Malam hari usai salat isya, bang Haikal tetap berada di dalam kamar seperti biasa. Kami benar-benar seperti anak kost yang tidak saling peduli satu sama lain. Sibuk dengan urusan masing-masing.
Terkadang aku menguping dari pintu kamarnya, siapa tahu dia sedang mengobrol bersama Kania melalui video call. Sikap bang Haikal berubah seratus delapan puluh derajat saat aku memintanya menikah. Dia tak mau lagi dekat denganku seperti sebelum-sebelumnya.
Seumur hidup aku dan dia bertetangga dan akrab layaknya kakak dan adik. Namun perasaannya lenyap begitu saja begitu aku bilang mencintainya dan memaksa ingin menikah dengannya.
Memangnya aku sehina itu? Tak pantas jatuh cinta dengan pria istimewa yang selalu aku puja.
"Jangan main-main, Dwi," ucapnya kala itu. "Sekolah yang benar." Dia lalu mengacak-acak rambutku saat pertama kali mengungkapkan perasaan.
Saat itu aku masih kelas dua SMP. Sedang usia kami yang hampir terpaut enam tahun membuat dia sudah berada di fase usia hampir dewasa. Saat itu dia masih menganggapku bercanda dan hanya ikut-ikutan tren remaja saja.
"Awas kalau kudengar kau berani pacaran atau akrab dengan lelaki. Akan kuadukan pada abangmu. Atau aku sendiri yang akan menghajar laki-laki itu. Kau mengerti?" Dia kembali menekan kepalaku.
Pipiku menggelembung karena kecewa. Namun detik kemudian aku tersenyum padanya.
"Aku tidak akan pacaran. Aku mau langsung menikah saja. Abang tunggu aku sampai lulus SMA, ya?" Senyumku merekah karena berpikir kalau bang Haikal cemburu dan tidak suka aku dekat dengan laki-laki lain.
Dia memutar bola mata ke atas, lalu menghela napas.
*
"Bang. Abang." Aku mengetuk pintu kamarnya.
Tak lama handel pintu bergerak. Dia muncul dari baliknya.
"Ada apa?"
"Hari Minggu nanti Dea mengadakan pesta ulang tahun."
"Lalu?"
"Abang temani aku, ya?"
"Memangnya kau tidak malu membawa suami? Bukankah semua temanmu masih berstatus mahasiswa?"
"Untuk apa malu? Mereka juga nanti akan membawa pasangan."
"Baiklah." Dia kembali menutup pintu.
Seperti itulah dia. Selalu menuruti setiap ajakanku. Tapi sudah pasti tanpa hati dan juga keikhlasan. Hingga mereka-mereka yang di luaran sana tetap menganggap hubungan kami normal dan selalu romantis.
Mereka tidak tahu bahwa jika setiap malam aku menangis, berharap bang Haikal mulai membuka hati dan benar-benar menganggapku sebagai istri.
*
Aku sudah bersiap-siap dan keluar dari kamar. Bang Haikal dengan kemeja abu-abunya sudah menunggu di teras.
"Sudah selesai?" tanyanya dengan memegang helm.
"Tunggu pak Ali ya, Bang. Aku memintanya mengantarkan mobil. Kita naik mobil ayah saja," ucapku.
Pak Ali adalah supir pribadi keluargaku. Aku sudah bilang pada ayah akan meminjam mobilnya untuk pergi undangan.
Sebenarnya ayah juga sudah pernah menawari bang Haikal sebuah mobil dengan cuma-cuma. Namun suamiku menolak dengan dalih ingin mandiri. Salah satu rumah kontrakan milik ayah pun kami di suruh menempati. Namun lagi-lagi suamiku beralasan ingin mencari tempat tinggal yang dekat dengan kantornya sekarang.
"Kalau mau naik mobil sebaiknya pergi dengan Pak Ali saja. Menolak mengendarai motorku berarti kau tidak benar-benar menerimaku. Apa yang selama ini kau koar-koarkan pada semua orang hanya sebuah obsesi karena rasa irimu pada Kania saja."
Aku terperanjat dengan ucapannya. Setelah sekian lama, dia kembali membawa nama itu lagi di hadapanku. Di dalam rumah tangga kami.
Apa dia begitu tersinggung dan menganggap aku sedang merendahkannya? Hingga tanpa sadar mengungkit lagi masa lalunya hanya untuk balas menyakitiku?
"Abang marah?" Mataku kembali menghangat. Takut dia benar-benar tersinggung dengan perbuatanku.
"Kau malu karena suamimu hanya punya motor itu?" Dia menunjuk motor matic yang sedari tadi sudah tercagak di halaman.
Aku menggeleng.
"Kalau masih ingin bergaya hidup mewah, kenapa tak mencari suami yang kaya saja? Bukankah teman-temanmu berasal dari kalangan berada?"
Aku langsung menekuk wajah. Aku tak menyangka kalau suamiku begitu marah dan menolak niat baikku.
