Wanita itu langsung masuk begitu mendapatkan jawaban salam. "Mbak Alya ya," sapa wanita itu sambil mendekatiku. Aku mengangguk sambil tersenyum. Aku tidak mengenalnya, bagaimana bisa wanita ini mengenalku."Kamu udah kenal sama Mbak Dewi, Yang?" Tanya kak Harun padaku. "Enggak, belum kenal. Alya baru ketemu sekarang," jawabku apa adanya."Mbak Alya memang gak kenal aku, tapi aku tahu Mbak Alya karena lihat videonya di media sosial milik Fitriana," tutur wanita bernama Dewi ini menjelaskan. "Wih, udah punya fans aja," goda Kak Harun."Apaan sih, Kak." Aku memberengut tidak suka ."Tadi pagi pas kesini, kalian lagi keliling kampung jadi gak ketemu. Makanya sekarang ke sini lagi," terang Mbak Dewi."Mau cari siapa Mbak? Mbak Mayang, atau Emak," Aku bertanya. Kusebut wanita-wanita yang berusia di atasku, yang berada di rumah ini. "Mau cari Mbak Alya. Pengen ngobrol-ngobrol, Mbak," jawabannya sambil tersenyum.Wanita ini pengen ngobrol denganku, mau ngobrolin apa. Padahal kami saja be
POV Alya"Mau lihat nggak?" Tanya Fitriana lagi. "Apa perlu kita upload ke media sosial dengan caption, Calon pelakor kena mental." Sambungnya dengan antusias. "Lihat dong, Fit," sahut Mbak Dewi. "Eh ada Mbak Dewi, lagi ngapain, Mbak?" Adik iparku balik bertanya. Fitriana baru sadar ada orang lain selain aku di tempat ini setelah ditegur karena sibuk dengan ponsel pintar yang ada dalam genggamannya."Bisa konsultasi,' jawab Mbak Dewi"Biasanya orang-orang kalau konsultasi sama Mas Hamid, udah beda lagi sekarang?" Tanya Fitriana."Beda yang dikonsultasikan," jawab Mbak Dewi, terkekeh. "Udah dapat solusi?" Lagi, adik iparku itu bertanya. "Udah, nanti diposting di media sosial kamu," terang Mbak DewiFitriana menatapku, seperti meminta penjelasan. "Nanti aku ceritain." Aku berkata pada Fitriana. "Jadi mana video-nya?" Tanya Mbak Dewi lagi. Fitriana menjawab dengan senyuman, "Koleksi pribadi, Mbak." Mbak Dewi mencebikkan bibirnya mendengar perkataan Fitriana sepertinya wanita it
POV AlyaMasih seperti hari pertama lebaran, hari ke dua pun di rumah ini tetap sibuk. Pagi-pagi membuat sarapan, lalu sarapan bersama. Pokonya suasana selalu ramai dan menyenangkan. Hari ini, kami akan silaturahmi ke keluarga jauh, ada adik dan kakak dari pihak Emak, adik dan kakak dari Bapak. Lalu pergi ke rumah orangtuanya emak dan Bapak atau bagi kami, mereka adalah nenek dan kakek. Begitu yang aku dengar dari adik iparku, Fitriana. Kami hanya akan berangkat tiga keluarga plus Fitriana, Bapak dan Emak tidak ikut. Katanya di hari kedua lebaran masih banyak tamu yang akan datang, jadi ke-dua mertuaku itu tetap menjaga rumah. Setelah sarapan, semua orang bersiap-siap. Aku dan Kak Harun menaiki mobil kami sendiri, ditambah Fitriana bersama kami. Sedangkan Ustadz Hamid dan Mbak Mayang ditambah keluarga Mas Bayu, naik mobil Ustadz Hamid. Jika mau menggunakan mobil satu saja memang tidak akan muat. Kami berkendara beriringan depan belakang. Mobil yang dikendarai Kak Harun ada di bela
POV AlyaAku terus melangkahkan kaki menuju ruang depan, saat sampai di ruang tamu dan sedikit lagi sudah keluar ke teras, Fitriana meraih tanganku dan menariknya hingga tubuhku ikut tertarik juga. "Sstt ...." Gadis itu meletakkan jari telunjuknya di bibirnya. "Jangan dilabrak, Mbak. Biarin saja, kita menguping saja pembicaraan mereka," ucap Fitriana. Aku tidak mengerti dengan perkataannya, menguping bagaimana maksudnya? "Ayo!" Ajaknya seraya menarik tanganku.Aku mengikuti langkah kaki nya menuju kursi yang ada di dekat jendela yang memisahkan ruangan dalam rumah dengan teras. Saat malam begini, orang yang di dalam bisa melihat bagian luar dengan jelas tapi dari luar tidak bisa melihat bagian dalam sama sekali. "Kita intip dan dengarkan pembicaraan mereka dari sini," bisik adik iparku itu. Aku duduk mengikuti Fitriana yang sudah duduk di kursi terlebih dahulu. Di luar sana tampak Kak Harun dan Yuli duduk berdua, mereka dipisahkan oleh meja kecil. Tempat itu adalah tempat yang s
