Share

Bab 6

POV Alya

Aku menarik baju gamis yang dikenakannya Ulfa. Binggung sendiri, pengen bicara dulu dengan-nya.

"Oh iya Ustadz, ini yang mau dilamar." Ulfa memperkenalkan diriku, begitu merasa aku menarik-narik bajunya.

"Allahu Akbar, Ulfa! Bukan itu maksudnya!" Pekikku dalam hati.

Tak urung, aku menagkupkan kedua tanganku di dalam dada dan berusaha tersenyum padanya.

"Kak Harun, kenapa gak bilang-bilang jika mau ajak Kakak Iparnya," ujarku dalam hati.

Dahlan, tidak ada waktu lagi. Akhirnya kubiarkan saja, bagaimana nanti. Lagipula aku tidak tahu reaksi Abah atas lelaki bernama Harun ini.

Kami memilih langsung pergi ke rumahku. Kak Harun dan kakak iparnya duduk di bangku depan, sedangkan aku dan Ulfa duduk di bangku belakang. Sepanjang perjalanan yang aku dengar hanyalah keseruan Ulfa dan Ustadz Hamid berbagi cerita. Kak Harun fokus mengemudi dan aku fokus mendengar keduanya bercerita.

Ternyata, Ustadz Hamid ini dulunya satu angkatan dengan suami Ulfa. Dari situlah Ulfa dan Ustadz Hamid saling kenal. Jadi ternyata kami alumni pesantren yang sama, salah satu pesantren yang memiliki banyak cabang hingga ke luar pulau Jawa, baik pesantren putra maupun putri.

Cukup lama kami menghabiskan waktu di jalan untuk sampai di rumahku, jalanan ibukota selalu dipenuhi kemacetan. Itulah yang menyebabkan aku malas bolak-balik, lebih baik mukim di pesantren dan pulang beberapa minggu sekali.

Begitu sampai di rumah, Abah dan Umi sudah menunggu kami. Tadi saat hendak berangkat, aku sudah mengirim pesan terlebih dahulu pada ke-dua orang tuaku.

Umi memelukku dengan erat seakan-akan aku sudah lama tidak pulang. Padahal aku sangat sering pulang.

Kami semua di persilahkan masuk dan duduk di ruang tamu. Tak terkecuali aku, bertindak layaknya tamu saja di rumah ini. Setelah berbasa-basi dan memperkenalkan diri, akhirnya Ustadz Hamid mengutarakan maksud dan tujuannya datang ke kediaman kami, yaitu melamarku.

Abah menatapku sekilas, padangan kami bersirobok. Pandangan lelaki yang akan menjadi wali saat aku menikah itu seakan-akan bertanya, kenapa bilangnya hanya teman yang akan main.

"Akupun tak menduga akan seperti ini, Abah," sahutku dalam hati, yang aku sampaikan lewat pandangan mata. Kuharap Abah bisa membaca hatiku.

"Ke-duanya sudah saling mengenal, saya rasa sudah saling cocok, makanya langsung melamar saja. Mengikat hubungan dalam ikatan suci lebih baik daripada membiarkan dalam hubungan yang biasa disebut pacaran," papar Ustadz Hamid.

Abah mengangguk dan menatap ke arah Kak Harun. Sesi wawancara akan dimulai, setidaknya itu yang pernah aku lihat saat calon suami Kak Ayana bertemu dengan Abah.

Abah menanyakan tentang pekerjaan langsung, biasanya akan mengulik tentang segala hal berkenan dengan agama. Sepertinya, memakai jalur 'kenalan' bisa memangkas jalan juga. Maksudnya gini, saat memperkenalkan diri tadi, Abah tahu jika Ustadz Hamid adalah satu alumni denganku dari situ Abah menganggap Kak Harun lulus dalam urusan agama. Selain itu, terlihat jelas di wajahnya jika dia lelaki yang baik.

Setelah menanyakan tentang pekerjaan dan sudah mendapat jawaban dari Kak Harun, Abah lantas menanyakan hal yang lain.

"Setelah menikah akan tinggal dimana?" Tanya Abah.

"Tinggal dimana saja, entah kontrakan atau rumah sendiri yang penting kami hidup mandiri. Tidak bercampur dengan kedua orangtua," jawab Kak Harun mantap.

"Saya akan melepas anak gadis. Memindahkan amanah dari tangan saya berpindah ke tangan suaminya, maka saya harus memastikan jika lelaki itu adalah lelaki yang tepat dan bertanggungjawab," tutur Abah mengakhiri sesi wawancaranya.