Tak lama mobil yang dikendarai Pak Ali muncul dan memasuki pekarangan. Suamiku mendengus kesal.
"Kau ingin pergi dengan siapa?"
~~~~
"Kenapa Abang jadi galak? Kalau tidak mau kan tidak harus marah-marah." Aku mulai menangis.Hatiku terasa begitu sakit. Entah karena merasa dia terlalu kasar hanya karena masalah sepele seperti ini, ataukah saat dia kembali membawa-bawa nama Kania.Obsesi katanya? Dia bilang aku iri? Ya. Aku memang iri. Gadis bernama Kania telah mencuri perhatian dan semua waktu yang dulu bang Haikal berikan untukku. Lebih memilih mengantar Kania yang berlawanan arah ketimbang menjemputku dari pulang les meski tempat tinggal kami berdekatan."Minta Eka atau Pak Ali menjemputmu, ya. Kasihan kalau Kania pulang sendirian."Alasan ke sekian yang membuatku begitu membenci Kania.*Aku dan suamiku akhirnya memakai mobil ayah. Dia akhirnya mengalah setelah melihatku menangis, lalu meminta maaf karena terlalu kasar dan berjanji tidak akan mengungkit soal Kania lagi. Ya. Sebesar itu cara dia menghargai perasaanku. Tapi, jika perasaannya sendiri juga belum berubah untuk mencintaiku, aku bisa apa?Kami sampai
"Eh, sudah, ya? Suamiku pasti sudah menunggu." Aku bergegas pergi tanpa berniat menjawab pertanyaannya.Kuliah? Bahkan berangkat sekolah dulu pun aku sudah malas. Tak ada pelajaran yang aku sukai. Juga tak ada guru tampan atau kakak kelas yang membuatku bersemangat menuju ke sana. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya agar cepat pulang dan melintasi rumah kontrakan yang ditempati bang Haikal dan keluarganya."Ini saladnya, Bang." Aku meletakkan mangkuk kecil di atas meja. Dia hanya mengangguk."Abang lama menunggu, ya? Tadi aku berbicara sebentar dengan teman. Sudah lama tidak bertemu. Dulu dia itu__.""Tidak apa-apa," selanya sebelum aku menyelesaikan ucapan. "Kau temui saja dulu teman-temanmu. Aku tunggu di sini." "Abang bosan, ya?""Kubilang tidak apa-apa. Ini pesta temanmu. Berbaurlah."Aku tak menggubris ucapannya. Aku lebih memilih menemaninya meski tahu tak akan ada pembicaraan berarti di antara kami. Ingin sekali aku mengajaknya pulang. Kasihan karena kelihatannya dia t
Aku langsung mendongak karena tak mengenali sepatu itu. Lalu Kulihat sesosok pria yang tadi kutemui sedang berdiri menatapku. Aku langsung bangkit dan berdiri. Mengusap air mata dengan menekuk jari telunjuk. Menyelipkan rambutku ke belakang telinga yang kurasa tadi sedikit acak-acakan. Bima tak boleh melihat keadaanku yang kacau seperti ini."Sedang apa kau di sini?" Aku balik bertanya."Pulang. Itu mobilku." Dia menunjuk dengan dagu ke samping mobil yang kami bawa tadi.Aku hanya ber oh ria saja. Tak ingin bertanya lebih jauh."Kau sendiri? Kenapa menangis?""Aku? Siapa yang menangis? Aku baik-baik saja." Aku berdusta agar dia tak bertanya lagi. Dia menatapku heran. Raut wajahnya jelas tak percaya pada pengakuanku."Kenapa sendirian? Mana suamimu?""Oh, itu... dia....""Aku di sini. Ada perlu apa mencariku?" Suara bariton itu tiba-tiba muncul dari balik punggungnya. Aku langsung menekuk wajah begitu melihatnya. Meski di depan orang lain aku baik-baik saja, tetap saja tak bisa kuse
"Kenapa? Curiga lagi? Ganti bajumu, ikut denganku."Aku menatap wajahnya. Lalu memandang dress selutut yang aku kenakan saat ini. Ada apa dengan gaun ini? Kenapa dia menyuruhku untuk menggantinya. Jika terlalu pendek, kenapa tadi dia membiarkanku bertemu teman-temanku? Lagipula baju ini sudah pernah aku pakai ke rumah orang tuaku. Bang Eka pun sama sekali tak keberatan. Kenapa malah tak mau aku memakainya malam ini."Pulangnya naik motor. Kau pasti merasa tidak nyaman. Itu kan alasanmu menyuruh pak Ali datang?" Ucapannya seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan.Aku sedikit bernapas lega. Sepertinya dia begitu mengerti apa saja yang ada di dalam pikiranku.*Aku dan bang Haikal pamit usai mengambil motor yang dibawa oleh pak Ali sore tadi. Ayah menyuruh kami menginap, namun bang Haikal menolak. Kami hanya akan menginap saat akhir pekan saja. Agar dia tak perlu buru-buru bangun untuk berangkat ke kantor lebih cepat."Kau masih marah?" Dia bertanya saat berhenti di lampu merah. Aku yan
