di meja belajar, yang terletak di sebelah ranjang Intan. Bulik Ratni membantu Intan duduk.“Kamu mesti kangen nasi urap kan?” Intan mendelik. Emang dia hidup dimana, bisa kangen nasi urap. Kalau pun kangen juga bisa bikin sendiri, gampang. Mungkin, buliknya pikir, Jakarta itu semacam luar angkasa, yang nggak nemu kelapa parut. Jadi bikin urap saja sulit. Intan menyendok nasi lauk urap da
“Hueeekkkk!” Intan tiba-tiba mual dan ingin muntah. Semua mata menatap ke Intan yang terlihat pucat pasi. Yang lain menatap ke Aditya bergantian. Aditya menjadi panik saat sadar orang-orang menatapnya penuh tanya. Padahal, Aditya penasaran. Ada apa dengan Intan? Sakit? Selama ini, Aditya tak pernah lihat Intan sakit. Anggota keluarganya, juga tak pernah cerita kalau Intan mudah sakit. Intan berlari ke toilet. Tak lama Bu Harti sudah di belakang Intan sambil membawa minyak angin. Diurutnya leher Intan. Gadis itu masih membungkuk di atas kloset. “Kapan kamu mens terakhir, Nduk?” tanya Bu Harti. “Kemaren,” jawab Intan sambil mengelap bibirnya dengan tisue. “Yakin kemaren?” Bu Harti menyelidik. Intan mengangguk, sembari melirik ke Budenya yang masih berdiri di dekatnya. Bu Harti masih menatapnya. “Tuh, sampah pembalutnya masih ada. Intan baru kramas kemaren sore,” jawa
Aditya bangkit dari posisinya. Ia mengambil ponsel dan membuka salah satu aplikasi. “Balik hari Senin apa Selasa?” tanya Aditya. Dia tengah membatalkan penerbangan kembali ke Jakarta. “Aku ada kuliah, Mas.” Aditya tertawa. Lupa kalau dia menikahi anak kuliahan. “Senin kuliah? Jam berapa?" “Senin ngerjain tugas. Selasa kuliah.” “Ngerjain tugasnya nggak harus ke kampus, kan?” tanya Aditya. Intan merasa, ini adalah percakapan dengan Aditya yang paling panjang di ruang privat. Meski beberapa hari terakhir Aditya sering ke kampusnya, tapi dia jarang menanyakan hal privat. Di kampus Aditya masih misterius. Datang dan pergi seolah tanpa tujuan. Hal yang sangat aneh bagi seorang Aditya, makhluk serius.“Emang Mas Adit nggak kerja?” tanya Intan. “Oh, aku gampang. Bisa cuti.” Intan menoleh. Ternyata Aditya tengah menatapnya. Buru-buru Intan memalingkan kembali mukanya. “Ya Alloh, pacaran aja nggak pernah. Ta'aruf nggak pernah. Tahu-tahu ada pria asing di sampingnya.” “Kenapa?” “Ngga
“Nak Adit, Ayah dan Ibu titip Intan, ya. Kesempatan Ayah dan Ibu mendidiknya, kini sudah berpindah ke pundakmu. Ayah dan Ibu percaya, Nak Adit pasti bisa menjadi imam yang baik untuk Intan. Ayah dan Ibu minta, tolong jaga amanah ini,” nasehat Pak Arman saat Aditya pamit. “Insyaalloh, Ayah. Adit akan menjaga Intan dengan sebaik-baiknya,” janji pemuda itu. Sementara Intan masih kesal dengan Aditya. Jawabannya yang tidak lugas, membuatnya merasa dipermainkan. Bisa-bisanya, orang tuanya setuju-setuju saja menikahkan dia dengan pria yang sekarang menjadi suaminya. Ya pasti setuju. Semua orang juga tahu, Aditya itu di mata orang luar adalah perfect young man. Nggak heran kalau Sarah sampai minta balikan. Hanya orang tua Sarah waktu itu saja yang belum membuka mata. Kalau iya, hampir semua orang tua pasti ingin menjadikan Aditya sebagai menantunya. Sholeh, pinter, mapan, pandai bergaul, punya tatakrama, hormat pada orangtua, dan masih banya
Pagi-pagi seperti biasa Intan sudah siap mau berbelanja sayuran ke Mang Udin di dekat Gardu Satpam. Dilihatnya mbak-mbak ART penghuni kompleks sudah pada kumpul di sana. Mereka tengah memilah-milah belanjaannya masing-masing.Selama Intan tinggal di rumah Bu Handoyo, Intan sering berinteraksi dengan mereka. Kalau saat menginap pun, pasti salah satu tugas Intan adalah belanja sebelum berangkat kuliah. Mang Udin sudah mulai mangkal sejak jam 5 pagi.“Wah pengantin baru datang,” ledek mbak-mbak yang asyik belanja itu.Deg.Seketika mata Intan melebar.Kok pada tahu? Batin Intan.“Kemaren Bu Handoyo bagi-bagi berkat. Katanya kamu dinikahkan di kampung sama Mas Adit ya?” tanya Mira, ART-nya Pak Rusman yang tinggal di sebelah rumah Aditya."Dari mana Mbak Mira tahu?" Padahal, dia sedang menyusun rencana konspirasi menyamar jadi pembantu. Eh, malah tetangga sudah tahu kalau