POV ALYAHari kelima lebaran suasana sudah mulai biasa. Sejak hari ke empat tidak ada lagi tamu yang datang ke rumah, kalaupun ada paling saudara jauh Bapak dan Emak yang memang belum datang, satu dua orang. Pagi ini, aku dan Fitriana pergi ke warung yang selain menjual sembako juga menjual sayur-sayuran dan lauk pauk mentah. Aku menyebutnya warung, tapi Fitriana menyebutnya toko. Dia bilang, kalau di desa ini, warung itu yang jualan makanan matang, misal warung soto, warung pecel dan lain-lain.Saat kami hampir tiba di tempat tujuan, terlihat banyak ibu-ibu yang sudah berkerumun di luar warung, eh toko tersebut. Kalau aku bilang warung nanti disalahin sama adik iparku itu. "Ngapain mereka, Ana?" Tanyaku pada adik iparku itu penasaran. "Belanjalah, Mbak. Masa arisan," sahut gadis itu melucu. "Tapi kok berkerumun gitu?" Lagi, aku bertanya dengan penasaran. "Ya kan milih-milih sayuran dan lauk yang dimau. Kalau pagi gini masih banyak jenis yang bisa dipilih, makanya pada datang pag
Bugh ... bugh ... bugh! Secepat kilat, Fitriana meraih seikat kangkung dan memukuli tubuh Yuli dengan sayuran tersebut. Aku yang berpikir hendak melakukannya, tapi adik iparku yang mengeksekusinya. "Astaghfirullah ...." Aku memekik. Kaget dengan apa yang dilakukan oleh Fitriana. Segera kutahan tangan gadis itu agar berhenti memukuli wanita bernama Yuli itu. Bagaimana bisa Fitriana sekalap itu, hingga kangkung yang tadinya penuh daun, rontok menyisakan batang dan beberapa helai daun saja. Semua orang berhenti dengan aktifitas memilih belanjaan dan fokus dengan Fitriana dan Yuli."Sudah, Ana," ucapku sambil tetap menahan tangan gadis itu. "Kesal aku Mbak, gak bisa banget jaga mulut," seru Fitriana dengan nada marah. "Jangan pernah mengejek Mbak Alya," sambungnya masih dengan nada jengkel. Hatiku bahagia mendengar ucapannya, tapi juga khawatir dengan kejadian barusan. "Bulek, itu kangkungnya yang rusak dihitung sekalian ya. Cepat," pintaku pada pemilik toko. Aku harus segera memb
"Jangan lakukan itu, kasian Fitriana. Apa Kakak begitu peduli dengan wanita bernama Yuli itu, hingga memberikan banyak hukuman pada kami?" Aku bertanya tanpa melepas pelukanku."Kak ...." Aku merengek saat tubuh tegap dalam pelukanku tidak merespon ucapkanku. Hanya helaan nafas yang aku dengar, apa dia benar-benar marah karena ini berurusan dengan wanita itu padahal dia bilang kemarin kalau dia hanya mencintai istrinya, yaitu aku. Lalu kenapa Kak Harun sekarang peduli pada wanita itu. Lelaki dalam pelukanku itu lantas meraih tangan dan mengurai pelukannya. Pelan ditariknya tanganku dan diajak ke dalam kamar. Mungkin dia tidak ingin obrolan kami didengar oleh adiknya. "Ini bukan tentang wanita itu, ini bukan tentang Yuli. Tapi tentang Fitriana, adikku. Dia selalu dimanja karena anak bungsu, aku tidak mau dia makin diluar kendali. Apalagi kamu ikutan membelanya, Yang," tutur Kak Harun begitu kami sudah berada di kamar berdua. Pria yang sudah menjadi suamiku itu berdiri tepat di hada
Mataku menatap ke arah sosok yang sedang tertidur pulas di sampingku. Aku masih belum bisa tidur meskipun Kak Harun sudah terlelap sejak tadi. Aku malah memikirkan semua yang terjadi tadi. Pantas saja Kak Harun tidak suka kami meladeni Yuli, urusannya jadi panjang. Ibunya ikut campur, ditambah lagi Yuli suka mengadu. Udah kayak anak kecil saja. Tadi pagi ibunya sampai datang dan ngatain Fitriana kurang ajar karena berani mukulin Yuli di tukang sayur. Padahal udah saling memaafkan juga sebelum pulang. Sang ibu mengungkit kejadian di masa lalu, tentang pembatalan pernikahan. Wanita seusia emak itu mengatakan jika keluarga ini belum terima dengan itu makanya mencari perkara dengan keluarga dia. Ish, padahal anaknya yang ganjen sering datang ke sini. Apa dia tidak tahu hal itu. Sampai-sampai Emak harus turun tangan untuk minta maaf, emak dibilang gak bisa didik anaknya. Harusnya dia berkaca pada dirinya sendiri. Mengesalkan sekali. Ternyata selain nekat wanita itu juga suka mengadu sep