Dahinya mengernyit mendengar nama itu. Alis tipisnya bahkan terlihat hampir menyatu."Kania? Kenapa tiba-tiba kau membicarakannya?" Wajahnya tampak bingung. Entah itu sungguhan atau hanya sekedar sandiwara. Aku memundurkan punggung ke sandaran kursi sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Mencoba mengintimidasi dengan menatap tajam ke arahnya. Bersikap seolah aku sudah tahu semua perbuatannya."Pestamu. Kenapa mengundangnya? Kau jelas tahu kalau aku begitu cemburu dan membenci wanita itu.""Kau salah paham, Dwi. Aku tak pernah mengundangnya. Aku juga tak tahu kalau dia hadir malam tadi. Kau lihat sendiri aku begitu sibuk dengan teman-teman kampusku, bukan?""Jadi kenapa dia bisa berada di sana? Dia bahkan menatap suamiku. Dia berusaha menggodanya, De." Aku mulai tersulut emosi. Membayangkan bagaimana mereka saling memandang penuh cinta."Aku benar-benar tidak tahu," ucapnya lirih, seperti ikut merasakan kesakitanku.Aku mengalihkan pandangan. Mataku perih menahan air yang kini suda
Aku menyiapkan bekal untuk makan siang. Hari ini aku bermaksud membuat kejutan dengan mengantarkan nasi dan lauk pauk yang aku buat ke kantor bang Haikal. Hari ini aku bangun kesiangan karena tidak salat subuh. Hanya sempat mendadar telur saja untuk sarapan suamiku. Biasanya jika seperti itu dia akan makan siang di luar saja. Ini sudah tanggal tua. Dia pasti kehabisan uang untuk melakukan itu. Aku takut dia hanya akan makan pop mie di pantry saja karena merasa segan meminta uang padaku.Padahal aku tak pernah menuntut semua gaji yang dia hasilkan. Gaji yang masih secara manual dimasukkan ke dalam amplop dia serahkan padaku. Dia hanya meminta sebagian untuk uang bensin dan juga pegangan selama di perjalanan.Aku bilang tak butuh itu. Uang saku dari ayah dan juga bang Eka berkali-kali lipat dari gajinya saat ini. Namun lagi-lagi dia tersinggung."Memang seperti inilah berumah tangga. Istri harus mampu mengelola penghasilan suami meski tak seberapa. Kalau kau masih belum paham, kenapa
Hati ini begitu hancur. Mati-matian aku berusaha bertahan untuk merebut perhatiannya. Bahkan membatalkan permintaan cerai karena suamiku juga tak mau aku menyandang status janda di usia muda.Lalu ini apa? Dia lebih memilih menanggung dosa perselingkuhan dibanding menceraikan aku yang sudah jelas-jelas ingin membebaskannya.Aku tak mau lagi. Aku menyerah dan ingin segera membebaskan rasa sakit ini.Tiba-tiba dering ponsel terdengar. Aku yang tengah bersembunyi di balik sebuah mobil tak mau menghiraukan dan memilih mengabaikannya. Aku mundur perlahan untuk segera pulang. Sampai akhirnya punggungku menabrak tubuh seseorang."Kau di sini rupanya." Bang Haikal menegur, masih dengan ponsel yang menempel di telinga.Aku langsung mengusap air mata dengan kasar. Namun dadaku masih naik turun karena menahan sesak. "Kau kenapa? Apa seseorang menganggumu?" Dia tampak begitu khawatir. Aku tak peduli dan enggan menjawab.Bukankah harusnya dia berpikir bahwa aku menangis karena perbuatannya. Belum
"Aku benar-benar tidak tahu kalau Kania ada di sini. Sudah berapa kali aku bilang, aku tak pernah lagi berhubungan dengannya." Pria itu menatapku dengan teduh. "Berhenti cemburu pada Kania, Dwi. Sebesar apa pun perasaanku padanya, aku tetaplah suamimu. Kau yang paling berhak atas diriku. Sudah?" Dia mencoba meyakinkanku.Bibirku bergetar menahan tangis. Rasa cinta ini selalu bisa meluluhkan hati begitu mendengar kata-katanya yang begitu manis. Kenapa rasa sayangnya padaku sebagai adik tak bisa berubah layaknya pada kekasih. Tak bisakah dia melihat sisi lain diriku yang sudah mencoba bersikap sesuai keinginannya?"Kau sedang datang bulan. Pasti jadi lebih sensitif. Makanya marah-marah terus. Pulang dan istirahatlah!" Dia mengacak-acak rambutku seperti anak kecil, lalu mengambil tas bekal yang berada di tanganku.Lihatlah!Dia terlihat begitu perhatian. Selalu mengerti tentang keadaanku. Siapa yang tidak berpikir kalau dia benar-benar sayang dan bisa dengan mudah mencintaiku. Harusn