"Iya, betul Abah. Saya setuju," timpal Ustadz Hamid.

"Jadi bagaimana, apa lamaran kami diterima?" Lanjut Ustadz Hamid bertanya.

"Jika keduanya sudah saling cocok, lebih baik segera dinikahkan," sahut Abah mantap.

Apa, artinya Abah merestui kami. Wah, aku tidak menduga, sekalinya lelaki datang melamarku langsung diterimanya.

"Jika begitu bagaimana kalau mereka menikah tanggal sekian dan bulan sekian." Ustadz Hamid menyebutkan tanggal beserta bulan, seakan-akan sudah menyiapkan sebelumnya.

Lalu semuanya berjalan dengan mudah, aku dan Kak Harun menikah, dan tiga bulan kemudian, disinilah aku. Di tanah kelahiran suamiku, kampung halamannya. Pulang kampung saat lebaran.

Tempat dengan suasana yang masih asri, sejuk dan damai, juga banyak pepohonan dan buah-buahan. Bahkan orang tua dari Kak Harun memiliki pohon durian yang sangat besar, buah kesukaanku. Musim buah kali ini pohon tersebut berbuah dengan buah yang sangat lebat.

"Mbak Alya kenapa melamun?" Sapaan lembut menarikku dari lamunan yang panjang.

Aku menoleh dan menatap gadis itu, lalu tersenyum padanya. Fitriana, adik iparku itu adalah gadis yang energik dan ceria. Disini aku sangat diterima dengan baik oleh keluarga mereka.

"Mbak Alya sedih karena komentar nitizen julid di video kita yang belanja ke pasar?" Tanya Fitriana dengan nada sedih dan bersalah.

Tiga hari di sini, aku memang akhirnya iseng membuat video. Gara-gara insiden beli cilok kebanyakan. Lalu keseruan itu berlanjut dengan membuat video day life. Siapa yang menduga akan ada komentar miring mampir di video itu, padahal kami hanya membuat video berbelanja. Kami alami melakukan tanpa unsur rekayasa ataupun pakai skenario.

"Enggak Dek, aku hanya mengingat-ingat bagaimana aku dan Kak Harun dulu berkenalan, bertemu lalu menikah," sahutku menjelaskan.

"Oh, aku pikir Mbak Alya sedih karena komentar nitizen."

Gadis itu sampai kena marah Mbak Mayang, kakak iparku, istri dari Ustadz Hamid, gara-gara kejadian itu. Lalu akhirnya Fitriana dilarang membuat konten lagi.

"Enggak, aku gak sedih. Hanya ada satu orang yang tidak suka dari ribuan orang yang suka kan. Abaikan saja, toh gak kenal ini."

"Ah, tapi jadi kita gak boleh ngonten lagi, ya. Padahal seru," ucap Fitriana dengan nada kecewa.

Aku hanya tersenyum menanggapinya, sebenarnya aku tidak masalah dengan samua yang terjadi, tapi Mbak Mayang sudah melarang, aku bisa apa selain menurutinya. Larangan itu pasti juga demi kami sendiri.

"Sebelum lebaran, ayo kita ke mall dulu, Mbak. Mbak Alya mau gak?" Tanya Fitriana mengalihkan pembicaraan.

"Emangnya di sini ada mall?"

"Wah penghinaan ini, tentu saja ada!" seru Fitriana.

"Hehehe, bukan menghina, Dek. Tapi selama di sini yang aku lihat hanyalah pepohonan dan gunung. Gak ada jenis bangunan besar seperti pertokoan besar, dua minimarket yang sedang menjamur di ibukota dan selalu berdampingan itu aja gak ada disini, apalagi mall," sanggahku membela diri.

"Disini memang tidak ada, Mbak, tapi di kota ada mall besar. Eh agak dekat dari sini juga ada sih. Mau yang dekat apa yang jauh?"

"Yang dekat saja."

"Ajak Mas Harun apa Mas Hamid buat nyetir mobil?" Tanya Fitriana.

"Mas Harun saja." Aku mengubah panggilan dari Kak menjadi Mas, mengikuti Fitriana.

"Ngomong-ngomong soal Kak Harun, apa pernah pacaran?" tanyaku pada adik iparku ini, dia pasti tahu banyak tentang masnya kan.

"Pernah Mbak, mantannya banyak."

"Hah?!

Kaget aku dibuatnya oleh jawaban Fitriana.

🍁 🍁 🍁

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status